03 Oktober 2023
10:31 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja merilis POJK Nomor 17 Tahun 2023. Maksud beleid teranyar ini dirilis, salah satunya adalah sebagai upaya OJK untuk memerangi pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo turut menyoroti hal ini. Menurutnya, perbankan di Indonesia secara umum sudah tidak asing dengan pengaturan tentang pelaporan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT).
Sebelumnya, aturan tentang ini juga telah diatur dalam POJK No. 12 Tahun 2017, POJK No. 23 Tahun 2019, dan terkini diatur dalam POJK No. 17 Tahun 2023.
"Selain terkait anti pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemunah massal, bank juga memiliki seperangkat sistem tata kelola dan teknologi informasi untuk menghadapi/menangani transaksi keuangan yang mencurigakan. Diantaranya adalah terkait APU-PPT dan PPSPM serta transaksi mencurigakan yang mengarah pada fraud," kata lelaki yang akrab disapa Didiet kepada Validnews, Selasa (3/10).
Baca Juga: OJK Terbitkan Aturan Baru Program Anti Pencucian Uang dan Terorisme
Menurut Didiet, bank sebagai penyedia layanan transaksi keuangan, mampu dan wajib bahkan dalam mendeteksi setiap transaksi yang disinyalir termasuk dalam transaksi yang mencurigakan.
Oleh karena itu, pemantauan terhadap kejadian dan perilaku transaksi yang mencurigakan ini harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan karena pelakunya pun terus melakukan inovasi untuk melakukan kejahatannya.
"Pemblokiran rekening atas transaksi yang mencurigakan dilakukan sesuai yurisdiksi masing-masing negara. Yang bersifat transaksional misalnya pemblokiran dilakukan untuk anomali transaksi karena lokasi, nominal, frekuensi, dan lain-lain," ujarnya.
Sementara itu yang bersifat pengenalan nasabah (KYC), lanjutnya, pemblokiran dilakukan misalnya karena identitas pemilik rekening yang tidak jelas, keterlibatan pemilik rekening dalam aktivitas terlarang/masuk dalam daftar hitam, dan lain-lain.
Adapun, salah satu daftar hitam yang lazim dipakai dunia keuangan adalah daftar The Office of Foreign Asset Control (OFAC) yang dibentuk pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai kebijakan luar negeri yang ditujukan untuk melindungi kepentingan AS.
"Maka semestinya POJK No. 17 Tahun 2023 ini diterbitkan untuk kepentingan menjaga bangsa ini dari ancaman stabilitas politik dan keamanan Nasional," pungkas Didiet.
Blokir Rekening
Sebelumnya, secara terpisah, EVP Corporate Communication & Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk atau BCA Hera F. Haryn mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan monitoring atas transaksi nasabah yang ada di BCA.
Dia pun menegaskan bahwa BCA tidak pernah memfasilitasi aktivitas-aktivitas tersebut dalam bentuk apa pun.
Untuk mendukung langkah pemerintah, regulator, dan aparat penegak hukum dalam memberantas pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, BCA memblokir rekening yang dicurigai tersangkut aktivitas tersebut.
Baca Juga: Cegah Pencucian Uang, BCA Monitor Transaksi Nasabah
"BCA akan melakukan pemblokiran rekening nasabah yang digunakan dalam aktivitas pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku," tegas Hera kepada Validnews, Senin (2/10).
OJK sendiri juga telah mewajibkan bank untuk memastikan penerapan program anti pencucian uang, pencegahan pendanaan terorisme, dan pencegahan pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, termasuk mencakup pencegahan dan penanganan agar kegiatan usaha bank tidak dimanfaatkan dalam aktivitas yang terkait dengan tindak pidana.
Jika bank melanggar ketentuan tersebut, akan dikenai sanksi administratif sesuai dengan POJK. Selain sanksi administratif, bank dan/atau pemegang saham pengendali dapat dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp50 miliar untuk setiap pelanggaran yang dilakukan.