c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

EKONOMI

28 Agustus 2021

18:00 WIB

Penanganan Gangguan Jiwa, Antara Upaya dan Minimnya Daya

Anggaran dan fasilitas dan tenaga kesehatan penanganan beragam jenis gangguan jiwa, masih jauh dari kebutuhan yang diperlukan

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,

Editor: Fin Harini

Penanganan Gangguan Jiwa, Antara Upaya dan Minimnya Daya
Penanganan Gangguan Jiwa, Antara Upaya dan Minimnya Daya
Petugas medis menyiapkan vaksin covid-19 untuk pasien ODGJ di RSKD Dadi di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/6/2021). ANTARAFOTO/Arnas Padda

JAKARTA – Perubahan besar dan drastis di berbagai lini kehidupan, begitu terlihat ketika covid-19 merebak. Ada kebijakan karantina wilayah, social distancing, dan keharusan beraktivitas di rumah yang membuat masyarakat bak terputus dari kehidupan sosial. Belum lagi, keharusan isolasi, baik mandiri maupun di rumah sakit kala seseorang terpapar virus menular covid-19.

Batas waktu berbagai pembatasan yang diberlakukan pun belum diketahui secara pasti. Bisa jadi sampai tahun depan, atau bahkan lebih lama.

Nah, perubahan besar tanpa batas waktu yang jelas, lama kelamaan mengancam pula kesehatan fisik dan mental seseorang. Hal itu ditegaskan Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Atma Jaya Eva Suryani.

Ia menyebutkan, masalah mental diperparah dengan belum diketahuinya kapan pandemi benar-benar akan berakhir. Dalam jangka waktu lama, masyarakat pun hidup dalam ketidakpastian yang krusial.

Eva yang juga berprofesi sebagai psikiater, merinci gangguan kesehatan fisik maupun mental yang dimaksud meliputi gangguan tidur, cemas, panik, dan depresi.

Survei lebih detail dilakukan di China yang menjadi lokasi kasus covid-19 pertama kali dilaporkan. Hasil survei membuktikan tingkat stres masyarakat akibat pandemi covid-19 mencapai 27% dari 52.730 responden di 36 provinsi. Survei yang sama menunjukkan, perempuan lebih stres dibanding laki-laki, dengan persentase masing-masing di kisaran 24% dan 21%.

Senada, perwakilan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Yohanes Rasul Iman mengaku pandemi turut menambah penderita skizofrenia, meski jumlahnya relatif tak terlalu banyak. Pagebluk bahkan berpotensi memunculkan gangguan jiwa pada sejumlah penyintas, yang sebetulnya sudah memasuki tahap penyembuhan.

Untuk diketahui, skizofrenia adalah gangguan kejiwaan kompleks yang ditandai perubahan perilaku, pola pikir kacau, delusi, halusinasi, dan disfungsi psikososial.

“Pastinya, lebih banyak yang kambuh. Kasus skizofrenia kan kronis dan kambuhan. Pada masa pandemi begini, susah, mau berobat juga takut. Sehingga teman-teman banyak yang kambuh, karena skizofrenia paranoid, kan, takut melihat orang, cemas,” papar Yohanes kepada Validnews, Jumat (27/8).

Komunitas beranggotakan 70 ribu orang se-Indonesia itu mencatat, jumlah penderita skizofrenia di Indonesia paling banyak adalah skizofrenia paranoid. Sementara, jenis skizofrenia lainnya, ada skizoafektif yang merupakan gabungan gejala skizofrenia dan depresi.

Jaminan Kesehatan
 
Yohanes menjelaskan, sebagai perawatan, sejatinya pengidap skizofrenia paling tidak membutuhkan rawat inap sekira satu bulan, baru kemudian dilanjutkan rawat jalan. Pria yang juga penyintas skizofrenia itu menyebutkan, rekan-rekan senasibnya butuh mengonsumsi obat seumur hidup untuk memelihara kestabilan mental, dengan dosis yang terus diturunkan bila kondisi pasien membaik.

Bersyukur, Yohanes mengaku sangat terbantu dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari kepesertaan BPJS Kesehatan. Dengan BPJS,  ia dapat memperoleh obat gratis, termasuk obat berharga mahal.

