02 September 2025
20:03 WIB
Pemerintah Pakai SAL Rp16 T Untuk KDMP, Ekonom: Perlu Ekstra Hati-Hati
Dukungan ekstra yang diberikan untuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMPP) dikhawatirkan hanya mengambil alih porsi ‘kue ekonomi’ yang sudah ada, sehingga minim dampak ekonomi.
Penulis: Siti Nur Arifa
Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di Desa Bentangan, Klaten. Sumber: Kemenhan
JAKARTA - Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengomentari langkah pemerintah dalam menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp16 triliun, guna mendukung bank yang menyalurkan pinjaman untuk program Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).
Menurut perhitungannya, dengan asumsi nilai kredit masing-masing sebesar Rp3 miliar yang dalam waktu dekat akan memulai operasi sebanyak 5.000 koperasi, diperlukan kehati-hatian ekstra bagi para pihak yang terlibat dalam program ini tersebut.
“Diperlukan kehati-hatian ekstra bagi para pihak yang terlibat dalam program ini, sehingga program prioritas yang diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi tidak berubah menjadi masalah besar di kemudian hari,” ujar Wijayanto dalam pernyataan tertulis, Selasa (2/9).
Baca Juga: Sah, Menkeu Alokasikan Rp16 T Untuk Dukung Kopdes Merah Putih
Lebih lanjut, dirinya juga mempertanyakan jaminan program KDMP yang akan menstimulus pertumbuhan ekonomi.
Sebab, jika KDMP hanya menjalankan bisnis yang selama ini sudah dilakukan oleh UMKM dan warung milik masyarakat seperti distribusi pupuk, beras, benih, gas elpiji dan lainnya, maka program KDMP tidak akan memperbesar kue ekonomi, melainkan hanya mengambil alih kue yang sudah ada sehingga hanya akan memberikan dampak minimal bagi pertumbuhan ekonomi.
Lebih dari itu, dirinya mengkhawatirkan investasi yang dilakukan KDMP hanya akan menghasilkan duplikasi sehingga justru meningkatkan inefisiensi ekonomi.
KDMP Harus Ciptakan Bisnis Baru
Sebagai solusi, Wijayanto mendorong KDMP untuk berinovasi dan menciptakan bisnis baru. Terkait hal ini, dirinya menyorot tantangan utama KDMP untuk berkembang datang dari format di mana pengurusnya masih dikelola dengan sistem gaji bulanan.
“Gaji bulanan dikhawatirkan hanya akan menarik sosok-sosok dengan mental karyawan; mereka bergabung sekadar untuk mendapatkan gaji bulanan. Padahal, untuk bisa berkembang, KMP membutuhkan sosok-sosok entrepreneurial yang ini tidak bisa dibentuk secara instan melalui training-training singkat,” urainya.
Sebab itu, Wijayanto mengusulkan seleksi calon karyawan harus mengedepankan sistem merit, dengan visi entrepreneurial yang menjadi parameter penting seleksi, dan gaji serta insentif yang diberikan dikaitkan dengan kinerja KDMP itu sendiri.
Lebih lanjut, dirinya juga menyorot kehadiran KDMP yang dinilai terlalu dipaksakan jika hadir di setiap kecamatan atau desa. Sebab, hal tersebut berpotensi dapat membuat banyak koperasi yang gulung tikar, mengingat belum tentu setiap desa mempunyai potensi ekonomi yang memadai bagi kehadiran sebuah koperasi.
“Perlu dilakukan analisa kebutuhan setiap desa, tidak perlu dipaksakan satu desa satu koperasi. Bisa jadi, satu KMP untuk melayani beberapa desa merupakan solusi yang realistis di banyak tempat,” ujarnya.
Risiko Kredit Macet dan Korupsi
Tak ketinggalan, Wijayanto juga menyorot adanya risiko keberadaan Dana Desa sebagai jaminan kredit yang berpotensi menimbulkan moral hazard baik di kalangan para pengelola maupun karyawan koperasi dan para bankir.
Menurutnya, akan ada beberapa pihak yang berpikiran bahwa kredit di KDMP seolah sudah dijamin dan tidak perlu bertanggung jawab jika terjadi masalah kecurangan/fraud. Terkait hal ini, Wijayanto menegaskan bank-bank pemberi kredit wajib menjalankan proses kredit yang profesional dan menolak kredit bagi KDMP yang tidak layak.
Selain itu, Wijayanto juga menilai program KDMP yang dibentuk dengan biaya besar serta dijalankan secara tergesa-gesa sangat rentan dijadikan ladang korupsi.
Baca Juga: Pemerintah Ungkap Potensi Risiko Dari Kopdes Merah Putih
“KDMP yang dijalankan secara masif hingga di seluruh penjuru Indonesia memenuhi hampir seluruh syarat untuk dijadikan mainan para koruptor, berbagai strategi pengawasan akan sulit dilakukan. Bisa jadi, korupsi akan menjadi faktor terbesar yang mengancam keberadaan program ini,” imbuhnya.
Risiko ini yang menurut Wijayanto masih menghantui kelangsungan KDMP dan belum ditemukan solusi atau pencegahannya.
Dia tak menampik, Kopdes Merah Putih mempunyai tujuan mulia guna mendongkrak kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, hal mulia perlu dimulai dengan cara dan strategi yang benar oleh tim yang tepat.
“Jika tidak, program dengan biaya fantastis ini berpotensi menjadi masalah besar di kemudian hari. Para stakeholder yang terlibat harus menerawang jauh ke depan, paling tidak 2-5 tahun dari sekarang. Jangan sampai mereka membayangkan kesuksesan tetapi yang dihadapi nanti justru kesusahan,” imbuhnya.