11 Januari 2025
12:12 WIB
Pengamat Ingatkan Obligasi Rekap BLBI Membelenggu APBN Hingga 2043
Kerugian akibat BLBI mencapai ribuan triliun rupiah. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal bunga berbunga yang terus meningkat secara eksponensial. Dampaknya dahsyat, APBN tertekan luar biasa
Pengamat Hukum dan Pembangunan serta Pegiat Anti Korupsi Hardjuno Wiwoho. dok HMS Center
JAKARTA – Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mengapresiasi langkah pemerintah dalam menindak korupsi yang mulai menunjukkan hasil yang positif. Penemuan uang tunai senilai Rp1 triliun di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) serta penegasan Prabowo soal hukuman untuk korupsi kasus timah, menjadi buktinya nyata kuatnya komitmen pemerintah memerangi korupsi.
Namun, Hardjuno mengingatkan, pemerintah tidak boleh melupakan mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jauh lebih dahsyat dampaknya. Pasalnya, hal tersebut menyengsarakan rakyat hingga kini, dan akan terus membebani hingga tahun 2043.
“Kerugian akibat BLBI mencapai ribuan triliun rupiah. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal bunga berbunga yang terus meningkat secara eksponensial. Dampaknya dahsyat, APBN kita tertekan luar biasa,” ujar Pegiat Anti Korupsi ini dikutip Sabtu (11/1).
Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini pun menyoroti keterlibatan oknum pejabat dalam skandal ini. Hal ini membuat alasan kasus BLBI terus berlangsung hingga puluhan tahun.
“Tidak mungkin ini bisa bertahan lama tanpa keterlibatan pejabat yang punya kuasa. Satgas BLBI yang dipimpin oleh Mahfud MD waktu itu juga tidak menunjukkan hasil signifikan. Masa dibilang lunas padahal jelas belum lunas?” tegasnya.
Ia menambahkan, sistem bunga majemuk pada obligasi rekapitalisasi (OR) BLBI menciptakan beban keuangan yang luar biasa. Dana yang seharusnya dikembalikan oleh debitor malah disubsidi hingga 2043.
“Bukannya melunasi, para debitor ini justru diuntungkan dengan pembagian dividen. Undang-undang kita jelas mengatakan, hanya Presiden bersama DPR yang punya wewenang menghapus utang seperti ini. Jadi, release and discharge itu tidak berlaku,” jelasnya.
Selain BLBI, Hardjuno juga menyoroti utang negara yang terus membengkak. “Utang kita sekarang sudah mencapai Rp8.500 triliun, dan angka ini bisa saja mencapai Rp12.000 triliun jika ada yang ditutupi, termasuk burden sharing dengan Bank Indonesia yang mungkin belum masuk hitungan,” tambahnya.
Hardjuno menegaska, jika kasus BLBI ini tidak ditangani dengan tegas, ekonomi Indonesia akan terus terpuruk. “Indonesia sebenarnya tidak separah ini jika kasus BLBI dibenahi. Pemerintah harus berani melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI dan menagih hak-hak negara dari para debitor,” sarannya.
Dalam pandangannya, skandal BLBI adalah contoh bagaimana kreditor justru menjadi debitor yang membayar kepada debitor. “Ini hanya terjadi di Indonesia. BLBI adalah pelajaran pahit tentang bagaimana hukum dan keadilan ekonomi dipermainkan,” pungkasnya.
Penanganan Hak Tagih
Sekadar informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan anggaran senilai Rp10,25 miliar untuk program penanganan hak tagih negara dari kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk tahun 2025.
“Untuk rangkaian kasus BLBI hak tagih negara masih berproses, dan untuk itu ekstra usaha dan rencana aksi yang kami bayangkan dialokasikan Rp10,25 miliar,” kata Wakil Menteri Keuangan I Suahasil Nazara beberapa waktu lalu.
Anggaran itu akan digunakan untuk empat program besar. Pertama, pembentukan Komite Penanganan Hak Tagih Dana BLBI pengganti Satuan Tugas (Satgas) BLBI.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban menjelaskan, masa aktif kerja Satgas BLBI berlaku sampai 31 Desember 2024. Untuk selanjutnya, diusulkan pembentukan komite tetap untuk menagih hak negara dari kasus BLBI. “Ini lebih kepada bentuknya. Karena tagihan negara tetap ada. Makanya kami usulkan dibentuk suatu komite tetap,” jelasnya.
Selanjutnya, anggaran juga akan digunakan untuk melanjutkan upaya pembatasan keperdataan dan/atau layanan publik serta pencegahan bepergian ke luar negeri. Anggaran pun digunakan untuk meningkatkan penelusuran informasi terkait debitur dan obligor dengan nilai kewajiban besar dan terafiliasi, seperti bantuan audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kemenkeu juga akan menggelar pelatihan peningkatan kemampuan asset tracing dengan menggandeng pemerintah Amerika Serikat.
Target penanganan hak tagih BLBI pada 2025 sendiri senilai Rp2 triliun. Terdiri atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp500 miliar, penguasaan fisik Rp500 miliar dan penyitaan Rp1 triliun.
Sementara untuk realisasi hingga 5 September 2024, Satgas BLBI telah mengumpulkan dana Rp38,88 triliun, terdiri atas PNBP ke kas negara Rp1,84 triliun, sita atau penyerahan barang jaminan Rp18,13 triliun, penguasaan aset properti Rp9,21 triliun, penetapan status penggunaan (PSP) dan hibah Rp5,93 triliun, dan penyertaan modal negara (PMN) non tunai Rp3,77 triliun.