JAKARTA - CIPS merekomendasi pemerintah untuk mengevaluasi efektivitas program pupuk bersubsidi. Sejauh ini, program terkait belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, seperti beras.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Aditya Alta menjabarkan, program pupuk bersubsidi telah menyerap anggaran subsidi non-energi terbesar, dengan rerata tahunan mencapai Rp31,53 triliun di periode 2015-2020.
Karena itu, diperlukan reformasi kebijakan pupuk nasional secara menyeluruh, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.
“Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” terang Aditya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (28/1).
Penelitian CIPS menunjukkan, tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan dari 2014-2019. Pada 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton. Angka sementara produksi padi 2021 adalah 55,27 juta ton GKG, laporan ini menunjukkan target tidak tercapai.
Berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) pupuk bersubsidi 2020, usulan kebutuhan terbesar datang dari petani subsektor tanaman pangan (padi dan palawija).
Jika dikaitkan dengan sasaran produksi yang ingin dicapai melalui pupuk bersubsidi, berdasarkan Rencana Strategis atau Renstra Kementan 2020-2024, sasaran produksi padi untuk 2021 mencapai 62,50 juta ton gabah kering giling (GKG).
Yang menarik, sebut Aditya, Renstra yang sama juga memperkirakan kebutuhan subsidi pupuk akan terus berkurang setiap tahun, dari Rp26,60 triliun (2020), menjadi Rp23,10 triliun (2021), dan terus menurun hingga Rp15,40 triliun (2024).
"(Namun) kenyataannya, realisasi subsidi pada 2020 dan 2021 justru melonjak mencapai Rp30 triliun," tegasnya.
Realisasi subsidi pupuk 2021 diperkirakan mencapai Rp29,06 triliun, lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi 2020 yang sebesar Rp34,24 triliun, salah satu realisasi subsidi pupuk terbesar sepanjang masa.
Sementara itu, APBN 2022 menetapkan alokasi subsidi pupuk sebesar Rp25,28 triliun, atau yang terendah sejak 2014.
Melihat tren itu, Aditya bilang, kebijakan subsidi pupuk dalam jangka pendek belum menunjukkan potensi perubahan yang signifikan. Seperti pengurangan anggaran secara drastis atau realokasi subsidi ke bidang lain.
Kebijakan input pertanian dari pemerintah, termasuk pupuk bersubsidi, tampak hanya difokuskan pada perbaikan mekanisme penebusan melalui Kartu Tani, dengan target penerapan secara nasional pada 2024.
"Padahal, yang perlu dilakukan adalah reformasi bantuan untuk mencegah insentif yang salah (perverse incentive), mendorong kompetisi, dan pada akhirnya mendukung kemandirian usaha tani," ujarnya.
Adaptasi Kartu Tani Lamban
Selain itu, CIPS juga menyoroti, proses adopsi Kartu Tani oleh petani berjalan sangat lamban. Pada 2020, jumlah Kartu Tani tercetak mencapai 9,30 juta kartu, atau setara 66,91% dari total 13,90 juta petani calon penerima di e-RDKK.
Adapun Kartu Tani yang sudah didistribusikan mencapai 6,20 juta kartu, atau sekitar 44,60% calon penerima. Sedangkan, yang sudah digunakan petani baru mencapai 1,20 juta kartu setara dengan 8,63%.
“Kebijakan input pertanian, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Perlu diingat, pupuk bersubsidi adalah instrumen untuk mendorong investasi petani pada sarana pertanian untuk meningkatkan produktivitas,” cetusnya.
Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator 'kelulusan' seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi.
Namun mekanisme evaluasi ini harus didukung data pertanian yang akurat dan selalu diperbarui, untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani.
"Tidak kalah penting, kebijakan di sisi suplai turut diperlukan untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar," pungkasnya.