28 Agustus 2024
19:43 WIB
Pemerintah Optimistis Tingkat Pengangguran Kembali Turun Pada 2025
Optimisme pemerintah itu didasari oleh tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia yang dinilai terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, dari 7,07% di 2020 menjadi 4,82% di 2024
Calon penumpang yang sebagian besar pekerja di kawasan Perkantoran Sudirman menunggu kedatangan Bus Transjakarta di Halte Karet Sudirman, Jakarta, Rabu (16/11/2022). ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyatakan bahwa pemerintah optimistis dapat menurunkan tingkat pengangguran pada 2025, mencapai target dalam kisaran 4,5-5% dari 4,8% yang tercatat pada 2024.
Ditemui usai rapat kerja tertutup dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu (28/8), Menaker mengatakan, tren lowongan kerja memperlihatkan kenaikan, dengan kenyataan beberapa jenis pekerjaan akan menghilang. Meski begitu, tetap disertai juga dengan munculnya jenis pekerjaan yang baru.
"Optimistis. Karena kita lihat trennya (pengangguran) semakin turun," kata Ida menjawab pertanyaan wartawan.
Dia mengatakan, rasa optimistis itu didasari oleh tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia yang juga terus mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan TPT per Agustus 2020 mencapai 7,07%, yang kemudian turun menjadi 6,26% pada Februari 2021.
TPT nasional kembali mengalami penurunan ketika tercatat mencapai 5,83% pada Februari 2022, 5,45% pada Februari 2023 dan kembali turun ke tingkat 4,82% pada Februari 2024.
"Bayangkan dari pernah mengalami 7% pada tahun 2020, kita sudah 4,8%, itu capaian yang luar biasa. Trennya turun karena seiring dengan bonus demografi, kita banyak penduduk usia produktif, lapangan pekerjaan dalam dan luar negeri begitu terbuka, kita create lapangan pekerjaan baru, kita ciptakan wirausahawan baru," kata Ida.
Sebelumnya, dalam pidato penyampaian RUU APBN Tahun Anggaran 2025 dan Nota Keuangan pada 16 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo menargetkan angka pengangguran dapat ditekan dalam kisaran 4,5-5% setelah sebelumnya mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Langkah Cepat Dan Tepat
Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah untuk mengambil langkah yang cepat dan tepat untuk mengatasi lonjakan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Direktur Program Indef Eisha Rachbini mengatakan, dalam jangka pendek pemerintah harus fokus pada upaya menjaga daya beli masyarakat.
Beberapa langkah yang bisa diambil, antara lain pemberian subsidi kepada pekerja yang terkena PHK, menyediakan program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan mereka agar bisa bekerja di sektor lain, dan menghubungkan mereka dengan peluang kerja baru.
“Jadi masa tunggu untuk mencari pekerjaan bisa dipercepat,” ujarnya.
Sementara itu, untuk mengatasi masalah PHK secara mendasar, Eisha menyebut pemerintah perlu melakukan transformasi ekonomi jangka panjang.
Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan, antara lain reindustrialisasi, peningkatan iklim usaha, optimalisasi hilirisasi sumber daya alam, dan mendatangkan investasi yang dapat membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia.
Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), sejak Januari hingga Mei 2024, terdapat 20-30 pabrik telah gulung tikar, mengakibatkan 10.800 karyawan kehilangan pekerjaan. Kementerian Perindustrian juga melaporkan enam pabrik besar telah tutup hingga Juni 2024, yakni PT Dupantex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusuma Putra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, PT Sai Aparel di Jawa Tengah, serta PT Alenatex di Jawa Barat, dengan total 11.000 buruh terkena PHK.
Eisha lebih lanjut menjelaskan, fenomena PHK ini erat kaitannya dengan perlambatan sektor industri manufaktur, yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Industri manufaktur, terutama sektor tekstil, tengah mengalami penurunan daya saing yang signifikan.
Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perlambatan permintaan global, ketergantungan terhadap bahan baku impor, dan kenaikan biaya produksi.
“Bahan baku, logistik, dan gejolak geopolitik sudah membuat struktur biaya meningkat. Mungkin mereka sudah mencoba memperkecil margin penjualannya, tetapi ketika tidak bisa menanggung kenaikan biaya, mereka harus mem-PHK beberapa pekerjanya,” ujar Eisha.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka tamatan sekolah menengah kejuruan (SMK) masih merupakan yang paling tinggi dibandingkan tamatan jenjang pendidikan lainnya, yaitu sebesar 8,62%. Lalu, tingkat pengangguran tamatan SMA sebesar 6,73%.
Sementara itu, tingkat pengangguran pada lulusan Diploma IV, S1, S2, dan S3 meningkat dari 5,52% pada Februari 2023, menjadi 5,63% pada Februari 2024. Adapun jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) di Indonesia mencapai 214 juta orang. Dari jumlah itu, hanya sekitar 69,8% atau 149,38 juta orang yang bekerja. Masih ada sekitar 7,2 juta orang yang belum mendapatkan pekerjaan.