26 Februari 2025
20:42 WIB
Pengamat: Impor Minyak Mentah Dan BBM Sulit Dihindari
Kebutuhan BBM nasional saat ini sekitar 1,5 juta barel per hari. Sedangkan kapasitas kilang dalam negeri hanya 500 ribu barel, sehingga impor adalah upaya yang tak bisa dihindarkan
Ilustrasi. Mobil tangki memuat BBM keluar dari Terminal BBM Ampenan, Kota Mataram, Mataram, NTB, Senin (27/3/2023). ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara menyatakan, impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) sulit dihindarkan. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, tidak bisa hanya mengandalkan produksi kilang domestik.
Saat ini, lanjut dia melalui sambungan telepon di Jakarta, Rabu (26/2), kapasitas kilang dalam negeri hanya mampu mengolah sepertiga minyak mentah dari total kebutuhan nasional. "Oleh karena itu mau tidak mau harus impor, kalau sampai tidak ada BBM atau BBM langka, bisa menimbulkan masalah sosial,” katanya.
Kondisi demikian, tambahnya, karena kebutuhan BBM nasional saat ini sekitar 1,5 juta barel per hari. Sedangkan kapasitas kilang dalam negeri hanya 500 ribu barel atau sepertiga dari kebutuhan, sehingga impor adalah upaya yang tak bisa dihindarkan.
Permintaan BBM dalam negeri memang terus naik setiap tahun, salah satunya untuk sektor transportasi sebagai pengguna BBM terbesar karena jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Mengutip data Korlantas Polri, total populasi kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 164.136.793 unit. Jumlah tersebut telah bertambah sebanyak lima juta hanya dalam waktu delapan bulan.
Di sisi lain, meski kendaraan listrik mulai marak, tetapi menurut Marwan populasinya masih sangat kecil, kurang dari lima persen. Karena itu, belum bisa menurunkan permintaan BBM dalam negeri.
Kapasitas kilang dalam negeri, tambahnya, juga belum memenuhi kebutuhan BBM nasional. Apalagi Pertamina juga harus menjalankan penugasan dari pemerintah untuk pemenuhan BBM domestik, di seluruh wilayah Indonesia.
Namun demikian menurut dia, Pertamina sebenarnya juga mampu membangun kilang dengan kualitas baik. Tetapi produksi kilang-kilang tersebut, ternyata belum memenuhi kebutuhan BBM yang selalu meningkat akhirnya kilang yang beroperasi hanya bisa menyuplai 60-70% dari kebutuhan.
"Oleh karena itu pemerintah diharapkan memberikan dukungan, political will, terhadap kilang-kilang Pertamina. Pertamina kan pelaksana, kebijakan regulasi ada di pemerintah dan DPR," tuturnya.
Ketahanan Energi
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengusulkan proyek fasilitas penyimpanan bahan bakar minyak atau BBM storage dan kilang minyak (refinery) kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan ketahanan energi.
“Dalam hilirisasi, proyek yang akan kami dorong untuk kami laporkan kepada Pak Presiden adalah storage untuk BBM dan refinery-nya,” ucap Bahlil ketika ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu.
Bahlil menjelaskan, jika kapasitas penyimpanan BBM Indonesia kini hanya bisa memenuhi kebutuhan hingga 21 hari, sehingga perlu penambahan agar penyimpanan bisa menyentuh 30 hari. Mengenai usulan proyek kilang minyak atau refinery, dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah agar hasil minyak mentah di dalam negeri tidak diekspor untuk diolah di luar negeri.
Bahlil pun berharap, agar kilang minyak di dalam negeri dapat mengolah minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri. “Impor kita ini kan terhadap minyak banyak sekali, maka kami mendorong untuk membangun refinery. Tujuannya apa? Agar kita mempunyai cadangan dan minyaknya langsung dari kita. Ini butuh investasi besar,” kata Bahlil.
Dalam sambutan saat peluncuran Danantara pada Senin (24/2), Presiden Prabowo Subianto mengatakan, Danantara sebagai dana kekayaan negara atau sovereign wealth fund Indonesia itu akan mengelola aset senilai lebih dari US$900 miliar atau sekitar Rp14.680 triliun (kurs Rp16.310), dengan proyeksi dana awal mencapai US$20 miliar.
Prabowo memaparkan, gelombang pertama investasi senilai US$20 miliar akan diprioritaskan untuk 20 proyek strategis. Antara lain hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data, kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, akuakultur, serta energi terbarukan.