“Dicover, dapAt semua, sudah bagus. Tidak seperti waktu dulu saya pertama tahun 1985, susah banget. Belum memenuhi kebutuhan, harus beli obat juga,” tandas pria berusia 56 tahun tersebut.

Hanya saja, Yohanes mengeluhkan implementasi Undang-Undang Kesehatan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 yang dirasa masih kurang, meski sudah banyak melahirkan regulasi turunan.

Ia mencontohkan, saat ini banyak Fasilitas Kesehatan Tahap Pertama (FKTP) seperti puskesmas yang hanya menyediakan obat generasi pertama. Terkhusus di Indonesia Bagian Timur dan wilayah pedalaman lainnya.

“Puskesmas-puskesmas di pedalaman masih susah. Obatnya masih generasi pertama yang efek sampingnya masih banyak atau halusinasi,” imbuh Yohanes.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menerangkan, secara kuratif, obat-obatan paramedis bagi Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) memang semestinya terintegrasi dan terjamin. Pasal 62 UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa telah menegaskan hal tersebut.

Beleid itu berbunyi kesehatan jiwa turut disinergikan dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), di mana pemerintah dan pemda menjamin ketersediaan obat dalam layanan manfaat SJSN.

Timboel mengamini pelayanan JKN bagi ODGJ memang sudah tersedia di lapangan, namun masih terdapat sejumlah persoalan. Menurutnya, masih ada pasien ODGJ yang tidak mendapatkan obat secara berkelanjutan.

Padahal, asupan obat bagi pasien dengan gangguan mental, tak bisa disamakan dengan penyakit lain yang bisa sembuh dalam waktu singkat. Contohnya, terjadi pada satu kasus yang pernah diadvokasi BPJS Watch. Seorang pasien hanya mendapatkan obat untuk 15 hari dalam sebulan. Selebihnya harus membeli sendiri.

“ODGJ ini tidak begitu, dia akan panjang dan berkelanjutan. Ini yang menurut saya harus dijamin JKN. Ini dari perspektif advokasi yang pernah kita lakukan,” ujarnya kepada Validnews di Jakarta, Sabtu (21/8).

Kurang Fasilitas
 
Penanganan ODGJ makin pelik, mana kala jumlah rumah sakit jiwa yang khusus menangani kondisi ini juga sedikit dan tidak tersebar merata hingga pelosok Indonesia.

Keterbatasan pelayanan, membuat penderita gangguan jiwa kerap kali terpaksa dipulangkan, sebelum mencapai kondisi emosional yang stabil. Alasan umumnya, demi bergantian dengan ODGJ lain yang juga butuh perawatan.

“Penanganannya tidak komprehensif, baik dari sisi fasilitas rehabilitasi, obat, pelayanan kesehatan, dan lainnya. Kalau tidak teratasi di rumah, lalu masuk RS lagi, jadi ganti-gantian saja enggak tuntas,” papar Timboel

Ia pun menyarankan pemerintah untuk menyiapkan mitigas penanganan ODGJ, jika belum bisa membangun fasilitas rumah sakit yang mumpuni dan merata seluruh Indonesia. Sekaligus, menyediakan tenaga kesehatan spesialis jiwa hingga pelosok Tanah Air yang bisa memberikan pelayanan kuratif.

Lebih lanjut, Timboel mengingatkan pemerintah, agar tak lupa meningkatkan upaya preventif dan promotif terkait kesehatan jiwa, terutama di masa pandemi. Sebab, upaya pencegahan akan lebih efisien menekan jumlah ODGJ hingga menghemat uang negara untuk penyembuhannya.

“Misal ada anggota keluarga meninggal karena covid-19, itu kan terdata Kemenkes. Pemerintah bisa lakukan pemantauan dan menjalin komunikasi dengan keluarga yang ditinggalkan. Bagaimana supaya tidak tercipta ODGJ baru,” paparnya.

Asal tahu saja, perasaan duka dan kehilangan yang tak teratasi, bisa menimbulkan masalah kejiwaan. Hal tersebut sudah banyak terbukti.


Lolos Penanganan
 
Di sisi lain, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) membeberkan masih ada kelompok gangguan jiwa yang luput dari penanganan pemerintah, sekaligus jaminan kesehatan dari BPJS. Salah satunya adalah orang dengan risiko bunuh diri atau melukai diri sendiri.

“Bunuh diri tidak masuk BPJS, padahal kita tahu mereka yang mengalami major depression itu kemungkinan bunuh dirinya cukup tinggi. Itu yang sering tidak terdiagnosa,” ujar PDSKJI Diah Setia Utami melalui sambungan telepon dengan Validnews, Jumat (27/8).

Bila merujuk Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2015, penyakit yang masuk kategori gangguan jiwa adalah delirium, demensia, gangguan mental, dan perilaku akibat zat psikoaktif. Kemudian, gangguan pemusatan perhatian, episode depresi, skizofrenia, obsessive-compulsive disorder (OCD), post-traumatic stress disorder (PTSD), serta anxiety disorder.

Kadung tidak tercantum dalam undang-undang sebagai cakupan JKN, penanganan dinilai menjadi cukup sulit dan kurang terdata. Sementara, BPJS Kesehatan hanya mengeluarkan biaya atas klaim pelayanan kesehatan yang tercantum dalam UU JKN.

“Kita jadi agak stuck karena mengubah undang-undang di Indonesia tidak mudah dan biayanya besar. Siapa yang harus berperan di sini? Tentu kan tim JKN-nya,” sambung Diah.

Ia mengaku, sudah melakukan audiensi dengan Menteri Kesehatan terkait hal tersebut, namun memang kendalanya adalah pemerintah masih fokus pada penanganan covid-19. jADI perbaikan layanan pada jenis kesehatan jiwa belum menjadi prioritas.

Diah yakin, banyak pihak paham, pemulihan gangguan jiwa tidak berhenti hanya sampai pemberian obat saja. Masih ada tahap proses perubahan perilaku, psikoterapi terapi kelompok, terapi keluarga, hingga rehabilitasi sosial untuk penderita skizofrenia, bipolar, dan gangguan psikotik lainnya.

“Itu yang belum masuk ditanggung BPJS Kesehatan, jadi sangat terbatas. Akhirnya, hanya rumah sakit yang punya dana yang bisa melakukan program rehabilitasi sosial berkesinambungan,” tandasnya.

Sepengetahuan Diah, BPJS Kesehatan maksimal hanya menanggung biaya rawat inap tiga bulan untuk pasien gangguan jiwa fase akut. Sementara, pada fase tersebut, pasien hanya mendapatkan pengobatan untuk stabil. Selanjutnya, masih butuh rehabilitasi.

Namun ia menilai, alur untuk pasien mendapat perawatan kesehatan jiwa yang ditanggung BPJS tidaklah sulit. Secara garis besar, sama dengan mengakses layanan kesehatan untuk penyakit kronis lainnya.

Pertama, pasien bisa mendatangi FKTP seperti puskesmas, poliklinik, dan dokter praktik, serta memperoleh layanan FKRTL seperti RS Jiwa jika sudah mengantongi surat rujukan dari FKTP. Penderita gangguan jiwa yang terdaftar aktif BPJS Kesehatan juga bisa langsung mendatangi IGD RS Jiwa, bila memenuhi kriteria gawat darurat.

Sementara itu, pasien di daerah yang tidak memadai Fasilitas Kesehatan Rujukan Lanjutan (FKRL) khusus jiwanya, bisa mengambil obat di puskesmas. Meski turut diakui ketersediaan obat dan kemampuan tenaga kesehatan di puskesmas masih terbatas.

“PDSKJI bersama Kemenkes sedang berusaha meningkatkan kompetensi dokter puskesmas agar mereka punya kemampuan mengobati, sehingga jenis obat juga akan lebih bervariasi. Insyaallah sudah disetujui, hanya Permenkesnya belum keluar untuk tingkatkan kemampuan sampai menangani kasus tertentu,” papar Diah.

Biaya Penanganan
 
BPJS Kesehatan pun menjawab sejumlah kritik ini. Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf menyebutkan, masalah terkait akses obat maupun kekurangan pada aspek lain, bukan disebabkan oleh minimnya anggaran. BPJS Kesehatan telah melakukan perencanaan dan pengalokasian anggaran untuk biaya pelayanan kesehatan setiap tahunnya, termasuk untuk penanganan gangguan jiwa.

“Kami lakukan dengan melewati berbagai proses perhitungan yang matang,” ujar Iqbal kepada Validnews, Sabtu (28/8).

