c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

13 Juni 2024

17:47 WIB

Pemerintah Setujui Lima Proyek Hilirisasi Batu Bara PKP2B

Lima proyek hilirisasi yang sudah mendapatkan persetujuan, yakni proyek PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia dan PT Kideco Jaya Agung

<p>Pemerintah Setujui Lima Proyek Hilirisasi Batu Bara PKP2B</p>
<p>Pemerintah Setujui Lima Proyek Hilirisasi Batu Bara PKP2B</p>

Ilustrasi Batu Bara. dok.Shutterstock

JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyetujui lima proyek hilirisasi batu bara. Hilirisasi batu bara sendiri menjadi salah satu syarat bagi perusahaan mendapatkan perpanjangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

"Salah satu syaratnya (perpanjangan izin tambang batu bara) adalah memiliki program hilirisasi batu bara," ujar Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian ESDM Lana Saria dalam acara diskusi bertajuk "Masa Depan Industri Batu Bara di Tengah Tren Transisi Energi" di Jakarta, Kamis (13/6).

Adapun kelima proyek hilirisasi yang sudah mendapatkan persetujuan, yakni proyek yang diajukan PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, serta PT Kideco Jaya Agung.

Secara rinci, KPC dan Arutmin mengajukan proposal proyek hilirisasi berupa gasifikasi batu bara menjadi metanol. Kapasitas produk peningkatan nilai tambah dalam proposal KPC sebesar 1,8 juta ton metanol per tahun, dan Arutmin sebesar 2,95 juta ton metanol per tahun. Akan tetapi, Lana menilai proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol kurang memiliki nilai ekonomi.

"Sehingga, ada di beberapa perencanaannya yang kemudian akan berganti, misalnya dari hilirisasi gasifikasi untuk methanol, akan berubah menjadi amonia," ujar Lana.

Dengan demikian, proposal yang diajukan oleh KPC dan Arutmin, dari gasifikasi batu bara menjadi metanol, berubah menjadi gasifikasi batu bara menjadi amonia. Lebih lanjut, PT Multi Harapan Utama mengajukan proyek peningkatan nilai tambah berupa semikokas dengan kapasitas produk sebesar 500 ribu ton semikokas per tahun.

Kemudian, PT Adaro Indonesia mengajukan proyek pengolahan batu bara menjadi dimethyl ether (DME) dengan kapasitas 2 juta ton metanol per tahun dan 1,34 juta ton DME per tahun. Proyek kelima yang disetujui adalah proyek gasifikasi/underground coal gasification oleh PT Kideco Jaya Agung dengan kapasitas produk 100 ribu ton amonia per tahun dan 172 ribu ton urea per tahun.

"Sebenarnya ada Kendilo (PT Kendilo Coal Indonesia), tapi kan masih ada masalah, masih ada kasus," ujar Lana.

Selain Kendilo, juga terdapat PT Berau Coal yang saat ini masih dalam proses evaluasi. Adapun rencana yang diajukan, yakni gasifikasi dari batu bara menjadi metanol dengan kapasitas produk 940 ribu ton metanol per tahun.


Aktivitas bongkar muat batu bara di pantai Desa Peunaga Cut Ujong, Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Selas a (20/2/2024). Sumber: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/tom. 

Amanat UU
Sekadar mengingatkan, hilirisasi batubara merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Payung hukum tersebut kemudian diperjelas dalam peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Berdasarkan Pasal 124 PP Nomor 96 Tahun 2021 menyatakan, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara wajib melaksanakan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri.

Kegiatan pengembangan tersebut antara lain pembuatan kokas (coking), pencairan Batubara (coal liquefaction), atau gasifikasi batubara, termasuk di antaranya gasifikasi batubara bawah tanah alias underground coal gasification. 

Sebelumnya, ada 11 perusahaan yang telah menyatakan komitmennya untuk melakukan hilirisasi batubara. Namun, sejauh ini, baru lima yang sudah direstui pemerintah. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif mengakui, Indonesia tidak menguasai teknologi untuk program hilirisasi.

