26 Juni 2025
19:44 WIB
Pemerintah RI Ramal Harga Minyak Dunia Sulit Tembus US$100/Barel
Pemerintah Indonesia masih tetap optimistis bahwa harga minyak dunia tidak akan menyentuh US$100 per barel. Apa alasannya?
Penulis: Fitriana Monica Sari
Ilustrasi harga minyak mentah atau crude oil. Envato/Angelov1
JAKARTA - Pasar minyak dunia memasuki fase ketidakpastian baru usai Amerika Serikat (AS) bergabung dalam perang antara Iran dan Israel. Imbasnya, harga minyak dunia diproyeksikan dapat mencapai tiga digit.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia justru masih tetap optimistis harga emas hitam tidak akan menyentuh US$100 per barel.
"Kalau tadi saya lihat dengan harga (minyak) Brent yang sekarang sudah kembali ke sebelum pre-konflik ini, dari yang awal Juni sekitar US$66 per barel, kemudian gara-gara konflik naik ke US$78 per barel, tadi pagi saya lihat sudah US$67-68 per barel, jadi saya lihat sih sepertinya dengan kondisi gencatan senjata sekarang, kecil kemungkinan untuk bisa tembus di atas US$100 per barel," kata Analis Kebijakan Direktorat Jendral Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Wahyu Septia W dalam acara Ngonten Fiskal: Dampak Ekonomi Konflik Iran-Israel, Jakarta, Kamis (26/6).
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Naik Tipis Di Tengah Gencatan Senjata Iran-Israel
Rasa optimis tersebut diperkuat dengan pemikiran bahwa Amerika Serikat dan China juga memiliki kepentingan untuk menjaga agar konflik ini tidak berlarut-larut.
Selain itu, negara-negara OPEC+ sudah mulai mengurangi voluntary cut, sehingga hal ini diperkirakan dapat memberi tambahan terhadap suplai minyak.
"Jadi, itu lumayan memberikan penahan bagi kenaikan harga minyak yang dikhawatirkan bisa naik ke level di atas US$100 per barel. Jadi dari sisi dinamika konfliknya, pun dari sisi supply side-nya juga kita lihat," jelas dia.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia turut mencermati dampak akibat proyeksi pertumbuhan global yang masih lemah, membuat permintaan akan minyak juga masih terbatas.
"Jadi mungkin kenaikannya tidak akan sefantastis yang diperkirakan. Kita hope for the best ya, cautiously optimistic," tegasnya.
Baca Juga: Meraba Arah Harga BBM RI Di Tengah Potensi Iran Tutup Selat Hormuz
Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan Fithra Faisal H mengungkapkan pasar telah memasukkan berbagai faktor, mulai dari faktor pola, hingga kejadian-kejadian terkini dalam harga.
"Sebenarnya ketakutan terbesar market itu adalah ketika selat Hormuz itu ditutup. Jadi kekhawatiran itu sendiri sudah memicu kenaikan harga, itu faktor ekspektasi," ujarnya.
Lebih lanjut, Fithra menyimpulkan tabiat dari harga minyak dunia mirip dengan tabiat dari sektor keuangan, yang sangat sensitif terhadap risiko-risiko negatif.
Ketika market melihat berdasarkan data ternyata lalu lintas di Selat Hormuz tidak ada penurunan yang signifikan atau hanya kurang dari 1% turunnya, maka merupakan bagian dari priced in harga minyak.
"Sampai pada saat dibom sekalipun, itu masih ramai Selat Hormuz. Bahkan, Pertamina juga masih bisa lalu-lalang dari situ. Jadi artinya, mereka melihat, oh oke berarti dalam pola yang kita baca benar, ini masih ramai dan harusnya itu merupakan bagian dari priced in tadi," tutupnya.