23 November 2021
16:55 WIB
Penulis: Zsasya Senorita
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono optimistis perekonomian Indonesia di sektor kelautan dan perikanan akan meningkat, melalui penangkapan ikan terukur. Kebijakan ini diyakini akan menciptakan perputaran uang hingga Rp281 triliun per tahun.
Hal tersebut disampaikan Menteri Trenggono saat menjadi pembicara kunci dalam Economic Outlook secara virtual di Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (23/11).
“Kebijakan penangkapan ikan terukur akan memiliki multiplier effect bagi pembangunan nasional, selain sebagai penopang ketahanan pangan. Perputaran uang mencapai Rp281 Triliun per tahun melalui kebijakan penangkapan terukur dan akan menyerap tenaga kerja di sektor kelautan dan perikanan serta distribusi pertumbuhan daerah,” jelasnya.
Multiplier effect dari penangkapan ikan terukur juga dipercaya akan mendorong peluang investasi pada aktivitas primer dan sekunder dari penangkapan ikan, pengelolaan pelabuhan, dan industri perikanan.
“Saya berharap, dengan adanya fakta bahwa sektor perikanan ternyata memiliki peluang nilai yang besar, maka akan mendorong hadirnya investor dalam aktivitas penangkapan ikan ini,” tambahnya.
Namun ia mengingatkan bahwa harapan ini membutuhkan dukung infrastruktur dan sistem pendaratan yang matang serta mumpuni.
“Suplai pasar domestik maupun ekspor nantinya dapat dilakukan dari pelabuhan tempat ikan didaratkan atau melalui pelabuhan hub yang berada di masing-masing WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan Untuk Penangkapan Ikan.red) tersebut. Kapal angkut yang digunakan harus dilengkapi dengan container dingin,” tandas Trenggono.
Kebijakan penangkapan ikan terukur adalah pengendalian yang dilakukan dengan menerapkan sistem kuota atau catch limit, kepada setiap pelaku usaha. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menginformasikan, kebijakan ini telah diterapkan di beberapa negara maju seperti Uni Eropa, Islandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Kebijakan penangkapan terukur akan memberikan batasan untuk area penangkapan ikan, serta jumlah ikan dengan memberlakukan sistem kuota melalui kontrak penangkapan untuk jangka waktu tertentu. Batasan penangkapan terukur juga meliputi musim penangkapan ikan, jenis alat tangkap, dan pelabuhan perikanan sebagai tempat pendaratan atau pembongkaran ikan. Kemudian, suplai pasar domestik dan ekspor ikan harus dilakukan dari pelabuhan di WPP yang ditetapkan.
Kuota penangkapan sendiri, ditentukan berdasarkan kajian dari Komite Nasional Pengkajian Stok Ikan (Komnaskajiskan) dan Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Kuota akan diberikan kepada pelaku usaha atau nelayan dengan pembagian kuota untuk nelayan tradisional, kuota untuk tujuan komersial, dan kuota untuk tujuan non komersil.
Trenggono menjelaskan bahwa kebijakan ini dilakukan untuk menghindari terjadinya overfishing, sehingga populasi perikanan terjaga. Sekaligus juga menghapus stigma tingginya praktik illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di Indonesia dan berubah menjadi legal, reported, regulated fishing (LRRF).
Bila kebijakan ini diterapkan, Trenggono yakin bahwa pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia semakin maju dan berdaya saing produk global.
“Artinya bila kebijakan ini diterapkan, maka pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia setara dengan negara-negara maju dan daya saing produk perikanan Indonesia di pasar dunia semakin tinggi,” pungkasnya.