03 Februari 2023
20:56 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan surat berharga negara (SBN) ritel tersedia agar masyarakat Indonesia tak lagi tertipu dan terjerat investasi ilegal.
"Kalau saya tidak mengeluarkan SBN, Anda yang punya tabungan nanti bingung menaruh uang di mana, akhirnya masuk ke pinjaman-pinjaman online itu," ujar Sri Mulyani dalam acara "Kuliah Umum media Indonesia" yang dipantau secara daring di Jakarta, Jumat (2/2), dikutip dari Antara.
Menurut dia, saat ini masyarakat Indonesia sudah semakin melek dalam berinvestasi sehingga ingin terus membeli SBN ritel. Bahkan, terdapat beberapa masyarakat yang meminta tambahan alokasi saat kuota SBN ritel sudah habis.
Kondisi ini terjadi baru-baru ini pada SBR012. Pemerintah pun menaikkan kuota penawaran dari Rp10 triliun menjadi Rp15 triliun akibat tingginya permintaan.
Keinginan tersebut seiring dengan masyarakat yang membutuhkan instrumen investasi yang baik, dapat dipercaya, dan menjaga nilai tabungan. Pasalnya instrumen investasi lain seperti saham terkadang membuat investor merugi saat harganya sedang turun, berbeda dengan SBN yang tidak akan berkurang nilainya.
Baca juga: Menanamkan Pemahaman Investasi Sejak Dini
Sri Mulyani bercerita basis investor pun kian luas dengan penerbitan SBN ritel, seperti mahasiswa di bawah umur 20 tahun hingga ibu rumah tangga. Hal tersebut lantaran SBN ritel sudah bisa dibeli mulai dari Rp500 ribu.
"Anak-anak dan ibu-ibu ini banyak yang investasi di SBN, saat kami terbitkan itu kami lihat basis investornya," tuturnya.
Dengan semakin kuatnya basis investor di dalam negeri, ia mengatakan nilai tukar rupiah bisa semakin terjaga karena tidak akan terlalu terpengaruh oleh modal asing yang keluar. Semakin banyaknya instrumen investasi di tanah air menggambarkan Indonesia yang semakin maju, ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani menyebutkan rasio utang pemerintah yang sebesar 39,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB) termasuk sehat.
Alasannya, rasio tersebut masih di bawah ketetapan undang-undang (UU) yang mengatur utang pemerintah maksimal 60% PDB.
"Anda terobsesi yang dianggap sehat itu negara tidak ada utang, ya tidak ada. Semua negara, bahkan itu Brunei Darussalam maupun Arab Saudi punya utang," ucap Sri Mulyani.
Ia mengatakan rasio utang tersebut cenderung menurun dari rasio sebelumnya yang berada di kisaran 40% dari PDB saat pandemi covid-19 melanda.
Baca juga: Bulan Literasi Kripto Untuk Tingkatkan Awareness Masyarakat
Penurunan utang, kata Bendahara Negara ini, dilakukan oleh pemerintah dengan terus mengejar penerimaan negara terutama saat perekonomian sedang baik.
Maka dari itu, reformasi perpajakan terus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara, baik dari segi pajak penghasilan (PPh) untuk orang pribadi, PPh korporasi, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak ekspor, bea masuk, bea keluar, dan royalti.
Seluruh penerimaan negara tersebut terus dikumpulkan agar bisa membiayai belanja negara untuk masyarakat agar pemerintah tidak perlu melakukan pembiayaan melalui utang.
"Jadi kalau kita bicara tentang pengelolaan utang itu identik dengan mengelola seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita," katanya.
Ia mengungkapkan manajemen utang pemerintah dilakukan secara bijaksana, sehingga berbagai lembaga pemeringkat internasional pun memberikan peringkat yang baik bagi utang Indonesia yakni cenderung di level BBB dengan outlook stabil.
Berbagai lembaga internasional yang dimaksud yakni seperti Fitch Ratings, Moody's Investor Service, dan Standard and Poor's (S&P).