25 Oktober 2024
17:09 WIB
Pengamat: Pemerintahan Prabowo Hadapi Tantangan Besar Defisit Anggaran
Defisit anggaran saat ini merupakan akumulasi dari utang yang diambil pada masa Presiden Jokowi untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur. Beban utangnya kini harus ditanggung pemerintahan baru
Ilustrasi. Foto udara suasana pembangunan jalan tol Bayung Lencir - Tempino (Baleno) Seksi 3 di Sebapo, Muaro Jambi, Jambi, Selasa (2/7/2024). Antara Foto/Wahdi Septiawan
JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik Hardjuno Wiwoho menilai, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar, dalam mengelola defisit anggaran yang diproyeksikan mencapai Rp616 triliun pada tahun 2025. Defisit ini merupakan dampak langsung dari kebijakan fiskal agresif yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, terutama di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Defisit anggaran ini merupakan akumulasi dari utang yang diambil pada masa Presiden Jokowi untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur strategis. Proyek-proyek ini memang berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi beban pembiayaan utangnya kini harus ditanggung oleh pemerintahan baru," ujar Hardjuno saat dihubungi, Kamis (24/10).
Hardjuno menjelaskan, selama pemerintahan Jokowi, kebijakan fiskal yang cenderung ekspansif menyebabkan penumpukan utang. Proyek pembangunan jalan tol, bandara, pelabuhan, hingga pembangkit listrik yang digarap secara masif menggunakan skema pembiayaan yang sebagian besar berasal dari penarikan utang.
“Utang ini memberikan manfaat bagi pembangunan infrastruktur, tetapi efek jangka panjangnya kini dirasakan dalam bentuk defisit anggaran,” tambahnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang disahkan pada 17 Oktober 2024—tiga hari sebelum pemerintahan berganti—telah memperkirakan defisit anggaran sebesar Rp616 triliun. Sebagian besar defisit ini ditutup melalui pembiayaan utang sebesar Rp775 triliun yang merupakan konsekuensi dari kebijakan utang sebelumnya.
"Ini bukan kebijakan yang bisa langsung diubah. Presiden Prabowo mewarisi situasi fiskal yang sudah penuh dengan tekanan utang. Meski beliau mulai mengelola anggaran pada 2025, kebijakan yang dibuat pemerintahan sebelumnya masih sangat mempengaruhi ruang gerak fiskal pemerintah baru," kata Hardjuno.
Meski begitu, Hardjuno optimistis pemerintahan Prabowo akan mengambil langkah-langkah yang teliti dalam mengatasi situasi ini. Pada rapat kabinet pertama setelah dilantik, Prabowo menegaskan pentingnya pengelolaan keuangan yang lebih hati-hati, terutama terkait pengawasan terhadap potensi kebocoran anggaran dan korupsi.
“Teliti, itu yang ditekankan Presiden Prabowo. Beliau berkomitmen untuk memastikan anggaran negara digunakan dengan efektif dan tepat sasaran, tanpa kebocoran dan tanpa korupsi,” ujar Hardjuno.

| Presiden Joko Widodo (kanan) menerima penghargaan berupa helm proyek baja dari Sekjen Gapensi La Ode Safiul Akbar (kiri) pada acara Refleksi dan Catatan 10 Tahun Pemerintahan Jokowi di Bidang Konstruksi, Infrastruktur dan Investasi di Jakarta, Rabu (31/7/2024). Antara Foto/Muhammad Adimaja |
Pendapatan dan Belanja
Untuk diketahui, dalam UU APBN 2025, pemerintah menetapkan target pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun. Kemudian, belanja negara Rp3.621,3 triliun, defisit Rp616,19 triliun dengan keseimbangan primer defisit sebesar Rp63,33 triliun, serta pembiayaan anggaran sebesar Rp616,2 triliun.
Penerimaan perpajakan untuk 2025 ditargetkan mencapai Rp2.490,9 triliun. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tahun 2025 ditargetkan mencapai Rp513,6 triliun. Adapun belanja kementerian/lembaga (K/L) ditetapkan sebesar Rp1.160,09 triliun, belanja non K/L sebesar Rp1.541,36, serta Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp919,87 triliun.
