c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

EKONOMI

12 Mei 2021

14:13 WIB

Pengamat: Skema Multitarif PPN Akomodasi Beragam Kelas Pendapatan

Dengan skema multitarif, nantinya akan ada kelompok barang dan jasa yang dinaikkan atau diturunkan tarifnya.

Penulis: Rheza Alfian

Editor: Fin Harini

Pengamat: Skema Multitarif PPN Akomodasi Beragam Kelas Pendapatan
Pengamat: Skema Multitarif PPN Akomodasi Beragam Kelas Pendapatan
Seseorang memeriksa struk usai berbelanja. Fin Harini/Validnews Dok.

JAKARTA - Wacana kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menuai polemik. Beberapa kalangan menilai kenaikan tarif PPN bukan jawaban di kala pandemi.

Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pemerintah bisa menaikkan tarif PPN dengan skema multitarif ketimbang menaikkan tarif PPN dengan satu tarif.

"Oleh karena itu alternatifnya pemerintah bisa menerapkan multiple rate untuk PPN ini," katanya kepada Validnews di Jakarta, Rabu (12/5).

Ia menjelaskan, dengan penerapan skema multitarif, nantinya akan ada kelompok barang dan jasa yang dinaikkan atau diturunkan tarifnya untuk mengakomodasi kepentingan beragam kelas pendapatan.

Artinya, kelompok barang dan jasa yang mungkin mempengaruhi kelompok pendapatan menengah ke bawah, tarif PPN akan tetap alias tidak naik.

"Sebaliknya kelompok barang yang berkaitan dengan kelompok pendapatan atas, bisa dinaikkan tarifnya," sambung Yusuf.

Pemerintah disebut bisa menganalisa kelompok barang apa saja yang biasa dikonsumsi kelompok pendapatan kelas menengah ke bawah.

Salah satunya barangnya yaitu minyak goreng, dan beberapa komponen barang jadi. Yusuf bilang pemerintah juga dapat mengelaborasi data dari Badan Pusat Statistik atau BPS.

Tarif yang dinaikkan juga bisa diperuntukan untuk kelas menengah atas. Barangnya di antaranya PPN transaksi jasa digital," sambungnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan dengan adanya kenaikan PPN, beberapa produk barang yang dijual pasti akan menaikkan harga jualnya untuk melakukan penyesuaian.

Meski kenaikan harga tidak signifikan, tetapi di periode pemulihan ekonomi saat ini, kenaikan berapa pun akan memiliki dampak lebih kepada pendapatan kelas menengah ke bawah.

Apalagi, jika diasumsikan tahun depan daya beli masyarakat belum kembali seperti sebelum terjadi pandemi.

"Hal ini mungkin saja terjadi jika misalnya masyarakat belum mampu masuk ke pasar tenaga kerja atau jumlah pengangguran masih tinggi. Hal ini akan ada kaitannya pendapatan masyarakat secara umum," ujarnya.

Konsolidasi Fiskal
Yusuf memandang, wacana pemerintah tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah melakukan konsolidasi fiskal di tahun depan.

Berdasarkan waktu pemulihan ekonomi, tahun depan pemerintah menargetkan defisit mencapai 3,8% hingga 4,25% terhadap produk domestik bruto atau PDB.

Defisit tersebut lebih kecil dibandingkan target defisit di tahun ini yang diperkirakan mencapai 5,7% dari PDB. Yusuf mengakui, di saat yang bersamaan kebutuhan belanja masih relatif lebih besar dibandingkan proyeksi penerimaan yang bisa dicapai.

"Sehingga wacana kenaikan tarif ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai target konsolidasi fiskal tersebut," ujarnya.

Selain itu, dampak dari kenaikan tarif PPN juga disebut berpotensi mendorong kenaikan penerimaan pos pajak PPN. Apalagi, PPN merupakan pos penerimaan pajak terbesar kedua setelah pajak penghasilan atau PPh.

"Beberapa studi juga menunjukkan bahwa PPN merupakan instrumen yang cocok ketika ingin mendorong penerimaan pajak," kata Yusuf.

Berdasarkan data APBN KiTa edisi April 2021, hingga akhir Maret 2021 capaian penerimaan pajak dari PPN/PPnBM secara nominal ditopang utamanya oleh penerimaan PPN, yakni PPN Dalam Negeri dan PPN Impor.

Secara kumulatif penerimaan PPN/PPnBM tercatat mengalami pertumbuhan 5,35% (yoy). Capaian tersebut didukung oleh penerimaan PPN Dalam Negeri dan Impor yang tumbuh berturut-turut 4,1% dan 8,21% (yoy).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar