18 Juni 2024
13:38 WIB
Pemkab Bekasi: 14.000 Ha Lahan Hutan Muaragembong Menanti Sertifikasi
Pemerintah Kabupaten Bekasi mengaju sudah meminta Menteri ATR/Kepala BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk mempercepat proses penerbitan sertifikat lahan di Muaragembong
Foto udara permukiman warga Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. ANTARA/Pradita Kurniawan Syah
KABUPATEN BEKASI - Sebanyak 14.000 hektare lahan kawasan hutan sosial di Kecamatan Muragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menanti sertifikasi dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Hal ini diharapkan setelah lahan-lahan tersebut mendapatkan persetujuan pelepasan status melalui proses permohonan pengajuan selama dua tahun terakhir.
"Saya juga sudah sampaikan ke Pak Menteri AHY untuk mempercepat proses penerbitan sertifikatnya. Mudah-mudahan bisa tahun ini," kata Penjabat Bupati Bekasi Dani Ramdan, Selasa (18/6).
Dia mengatakan, pengajuan sertifikasi ini dalam rangka memperjuangkan pelepasan status kawasan hutan sosial atau tanah negara yang sudah ditempati selama puluhan tahun oleh masyarakat Kecamatan Muaragembong.
Pemerintah daerah dalam masalah ini berkewajiban mengawal setiap permohonan yang menjadi aspirasi masyarakat setempat, hingga seluruh tahapan dapat dituntaskan sehingga mereka mendapatkan kepastian hukum atas legalitas status kepemilikan tanah dimaksud.
"Sudah mendapat persetujuan dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk dilepas dan didistribusikan menjadi hak milik masyarakat, tinggal prosesnya," ucap Dani.
Dia berharap perubahan status lahan itu bisa segera terealisasi, agar pihaknya dapat secara utuh mengelola dan membangun infrastruktur di wilayah utara pesisir Muaragembong itu. Sekadar informasi, selain permukiman, sejumlah ruas jalan penghubung dan tambak warga pada beberapa desa di Kecamatan Muaragembong juga masih berstatus milik negara. Kondisi itu menjadi salah satu kendala pemerintah daerah merealisasikan pembangunan.
"Jadi kita terus mendorong untuk diberikan sertifikat hak milik lahan-lahan yang sudah menjadi pemukiman atau rumah tinggal, kantor pemerintah, lapangan, tempat ibadah, sekolah, jalan, dan lainnya yang masih berdiri di atas tanah negara," imbuhnya.
Untuk diketahui, pada 2022, enam desa se-Kecamatan Muaragembong mengajukan permohonan pelepasan status kawasan hutan sosial kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Proses itu terus bergulir hingga mendapatkan persetujuan dari KLHK yang ditindaklanjuti dengan permohonan pengajuan sertifikat tanah.
Desa yang mengajukan perubahan atas status lahan negara itu antara lain Desa Pantai Mekar, Pantai Bahagia, Pantai Bakti, Pantai Harapanjaya, Jayasakti, serta Desa Pantai Sederhana dengan total permohonan pelepasan luas lahan mencapai 14.000 hektare.
Hambatan Reforma Agraria
Sementara itu, Menteri ATR/ Kepala BPN Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY saat berpidato dalam Reforma Agraria Summit di The Meru Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (15/6) menuturkan, tumpang-tindih kebijakan ini jadi salah satu hambatan pelaksanaan program Reforma Agraria yang dijalankan pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN.
“Saat ini kami memiliki mekanisme ‘survei bersama’ instansi lintas sektor, antara Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Kedua kementerian turun ke lapangan untuk melakukan proses verifikasi dan validasi bersama,” tuturnya.
Meski demikian, dia menyebutkan dalam program reforma agraria ini telah menjangkau 12,5 juta hektare (ha) tanah atau 138% dari target 9 juta ha tanah. Dalam realisasi redistribusi tanah program ini, sudah mencapai 1,8 juta hektare dengan rincian redistribusi tanah eks-hak guna usaha atau HGU, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya seluas 1.434.102,06 hektare. Kemudian, redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan seluas 383.228,31 hektar.
AHY menyebut kesepakatan survei bersama dua kementerian ini akan menjadi dasar bagi Kementerian ATR/BPN untuk melakukan sertifikasi tanah masyarakat yang telah dikeluarkan wilayahnya dari kawasan hutan. Dengan mekanisme ini, AHY berharap tidak ada lagi aparatur yang terkena persoalan hukum karena dianggap telah mengakibatkan kerugian negara.