27 Desember 2024
11:42 WIB
Peneliti: Kenaikan Cukai Tak Efektif Turunkan Konsumsi Rokok
Konsumen yang sensitif terhadap harga cenderung beralih dari rokok golongan 1 (rokok mahal) ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah dengan cukai lebih rendah
Petugas Bea Cukai mendata rokok ilegal sebelum dimusnahkan di Tempat Penimbunan Pabean KPPBC TMP Tan jung Emas, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/7/2024). Antara Foto/Makna Zaezar
JAKARTA - Hasil kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) Malang Jawa Timur menyebutkan, kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau, tidak efektif dalam menjaga keseimbangan kebijakan industri hasil tembakau (IHT).
Pasalnya, menurut peneliti senior PPKE-FEB UB Joko Budi Santoso, ada pola pergeseran pada konsumen rokok untuk mengonsumsi rokok yang lebih murah ketika harga rokok meningkat.
Kenaikan tarif cukai rokok, lanjut dia dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (27/12) menunjukkan, adanya efek substitusi. Konsumen yang sensitif terhadap harga cenderung beralih dari rokok golongan 1 (rokok mahal) ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah dengan cukai lebih rendah.
Fenomena tersebut terlihat jelas ketika tarif cukai naik, harga rokok golongan 1 meningkat tajam, tetapi konsumsi total rokok tetap stabil pada 32,5% hingga tarif cukai mencapai 25%.
"Bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai tidak efektif dalam menurunkan konsumsi rokok secara keseluruhan, karena hanya terjadi pergeseran konsumsi dari produk mahal ke produk yang lebih murah," ujarnya.
Hasil kajian PPKE-FEB UB pun menyatakan, kebijakan kenaikan tarif cukai, baik dengan atau tanpa diikuti kenaikan harga rokok, tidak efektif dalam mengurangi konsumsi rokok secara signifikan.
Menurut Joko, efek substitusi menjadi penghambat utama, di mana konsumen beralih ke produk yang lebih murah. Sementara peredaran rokok ilegal meningkat selain itu, produksi rokok legal menurun, jumlah pabrik berkurang, dan basis penerimaan negara menyusut.
Untuk mencapai tujuan pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, tambahnya, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif. Seperti penguatan pengawasan terhadap rokok ilegal, strategi harga yang seimbang antar golongan, serta edukasi kesehatan untuk menekan permintaan rokok secara bertahap.
"Dengan pendekatan ini, kebijakan fiskal dapat lebih efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok sekaligus meminimalkan dampak negatif terhadap industri dan pendapatan negara," tuturnya.
Dikatakannya, kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri rokok kecil, penanggulangan rokok ilegal, serta pendekatan berbasis data untuk pengendalian konsumsi, menjadi sangat penting untuk keberlanjutan sektor industri hasil tembakau dan keseimbangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, hal ini memerlukan evaluasi terus-menerus dan integrasi lintas sektor untuk memastikan kebijakan yang lebih efektif dan inklusif.
PPKE-FEB UB berharap, kajian ini dapat menjadi landasan penting bagi multi stakeholders untuk merumuskan kebijakan yang lebih bijaksana. Terutama dalam menyeimbangkan antara pengendalian konsumsi tembakau, pemberantasan rokok ilegal, dan keberlanjutan industri hasil tembakau (IHT).
"Respons positif dari masyarakat menunjukkan tingginya kepedulian publik terhadap isu ini, sekaligus menjadi momentum untuk mendorong kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri dalam menciptakan kebijakan cukai yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan berdampak luas bagi perekonomian serta kesehatan masyarakat," imbuhnya.
Rokok Murah
Sebelumnya, beberapa ahli menyoroti perlunya kenaikan tarif cukai hasil tembakau, selain juga harga jual eceran (HJE) rokok, untuk mampu secara efektif menekan konsumsi rokok oleh masyarakat. Mukhaer Pakkanna, Senior Advisor Center of Human Economic Development (CHED) 'ITB Ahmad Dahlan' mengatakan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 97 Tahun 2024 yang menaikkan HJE tembakau, tapi tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau, dikhawatirkan tidak dapat secara efektif menekan konsumsi rokok oleh masyarakat.
Salah satu isu utama yang perlu menjadi perhatian, jelasnya, adalah potensi munculnya efek negatif seperti down trading atau penurunan di mana konsumen beralih ke produk rokok lebih murah. Selain itu, maraknya peredaran rokok ilegal juga menjadi ancaman serius yang dapat mengurangi efektivitas kebijakan ini.
"Sayangnya, kebijakan ini tidak menyentuh Cukai Hasil Tembakau -CHT- yang selama ini menjadi instrumen strategis dalam pengendalian konsumsi rokok. Lebih ironis lagi, penetapan HJE tidak memperlihatkan keberpihakan pada upaya pro-kesehatan," jelas Mukhaer.
Dia menyebut, hal itu karena tarif dan harga rokok yang diproduksi massal melalui mesin, tetap rendah dibandingkan dengan rokok manual. Sehingga membuka peluang bagi beredarnya rokok murah yang terjangkau oleh masyarakat bawah.
Dia mengkhawatirkan, dengan pendekatan seperti ini, tujuan untuk menekan prevalensi perokok akan sulit tercapai.
"Kebijakan ini lebih menguntungkan industri rokok besar ketimbang menjadi solusi bagi masalah kesehatan masyarakat. Jika pemerintah ingin serius, diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif dan konsisten dalam melindungi masyarakat, terutama generasi muda, dari bahaya rokok," tuturnya.
Dalam pernyataan serupa, Direktur CHED 'ITB Ahmad Dahlan' Jakarta Roosita Meilani Dewi menjelaskan, perspektif mikro ekonomi dalam pengendalian tembakau dan menghitung harga transaksi pasar kesehatan masyarakat. Bagi pengendalian kenaikan HJE, katanya, cukup penting menaikkan harga transaksi pasar, sehingga tidak dapat terjangkau oleh masyarakat rentan yaitu masyarakat miskin dan remaja.
Menurutnya, kenaikan Harga Jual Eceran rokok tahun 2025 yang diatur dalam PMK 97 tahun 2024, diperkirakan tidak mampu menekan konsumsi. Karena Rokok jenis Sigaret Kretek Mesin -SKM- dan Sigaret Putih Mesin - SPM- yang memiliki pangsa pasar tertinggi hanya naik 5-7%, sedangkan Sigaret Kretek Tangan -SKT- yang masih memiliki pangsa pasar rendah justru naik 18,6%.
“Padahal fakta lapangan menunjukkan bahwa rokok dengan jenis SKM dan SPM banyak dikonsumsi remaja dan perokok pemula," imbuh Roosita.