16 Januari 2024
08:08 WIB
Editor: Rikando Somba
DENPASAR - Polemik pajak terhadap hiburan yang kini melonjak tajam, kian memanas. Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya menyarankan pengusaha dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Bali Spa & Wellness Association (BSWA) agar mengajukan insentif fiskal.
Mahendra mengaku sepakat bahwa Balinese Spa yang berkembang berkaitan dengan pengembangan potensi sumber daya lokal, tidak pas dikenakan pemberlakuan pajak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 sebagai usaha hiburan.
Oleh karena itu, dia mendukung pengusaha spa yang mengajukan judicial review ke MK, namun para pengusaha ini didorong juga untuk mengajukan permohonan insentif fiskal yang nantinya diatur dalam peraturan kepala daerah.
“Judicial review jalan, pengajuan insentif fiskal ini juga perlu ditempuh. Nanti saya akan mendorong pemerintah kabupaten/kota yang memiliki kewenangan untuk itu,” sambung orang nomor satu di Pemprov Bali itu di Denpasar, Senin (15/1).
“Langkah ini diatur dalam pasal 101 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal ke para pelaku usaha di daerahnya dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi,” imbuhnya.
Saran ini, dikutip dari Antara, muncul saat Pj Gubernur Bali melakukan diskusi dengan PHRI Bali dan BSWA soal keberatan jika usaha spa masuk pengenaan pajak hiburan dengan beban pajak 40 hingga 75%.
Sementara itu, Ketua PHRI Bali Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace mengatakan Balinese Spa yang ada di Pulau Dewata memiliki kekhasan dan sudah diakui organisasi pariwisata dunia sebagai usaha di bidang kesehatan.
BSWA telah mencatat 12 ribu orang sudah tergabung sebagai terapis, bahkan Cok Ace mendapat informasi di Polandia terapis Bali amat terkenal dengan 337 tenaga terapis berasal dari Pulau Dewata.
Mantan Wakil Gubernur Bali itu menjelaskan Balinese Spa terbentuk pada tahun 2002, saat itu hadir untuk menepis stigma negatif panti pijat, hingga akhirnya anggotanya terus bertambah dan bernaung di bawah PHRI Bali.
“Sejalan dengan penambahan anggota, BSWA terus berupaya meningkatkan kualitas layanan melalui pelatihan sumber daya manusia sehingga usaha spa di Bali banyak meraih penghargaan,” kata Tjok.
Potensi Boreh
Usaha spa ini memiliki keunikan karena dalam pengembangannya membawa misi penggalian potensi lokal boreh Bali atau penggunaan rempah-rempah sebagai lulurnya.
Karenanya, mereka keberatan atas pengenaan pajak hiburan dan telah mengajukan judicial review, serta dalam waktu dekat PHRI Bali dan BSWA akan menggelar diskusi membahas pro kontra undang-undang ini dengan dihadiri Menparekraf dan Menteri Keuangan.
Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali juga berupaya mengangkat produk lokal Pulau Dewata, di antaranya boreh atau lulur rempah-rempah untuk menjadikan Bali sebagai destinasi spa.
Boreh merupakan bagian budaya dan tradisi lokal Bali berupa lulur yang terbuat dari olahan rempah-rempah dan berguna sebagai pengobatan tradisional dengan sensasi hangat dan menenangkan tubuh.
Saat ini usaha spa mengaplikasikan produk kearifan lokal tersebut kepada wisatawan. Boreh rempah-rempah dan produk lokal lain di antaranya sabun dan pengharum ruangan diproduksi sepenuhnya oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM).
PHRI dan pengusaha Spa di Bali kini berupaya menguji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Mereka berkebaratan lantaran UU itu memasukkan spa sebagai jasa hiburan sehingga tarif pajaknya naik menjadi minimal 40% dan maksimal 75%.
Sebaliknya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menindaklanjuti soal tarif pajak jasa hiburan termasuk spa yang naik itu.
"Nanti saya monitor dan saya sampaikan ke pemerintah daerah," kata Menko Airlangga di Desa Serangan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar, Bali, Sabtu.
Dia pun sudah mendengar keluhan pelaku pariwisata termasuk pengusaha jasa hiburan dan spa di Bali terkait kenaikan tarif pajak itu. Menurut Airlangga, tindak lanjut ke pemerintah daerah dilakukan karena besaran tarif pajak ditentukan oleh pemerintah kabupaten/kota.
"Nanti saya sampaikan itu (ke pemerintah daerah) kan itu karena regulasi pemda," ucapnya.