"Peningkatan nilai tambah ini masih berat, begitu bicara ke nilai tambah. Maka seluruh proses nilai tambah yang ada di Indonesia, ada kelemahan besar, kita tidak punya teknologi, kita membayar (teknologi) terlalu mahal," tuturnya.

Dia mencontohkan, perusahaan batu bara dalam negeri seperti PT Kaltim Prima Coal dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang mencoba melakukan hilirisasi batubara, harus terkendala oleh mitra rekanan, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) yaitu Air Products yang mundur dari proyek hilirisasi kedua perusahaan tersebut.

Sejatnya, jelas Irwandy, ada delapan teknologi hilirisasi batubara yang sedang dikembangkan, antara lain gasifikasi batubara, pencairan batubara, briket batubara, cokes making, coal upgrading, ekstrasi batubara, blending facility, hingga penerapan CCS dan CCUS. Sebagian besar teknologi tersebut masih dalam tahap kajian kelayakan hingga penyiapan pembangunan, sebagian kecilnya sudah masuk tahap pembangunan dan penerapan teknologi.

Senada, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia tantangan hilirisasi batubara yaitu keekonomian, mengingat pengolahan lebih lanjut produk batubara untuk sumber energi harus menguasai teknologi. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli pun menilai, hilirisasi batubara memang agak sulit diterapkan, karena faktor keekonomiannya.


Petugas mengoperasikan "stekker recliming" untuk memindahkan batubara ke "conveyor belt" di kawasan tambang batubara airlaya milik PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatra Selatan, Selasa (16/11/2021). PT Bukit Asam Tbk menargetkan produksi batubara hingga akhir 2021 sebanyak 30 juta ton. ANTARAFOTO/Nova Wahyudi 

Nilai Tambah
Meski begitu, selalu ada peluang yang bisa diambil untuk mendapatkan nilai tambah dari batu bara. Baru-baru ini, Profesor Institut Teknologi Sepuluh (ITS) Nopember Surabaya Yulfi Zetra berinovasi mengoptimalkan pemanfaatan batu bara melalui hilirisasi batu bara padat menjadi cair dan sintesis bioaditif, pada bahan bakar fosil bersulfur rendah untuk mengatasi krisis minyak.

Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS itu di Surabaya, Senin, menyebutkan, tingkat impor Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia semakin meningkat, padahal Indonesia masih banyak memiliki sumber daya selain minyak bumi.

"Salah satu alternatifnya adalah batu bara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi," kata Yulfi.

Menurutnya, pengolahan batu bara berpotensi menjadi BBM alternatif setelah melalui proses pencairan yang merupakan upaya untuk memecah makromolekul batu bara padat menjadi cair, hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil. Setelah proses yang disebut hidrogenasi tersebut, kata dia, akan diperoleh batu bara dengan rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2 - 1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3–0,9.

Lebih lanjut Yulfi mengulas proses hidrogenasi dimulai dari mempersiapkan materi yang akan diolah dengan cara menghancurkan batu bara, hingga menjadi partikel-partikel kecil dengan ukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter.

Setelahnya partikel tersebut akan dicampurkan dengan beberapa zat, antara lain pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang, dan gas hidrogen. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor pencairan batu bara dan akan direaksikan pada suhu 450 derajat Celsius dan tekanan sebesar 120 MegaPascal (MP).

Setelah melewati proses ini selama 60 menit akan dihasilkan produk batu bara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan. Selanjutnya, kata dia, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30-538 derajat Celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO).

Namun sayangnya, produk fraksi yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel tersebut masih memiliki kandungan belerang yang cukup tinggi. Hal itu berpotensi menimbulkan hujan asam yang dapat merusak lingkungan ketika dilakukan pembakaran pada bahan bakar bersulfur tinggi.

"Sehingga diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan," tutur Yulfi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar