06 Januari 2025
19:45 WIB
Pengamat: B40 Tak Berpengaruh Besar Terhadap Transisi Energi
Penggunaan B40 untuk transisi energi belum efektif karena 60% masih menggunakan minyak solar yang notabene merupakan bahan bakar fosil.
Penulis: Yoseph Krishna
Ilustrasi. Dua model menunjukkan bahan bakar B40 usai uji jalan kendaraan B40 di Jakarta, Rabu (27/7/2022). Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay
JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai campuran 40% minyak sawit ke dalam minyak solar (B40) yang diterapkan pemerintah mulai tahun ini tak begitu efektif untuk menyukseskan agenda transisi energi.
Kepada Validnews, Fahmy mengungkapkan ketidakefektifan itu tak lepas dari penggunaan energi fosil, dalam hal ini minyak solar dengan porsi yang masih lebih besar di angka 60%.
"Pencapaian B40 sebagai energi bersih belum efektif karena masih 60% menggunakan energi kotor (fosil). Kalau bisa mencapai B100, bisa menjadi salah satu EBT," ujarnya, Senin (6/1).
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pemerintah menetapkan penerapan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan campuran bahan bakar nabati biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025.
Ketetapan itu disampaikan langsung oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (3/1).
"Kementerian ESDM baru selesai melakukan rapat internal membahas secara detail terkait urusan biodiesel. Kami telah memutuskan peningkatan biodiesel dari B35 ke B40 dan hari ini kami umumkan sudah berlaku mulai 1 Januari 2025," ujar Bahlil beberapa waktu lalu.
Baca Juga: ESDM: Penggunaan B40 Secara Penuh Berlaku Februari 2025
Untuk tahun 2025 ini, pemerintah mematok alokasi B40 sebanyak 15,6 juta kiloliter (kl) dengan rincian 7,55 juta kl untuk PSO dan 8,07 kl sisanya untuk non-PSO.
Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi pun menambahkan mandatori BBN B40 bis menekan impor BBM dan menghemat devisa.
Tak tanggung-tanggung, Eniya memperkirakan penghematan devisa untuk program B40 mencapai Rp147,5 triliun atau lebih besar dari penghematan devisa program B35 yang hanya Rp122,98 triliun.
"Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar," jelas dia.
Baca Juga: Sambut Implementasi B40, Mendag Cek Ketersediaan CPO
Mengenai alokasi B40, Fahmy menilai angka 15,6 juta kl sangat berlebihan karena belum ada jaminan pasar dan belum bisa dipastikan B40 itu bakal terserap.
"Alokasi 15,6 juta kl B40 sangat berlebihan karena belum ada jaminan pasar. Perbaikan dari B35 ke B40 tidak banyak perbaikan yang diperlukan, kecuali ke B100," katanya.
Benturan Energi dan Pangan
Lebih Lanjut, Fahmy menilai penggunaan biodiesel di tahap B40 bakal menciptakan benturan pemanfaatan kelapa sawit antara untuk sektor energi atau untuk sektor pangan.
"Penggunaan biodiesel berpotensi meninmbulkan trade off penggunaan sawit antara untuk energi atau pangan. Kalau tidak dikelola secara benar, bisa menimbulkan krisis," ucap Fahmy Radhi.
Mengutip catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), konsumsi minyak sawit baik Crude Palm Oil (CPO) maupun Palm Kernel Oil (PKO) sepanjang Januari-Oktober 2024 menyentuh angka 19,64 juta ton atau 1,9% lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya di angka 19,27 juta ton.
Penggunaan minyak sawit untuk keperluan sektor pangan tercatat lebih rendah 3,64% dari 8,68 juta ton periode Januari-Oktober 2023 menjadi hanya 8,37 juta ton Januari-Oktober 2024.
Sedangkan di lain sisi, penggunaan minyak sawit untuk keperluan biodiesel periode Januari-Oktober 2024 mengalami peningkatan 8,01% menjadi 9,40 juta ton dari tahun sebelumnya 8,70 juta ton.