Merujuk data pihaknya, klaim penanganan gangguan jiwa sejak BPJS Kesehatan berdiri pada 2014 mencapai ratusan miliar. Tepatnya, Rp384,53 miliar pada 2014, Rp400,35 miliar pada 2015, Rp418,93 miliar pada 2016, dan Rp480,82 miliar pada 2017. Selanjutnya, untuk periode 2018, 2019, dan 2020 masing-masing senilai Rp540,62 miliar, Rp575,27 miliar, dan Rp470,97 miliar.

Dari pengeluaran tersebut, klaim tertinggi untuk biaya rawat jalan tingkat lanjutan pada kasus gangguan jiwa periode 2020 adalah pelayanan kesehatan mental ekstensif, sebesar Rp40 miliar. Sementara, klaim rawat inap tingkat lanjut trindentifikasi paling besar untuk skizofrenia ringan, sebesar Rp249,57 miliar

Iqbal pun menekankan sejak Juli 2020 sampai saat ini, BPJS Kesehatan tidak terlambat membayar klaim jatuh tempo yang diajukan oleh rumah sakit. Demikian halnya dengan penyaluran dana kapitasi untuk FKTP yang diklaim masih berjalan on the track sesuai ketentuan berlaku.

“Sebagai lembaga pelayanan publik, kami menyadari bahwa kami tidak dapat memuaskan 100% peserta. Untuk itu kami memerlukan dukungan dari seluruh pihak, termasuk organisasi profesi, LSM, dan masyarakat, untuk bersama-sama menyempurnakan penyelenggaraan Program JKN-KIS ini,” ujar Iqbal.

Dilihat rata-ratanya, biaya yang dikeluarkan BPJS dalam 6 tahun terakhir masih di kisaran Rp500 miliar. Masih terpaut jauh dengan kebutuhan penanganan gangguan jiwa berdasarkan penelitian Associate professor Universitas Padjadjaran Irma Melyani Puspitasari.

Bila melihat data Riskesdas 2018 yang baru dirilis Kemenkes pada Juni 2020, hanya 9% penderita depresi di Indonesia yang menjalani pengobatan medis atau setara 42.606 orang. Dari jumlah penduduk depresi berusia ≥ 15 tahun sebanyak 706.689 orang. Atau merujuk penelitian Irma, setiap pasien mengunjungi rumah sakit hanya 2-3 kali setahun.

Ia meneliti besaran biaya yang dibutuhkan dalam penanganan gangguan jiwa. Dari sistem informasi rumah sakit, data menunjukkan rata-rata biaya pengobatan per pasien per tahun adalah Rp3,3 juta untuk skizofrenia. Lalu Rp17,97 juta untuk gangguan bipolar, Rp1,6 juta untuk depresi, dan Rp1.19 juta untuk gangguan kecemasan.

Di antara semua gangguan jiwa, biaya pengobatan gangguan bipolar paling mahal, yaitu Rp17,97 juta per pasien. Dengan asumsi semua pasien mengikuti perawatan medis dalam satu tahun, biaya langsung yang tertinggi secara nasional adalah pengobatan gangguan bipolar, mencapai Rp62,9 triliun.

Biaya pengobatan untuk kondisi depresi juga tinggi, yakni Rp18,9 triliun. Sementara, biaya untuk mengatasi gangguan kecemasan dan skizofrenia, masing-masing Rp4,2 triliun dan Rp1,5 triliun.

“Dari angka-angka itu, total biaya adalah Rp87,5 triliun per tahun,” tandasnya.

So, dari semua hal di atas, rasanya memang agak sulit untuk menuntaskan persoalan penanganan gangguan kesehatan jiwa dalam tempo singkat. Selain kompetensi tenaga kesehatan yang masih jauh dari kata cukup, nyatanya kesehatan jiwa masih harus berbagi anggaran dengan jenis penyakit lainnya yang juga butuh penanganan serius. Apalagi di tengah pandemi seperti saat ini.

Namun, bukan berarti kita berhenti berusaha bukan? Yang paling mungkin dilakukan dengan biaya yang tak terlampau banyak adalah mengubah persepsi masyarakat terhadap kesehatan jiwa. Jika tak mampu membantu, jangan mengganggu. Itu saja.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar