08 November 2022
20:49 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menyebut, Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10% di 2023 akan semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal.
Menurutnya, kenaikan tarif CHT dalam tiga tahun terakhir sudah begitu eksesif. Lebih lanjut, kenaikan tarif tersebut malah akan menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal.
“Pasar rokok legal sudah tergerus oleh rokok ilegal, malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10% di tahun 2023 dan 2024," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (08/11).
Henry membeberkan, salah satu pungutan langsung pemerintah berupa cukai kepada Industri Hasil Tembakau (IHT) dalam tiga tahun terakhir terus naik eksesif. Seperti pada 2020, tarif cukai naik sebesar 23,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%; kemudian per 2021 tarif cukai dan HJE naik sebesar 12,5%; dan di 2022, cukai dan HJE naik sebesar 12,0%.
Jika ditotal selama tiga tahun, GAPPRI menggarisbawahi, tarif CHT telah naik 48%, sementara HJE naik 60%.
"Di lain sisi, IHT legal sedang berjuang untuk tetap beroperasi dengan arus kas yang minim akibat pandemi, disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat,” ujarnya.
Henry juga menyinggung tambahan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai.
Selama ini, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10% dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9% dari harga jual eceran hasil tembakau.
Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3-83,6% dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi. Sisa 16,4-23,7% untuk pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta CSR.
Dengan kebijakan yang sedemikian rupa, Henry mensinyalir, harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20% atau seperlima dari harga rokok legal.
"Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal," tegasnya.
Henry juga menyoroti alasan di balik kenaikan tarif cukai, yang salah satunya disandarkan pada angka prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang berada di kisaran 9,1% di 2018. Klaim itu pun, seharusnya sudah gugur untuk tinjauan saat ini.
Ia melanjutkan, mengacu laporan BPS, bahwa sejak 2019, prevalensi merokok anak terus menurun. Secara berurutan dari 2019-2021, dari kisaran 3,87%, menjadi 3,81, dan turun lagi menjadi hanya 3,15%.
"Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini," ungkapnya.
Makin Untungkan Rokok Ilegal
Henry juga meyakini, kenaikan tarif cukai hanya menguntungkan rokok ilegal. Pasalnya, selisih harga rokok legal dengan ilegal semakin lebar. Jauhnya jarak antara harga rokok legal dengan ilegal, membuat rokok bodong pun makin marak.
Sejauh ini, GAPPRI menginformasikan, telah beberapa kali memohon audiensi dan menyampaikan masukan kepada Presiden Joko Widodo, namun belum ada tanggapan.
Untuk itu, GAPPRI berharap, Presiden Jokowi dapat meluangkan waktu untuk berdialog agar mendengarkan langsung kondisi dan fakta industri hasil tembakau (IHT) legal, yang banyak mengalami tekanan berbagai kebijakan sebagai rokok heritage yang berkontribusi sangat strategis bagi negara.
"Audiensi ini kami harapkan dapat mewujudkan kebijakan yang berbasis fakta, adil dan kondusif ke depan bagi kelangsungan usaha IHT legal. Terutama untuk mengurangi ancaman maraknya peredaran rokok ilegal," sarannya.
Merujuk hasil kajian lembaga survei Indodata yang menyebutkan pada 2021, cakupan rokok ilegal di Indonesia telah mencapai 26,38%. Jika angka tersebut dikonversi menjadi pendapatan negara, maka potensi cukai yang hilang bisa mencapai Rp53,18 triliun.
"Dengan dinaikannya kembali tarif cukai, kami berkeyakinan rokok ilegal akan semakin marak. (Sementara) potential lost negara juga semakin besar dan lebih tragis, (adapun) sumber nafkah pekerja akan hilang dalam ancaman masa resesi global," pungkas Henry.
Gencarkan Edukasi Bahaya Merokok
Belum lama, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif CHT semata-mata untuk meningkatkan edukasi bahaya merokok kepada masyarakat. Berdasarkan hasil ratas mengenai kebijakan cukai hasil tembakau 2023 pada Kamis (3/11), Presiden menyetujui kenaikan cukai rokok sebesar 10% di 2023 dan 2024.
Karena cukai rokok merupakan rata-rata tertimbang dari berbagai golongan, Menkeu menjelaskan, maka nominal 10% tersebut akan diterjemahkan menjadi kenaikan bagi kelompok dari mulai sigaret keretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret keretek tangan (SKT) yang masing-masing memiliki kelompok atau golongan tersendiri.
Nantinya, rata-rata kenaikan CHT sebesar 10% akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5-11,75%; SPM I dan II naik di 11-12%; sedangkan SKT I,II, dan III akan naik 5%.
“Kenaikan ini akan berlaku untuk tahun 2023, dan untuk tahun 2024 akan diberlakukan kenaikan yang sama,” tandasnya.
Sri Mulyani juga menyampaikan, kebijakan kenaikan CHT juga berlaku untuk rokok elektronik. Dengan rata-rata kenaikan cukai sebesar 15% untuk rokok elektrik dan 6% untuk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
“Ini (kebijakan cukai rokok elektronik) berlaku setiap tahun naik 15%, selama lima tahun ke depan,” terangnya.
Dalam penetapan CHT, Menkeu mengatakan, pemerintah memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7% yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024. Secara umum, keputusan ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan edukasi dan sosialisasi masyarakat mengenai bahaya merokok.
“Saat ini, kita juga akan terus menggunakan instrumen cukai di dalam rangka untuk bisa mengendalikan produksi, sekaligus untuk meningkatkan edukasi dan sosialisasi pada masyarakat mengenai bahaya merokok,” tambahnya.
Meski demikian, lanjutnya, pemerintah juga memperhatikan beberapa aspek pada industri rokok yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan tersebut. Pihaknya memahami, industri rokok memiliki aspek tenaga kerja, sisi pertanian, dan sisi hasil tembakau yang semuanya juga harus dipertimbangkan secara proporsional.
“Selain itu, di dalam penetapan cukai tembakau juga perlu diperhatikan mengenai penanganan rokok ilegal, yang akan semakin meningkat apabila kemudian terjadi perbedaan tarif dan juga meningkatkan dari sisi cukai rokok tersebut,” jelasnya.