21 Maret 2023
15:43 WIB
JAKARTA – Utang pemerintah yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu dinilai sudah tak masuk akal. Besarnya beban utang, bahkan membuat Indonesia terjebak dalam situasi middle low income trap (negara berpendapatan menengah bawah), mengingat utang yang ditarik, nyatanya tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center Hardjuno Wiwoho dalam keterangannya, Selasa (21/3).
“Yang saya khawatirkan, Indonesia akan "kehilangan beberapa generasi" (lost generation) karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia sebagai dampak memburuknya situasi ekonomi akibat tumpukan utang pemerintah. Mirisnya lagi, utang dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif,” ujar Hardjuno.
Menurutnya, ekonomi Indonesia akan sulit berkembang. Sebab, keuangan negara tersandera untuk pembayaran pokok dan bunga utang. Mirisnya lagi, setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5%, jauh lebih rendah dari pertumbuhan utang.
Apalagi, lanjut Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI tersebut, dari 5% pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Lebih dari separuhnya atau sekitar 3%, berasal dari konsumsi masyarakat. Artinya, kata Hardjuno, tidak menambah nilai dalam rantai ekonomi alias tidak menyerap pekerjaan dan menambah pendapatan negara di masa depan.
Sisanya, kata Hardjuno, hanya 2%pertumbuhan ekonomi yang menggerakkan dan memajukan ekonomi. Angka ini tidak akan cukup mengompensasi pertumbuhan utang negara, karena angka utang sudah mengarah pada pola gali lubang tutup lubang berkepanjangan.
“Pada akhirnya, situasi ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi,” cetusnya.
Menurut Hardjuno, Indonesia telah berkali-kali melewatkan kesempatan (missopportunity) untuk melepaskan diri dari middle low income trap, tapi itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Pasalnya pembuat kebijakan berulang kali membuat kesalahan fatal yaitu, utang yang tidak produktif dan mengabaikan sektor paling penting yaitu pertanian dan sektor riil.
“Maka tak heran GDP perkapita Indonesia jauh di bawah Malaysia dan juga Thailand. Krisis 1998 perbankan kita sudah hancur karena digunakan pemilik dan oligarki dalam kejahatan BLBI dan Obligasi Rekap BLBI,” jelas Hardjuno.
Terus Membengkak Utang Indonesia
Lebih lanjut, Hardjuno mengatakan, saat lengser, Presiden SBY meninggalkan utang sebesar Rp2.700 triliun. Sementara 9 tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah menambah utang sebesar Rp5.300-an triliun.
Bahkan hingga saat ini kata Hardjuno, utang pemerintah Indonesia per akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun. Posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 825,03 triliun dibanding akhir 2021 yang sebesar Rp 6.908,87 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi utang pemerintah hingga 28 Februari 2023 mencapai Rp7.861,68 triliun. Jumlah tersebut naik Rp106,7 triliun dari posisi utang bulan sebelumnya yang mencapai Rp 7.754,98 triliun.
Artinya, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini mencapai 39,09%. Rasio utang ini juga lebih besar dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 38,45% dari PDB.
Adapun komposisi utang Pemerintah mayoritas berupa instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,92%. Kemudian komposisi utang pemerintah selanjutnya adalah berupa pinjaman dengan komposisi sebesar 11,08% .
Secara rinci, jumlah utang pemerintah dalam bentuk SBN sebesar Rp 6.990,24 triliun. Terdiri dari SBN dalam bentuk domestik sebesar Rp 5.599,33 triliun. Kemudian, SBN dalam bentuk valas sebesar Rp 1.390,9 triliun, terdiri dari SUN sebesar Rp 1.068,2 triliun, dan SBSN sebesar Rp322,7 triliun
Selanjutnya, jumlah pinjaman pemerintah mencapai Rp871,4 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar RP21,49 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 849,95 triliun.
Hardjuno yakin, utang pemerintah yang mencapai Rp8.000 triliun tak akan lama lagi tercapai. Dengan utang sebanyak itu dan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, artinya setiap penduduk bahkan bayi baru lahir di Indonesia sudah menanggung utang sekitar Rp29 juta.
Sementara GDP per kapita tercatat US$3.892 dolar AS atau Rp60 juta per tahun atau Rp5 juta per bulan. Artinya setiap penduduk, dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, ayah pekerja, dirata-ratakan memiliki penghasilan rata-rata Rp5 juta sebulan.
Meski angka tersebut bisa dibilang distortif, mengingat GDP per kapita tidak memisahkan apakah penghasilan itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing atau oleh perusahaan lokal. Semua output ekonomi dihitung sebagai GDP. Di sinilah, kata Hardjuno, tampak betapa struktur keuangan nasional begitu memberatkan masyarakat.
“Kalau terus dibiarkan, ketimpangan makin lebar dan rakyat makin sengsara,” pungkas Hardjuno.
Klaim Masih Aman Utang Indonesia
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan rasio utang pemerintah yang sebesar 39,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk sehat. Alasannya, rasio tersebut masih di bawah ketetapan undang-undang (UU) yang mengatur utang pemerintah maksimal 60% PDB.
"Anda terobsesi yang dianggap sehat itu negara tidak ada utang, ya tidak ada. Semua negara, bahkan itu Brunei Darussalam maupun Arab Saudi punya utang," ucap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, rasio utang tersebut cenderung menurun dari rasio sebelumnya yang berada di kisaran 40 dari PDB saat pandemi covid-9 melanda. Penurunan utang, kata Bendahara Negara ini, dilakukan oleh pemerintah dengan terus mengejar penerimaan negara terutama saat perekonomian sedang baik.
Maka dari itu, reformasi perpajakan terus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara, baik dari segi pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi, PPh korporasi, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak ekspor, bea masuk, bea keluar, dan royalti. Seluruh penerimaan negara tersebut terus dikumpulkan agar bisa membiayai belanja negara untuk masyarakat agar pemerintah tidak perlu melakukan pembiayaan melalui utang.
"Jadi kalau kita bicara tentang pengelolaan utang itu identik dengan mengelola seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita," katanya.
Dia mengungkapkan manajemen utang pemerintah dilakukan secara bijaksana. Hal tersebut menurutnya terbukti dari penilaian berbagai lembaga pemeringkat internasional yang memberikan peringkat yang baik bagi utang Indonesia yakni cenderung di level BBB dengan outlook stabil. Berbagai lembaga internasional yang dimaksud adalah Fitch Ratings, Moody's Investor Service, dan Standard and Poor's (S&P).