17 Februari 2025
19:30 WIB
Pemerintah Sebutkan Tantangan Dalam Komitmen Ekonomi Hijau
Regulasi dan tata kelola yang belum optimal menjadi salah satu hambatan terbesar untuk mencapai komitmen ekonomi hijau.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fin Harini
Ilustrasi. Obligasi hijau (Green Bonds) dan investasi ESG. Shutterstock/Doidam 10
JAKARTA – Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi mengungkapkan terdapat berbagai tantangan dalam mencapai komitmen yang kuat terhadap ekonomi hijau dan berkelanjutan.
“Meskipun Indonesia telah berkomitmen terhadap ekonomi hijau dan berkelanjutan, masih terdapat tantangan yang perlu diatasi,” kata dia dalam acara Kompas 100 Outlook: Investasi Berkelanjutan di dalam Ekosistem Bisnis Global, Senin (17/2).
Edi menyebutkan tantangan utama yang dihadapi Indonesia antara lain adalah regulasi, pendanaan, dominasi subsidi fosil, dan pengembangan perdagangan karbon.
Regulasi dan tata Kelola yang belum optimal, sambung Edi, menjadi salah satu hambatan terbesar untuk mencapai komitmen tersebut. Selain itu, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi hambatan implementasi investasi hijau.
“Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan kebijakan serta memastikan sinkronisasi antara seluruh dokumen peraturan agar bisa mendukung pertumbuhan ekonomi hijau,” ujarnya.
Tantangan lainnya adalah pendanaan yang terbatas. Investasi energi terbarukan (EBT) antara 2017 hingga 2021 hanya mencapai rata-rata US$1,62 miliar per tahun, jauh dari kebutuhan yang diperkirakan mencapai US$8 miliar per tahun. Bahkan di tahun 2023, investasi di sektor EBT tercatat di bawah rata-rata, yakni hanya mencapai US$1,5 miliar.
“Ini menunjukkan bahwa pendanaan untuk sektor ini masih sangat terbatas,” kata Edi.
Selain itu, sektor bahan bakar fosil masih mendapat investasi besar dengan rata-rata mencapai US$18,23 miliar per tahun pada periode yang sama.
“Dominasi subsidi fosil ini menghambat transisi energi bersih yang menjadi prioritas,” tambahnya.
Edi juga menyoroti tantangan dalam pengembangan perdagangan karbon. Menurutnya, Indonesia perlu segera mendorong kapasitas SDM dan desain kelembagaan yang lebih kuat.
“Kita harus mendorong segera mungkin, seambisius mungkin karena adanya kapasitas SDM, desain kelembagaan dan harga kredit karbon yang belum optimal menjadi tantangan utama,” imbuhnya.
Solusi Pemerintah
Oleh karena itu, Edi mengatakan, pemerintah Indonesia bersama semua pemangku kepentingan perlu mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka mempercepat transisi ekonomi hijau.
Pertama, memperkuat regulasi dan kebijakan, mengembangkan kebijakan dan regulasi khusus ekonomi hijau dan investasi hijau serta memastikan sinkronisasi antara seluruh dokumen peraturan.
Selanjutnya, reformasi kelembagaan, mendesain kelembagaan agar lebih kuat dan tidak tumpang tindih serta memperbaiki sistem yang mendukung kebiayaan hijau.
Lalu optimalisasi perdagangan karbon. Edi mengatakan pemerintah berencana akan menyerahkan urusan perdagangan karbon ini kepada ahlinya.
“Nanti kami serahkan pada para ahli dan pelaku pasar untuk meningkatkan kapasitas SDM,” kata dia.
Strategi selanjutnya yaitu memperkuat kelembagaan, serta menetapkan harga karbon kompetitif sesuai mekanisme pasar instrumen keuangan yang menjadi turunan untuk perdagangan karbon.
Tidak lupa juga dorongan investasi EBT dengan mengesahkan RUU EBET, memperkuat akses pembiayaan melalui perbankan, menetapkan harga EBT yang kompetitif dengan subsidi dan memperpanjang insentif berbasis evaluasi obyektif.
Terakhir yaitu kolaborasi swasta dan internasional, mendorong ketelibatan swasta dalam investasi hijau, perdagangan karbon serta energi terbarukan dan memperkuat kerjasama bilateral dan multilateral.
“Jadi kita tidak ingin puas hanya sekedar MOU Atau Memorandum Understanding Jadi harus sampai kepada implementasi,” tegasnya.