02 April 2024
08:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi telah mencabut kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak covid-19 pada 31 Maret 2024.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan bahwa program relaksasi restrukturisasi covid-19 terbukti bermanfaat bagi bank dan debitur.
Adapun, skema yang paling efektif adalah penundaan pembayaran angsuran, perpanjangan tenor, dan penurunan suku bunga.
"Manfaat bagi bank termasuk menjaga kualitas aset, meningkatkan pendapatan, dan memperkuat reputasi. Penghentian program restrukturisasi kredit covid-19 dapat berdampak negatif terhadap bank dan kualitas kredit," kata lelaki yang akrab disapa Didiet kepada Validnews, Senin (1/4).
Oleh karena itu, menurutnya, bank perlu melakukan langkah-langkah antisipasi untuk menjaga kualitas aset dan profitabilitas.
Baca Juga: BRI Sudah Setop Restrukturisasi Kredit Covid-19 Sejak 2023
Dia menjelaskan, dampak pada bank, di antaranya penurunan pendapatan bunga dari kredit yang direstrukturisasi, peningkatan NPL, penurunan profitabilitas jika dari kredit yang tidak lagi menikmati restrukturisasi menjadi gagal bayar, dan peningkatan pencadangan.
Dari sisi debitur, lanjut Didiet, maka skema yang efektif dirasakan manfaatnya di antaranya adalah kesempatan untuk menunda pembayaran angsuran, perpanjangan tenor kredit, penurunan suku bunga dan program restrukturisasi kredit dengan menyesuaikan skema kredit dengan kondisi usaha debitur.
"Maka penghentian restrukturisasi ini akan berdampak negatif pada kualitas kredit UMKM. UMKM yang masih dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi covid-19 berisiko tinggi mengalami kesulitan pembayaran kredit setelah program restrukturisasi berakhir. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan NPL di segmen UMKM," jelasnya.
Kendati demikian, Didiet menilai perlu perlakuan adil juga untuk melihat dampak positif dari penghentian program ini. Dampak positif bagi bank, di antaranya adalah stabilitas sistem keuangan karena mencegah NPL lebih besar dan kepercayaan investor tentang kualitas aset real yang dikelola bank.
"Dengan mempertimbangkan dampak positif dan dampak negatif penghentian program ini, maka secara makro penghentian program ini dapat dikatakan tepat, namun perlu dilihat juga dampak mikronya bagi kreditur dan debitur," tegas Didiet.
Saat ditanya perlukah setiap bank memperpanjang kredit restrukturisasi covid-19, Didiet menuturkan pada dasarnya program restrukturisasi kredit sudah lazim dilakukan bank melalui kebijakan masing-masing. Restrukturisasi dilakukan dengan maksud mitigasi risiko kredit sekaligus menyelamatkan aset bank.
"Bila program restrukturisasi kredit ini akan dilakukan oleh bank tanpa ada insentif program dari regulator, maka bank perlu melakukan analisis dan identifikasi terhadap debitur yang berisiko tinggi mengalami kesulitan pembayaran sebelum diberikan fasilitas restrukturisasi atas kredit yang telah dinikmati," ujarnya.
Bank juga perlu melakukan langkah-langkah pencadangan yang memadai untuk mengantisipasi potensi NPL atas debitur yang menikmati program restrukturisasi tersebut.
Baca Juga: Restrukturisasi Kredit Berakhir, Bank Mandiri Pantau Kondisi Debitur
Selama empat tahun implementasi, pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit ini telah mencapai Rp830,2 triliun, yang diberikan kepada 6,68 juta debitur pada Oktober 2020, yang merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Sebanyak 75% dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM, atau sebanyak 4,96 juta debitur dengan total outstanding Rp348,8 triliun.
Sejalan dengan pemulihan ekonomi yang terjadi, tren kredit restrukturisasi terus mengalami penurunan baik dari sisi outstanding maupun jumlah debitur. Pada Januari 2024, outstanding kredit restrukturisasi covid-19 telah menurun signifikan menjadi sebesar Rp251,2 triliun yang diberikan kepada 977 ribu debitur.
Berakhirnya kebijakan tersebut konsisten dengan pencabutan status pandemi covid-19 oleh pemerintah pada Juni 2023, serta mempertimbangkan perekonomian Indonesia yang telah pulih dari dampak pandemi, termasuk kondisi sektor riil.
OJK menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini memiliki daya tahan yang kuat (resilient) dalam menghadapi dinamika perekonomian dengan didukung oleh tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan manajemen risiko yang baik.
Powered by Froala Editor