Untuk menggenjot penerimaan negara, Core Tax Administration System (CTAS) yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bakal didorong menjadi tulang punggung (backbone) penerimaan.
Sebelumnya, Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran Drajad Wibowo menilai, perlu tambahan anggaran belanja sebesar Rp300 triliun pada APBN 2025, untuk memacu pertumbuhan ekonomi 8% sesuai tergat pemerintahn Prabowo. Drajad menyebut ekonomi tahun depan perlu digenjot agar tumbuh 5,8 - 5,9%.
“Supaya kita punya batu loncatan untuk mengejar 6–7%, kemudian ke 8%. Kekurangan (belanjanya) berapa? Itu masih kurang Rp300 triliun,” ujar Drajad dalam kegiatan Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, belum lama ini.
APBN 2025 mematok target belanja negara senilai Rp3.621,3 triliun. Namun, kata Drajad, pendapatan negara pada tahun depan akan banyak digunakan untuk membayar utang jatuh tempo dan bunga utang.
Dalam profil utang pemerintah, utang jatuh tempo pada tahun depan tercatat sebesar Rp800,3 triliun, sementara bunga utang yang perlu dibayar sebesar Rp552,9 triliun. Artinya, sekitar Rp1.353,2 triliun dari APBN akan digunakan untuk membayar pokok dan bunga utang. Nilai itu setara dengan 45% dari pendapatan negara yang ditargetkan sebesar Rp3.005,1 triliun.
“Jadi, 45% dari total pendapatan negara, baik yang berasal dari pajak maupun bukan pajak, digunakan untuk membayar pokok dan bunga utang. Lalu, di mana ruang fiskalnya?” lanjut dia.
Mengingat kondisi itu, Drajad berpendapat urgensi pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) menjadi lebih tinggi. BPN nantinya dirancang untuk mengandung tiga unsur transformasi, yakni transformasi kelembagaan, teknologi, dan kultur.
Ia mengakui, pembentukan BPN tidak serta merta mengerek pendapatan negara dalam waktu singkat. Namun, ia yakin BPN dapat menjadi pemicu akselerasi transformasi itu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan jajaran Dirjen Kementerian Keuangan sebelum paparan APBN Kita di Jakarta, Senin (23/9/2024). ValidNewsID/Khairul Kahfi
Anti Korupsi dan Efisiensi
Dalam upaya mengelola defisit dan utang yang diwariskan, pemerintahan Prabowo sendiri sudah menekankan pentingnya penguatan pengawasan keuangan negara. Prabowo menegaskan, pemberantasan korupsi dan kebocoran anggaran menjadi prioritas utama dalam pemerintahan barunya.
"Pemerintahan Prabowo Subianto sudah menunjukkan komitmen yang kuat untuk melakukan audit dan pengawasan ketat terhadap setiap penggunaan anggaran. Ini adalah langkah penting untuk mengurangi beban fiskal negara yang semakin berat karena utang-utang lama. Program-program pembangunan akan terus berjalan, tetapi dengan pengawasan ketat agar tidak terjadi kebocoran anggaran," tambah Hardjuno.
Menurut Hardjuno, pemerintahan Prabowo harus menyeimbangkan antara pembiayaan defisit dengan kebutuhan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan melindungi kepentingan rakyat. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan memastikan investasi di sektor produktif yang memiliki dampak jangka panjang bagi ekonomi nasional, sembari menjaga efisiensi belanja negara.
"Dengan mengurangi risiko korupsi dan kebocoran anggaran, serta mengarahkan utang pada sektor-sektor yang produktif, saya percaya pemerintahan Prabowo mampu mengelola defisit ini dengan lebih baik, meskipun tantangan yang diwariskan cukup berat," ucap Pegiat Anti Korupsi ini.
Hardjuno pun menyarankan, pengelolaan defisit ini memerlukan kebijakan fiskal yang disiplin dan berhati-hati, serta reformasi struktural dalam pengelolaan utang. "Pemerintahan Prabowo harus lebih fokus pada efisiensi dan memastikan bahwa utang digunakan untuk kepentingan rakyat secara luas, bukan hanya untuk melanjutkan proyek-proyek yang bersifat jangka pendek," pungkas Hardjuno.