12 Oktober 2023
08:00 WIB
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengembangkan energi baru terbarukan (EBT), seperti hidrogen, amonia, dan nuklir, untuk mencapai transisi energi dan target Net Zero Emissions (NZE) pada 2060.
“Kita membutuhkan energi baru untuk efisiensi, seperti hidrogen, amonia, dan nuklir,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi saat kegiatan UOB Gateway to ASEAN Conference 2023 di Jakarta, Rabu (11/10) seperti dilansir Antara.
Selain itu, pemerintah juga berkomitmen mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang ditargetkan dapat menjadi sumber energi utama negara pada 2060 mendatang.
Oleh karena itu, pemerintah terus meningkatkan pasokan baterai guna menyimpan panas dari panel surya.
“Kita juga perlu pembangkit listrik yang stabil, seperti geotermal dan hidrogen, untuk mengatasi berbagai tantangan energi di Indonesia,” tambah Yudo.
Sejumlah langkah tersebut, sambung Yudo, diharapkan dapat membuat Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sekaligus mempromosikan efisiensi.
Baca Juga: Transisi Energi Butuh Pendanaan Yang Kuat, BUMDes Bisa Dilibatkan
Upaya-upaya tersebut juga diharapkan dapat mendorong perusahaan untuk mengadopsi pengukuran efisiensi energi.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan pentingnya percepatan transisi energi untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 melalui berbagai program pemerintah.
Program-program tersebut di antaranya pengembangan EBT secara masif, retirement PLTU, pelaksanaan co-firing biomassa pada PLTU, konversi PLTD ke PLT Gas dan PLT EBT, pelaksanaan mandatori B35 dan B40, penerapan CCS/CCUS, percepatan program kendaraan listrik, dan program elektrifikasi di rumah tangga,.
Tidak hanya di dalam negeri, Arifin juga mendorong penyediaan energi bersih di kawasan Asia Tenggara melalui keketuaan ASEAN tahun ini, Indonesia telah berhasil mendorong lahirnya Deklarasi Bersama tentang Ketahanan Energi Berkelanjutan melalui Interkonektivitas ASEAN Power Grid dan Trans-ASEAN Gas Pipeline.
"Kementerian ESDM optimis untuk melaksanakan semua program-program energi bersih yang menjadi energi masa depan," tutur Arifin.
Green Hydrogen
PT PLN (Persero) memproduksi "green hydrogen" yang 100% bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) dan mampu memproduksi 51 ton hidrogen per tahun.
"Green hydrogen" (hidrogen hijau) merupakan sumber energi bersih yang hanya mengeluarkan uap air dan tidak meninggalkan residu di udara atau menambah emisi karbon gas rumah kaca.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo melalui keterangannya di Makassar, Rabu, mengemukakan bahwa era masa depan transportasi tidak hanya bergerak ke arah listrik, namun ke arah hidrogen.
Oleh karena itu, PLN sebagai "key player" dalam transisi energi terus berpacu menyediakan energi bersih bagi masyarakat.
Dari total produksi hidrogen 51 ton per tahun, sebesar 43 ton dapat dimanfaatkan untuk 147 mobil yang menempuh jarak 100 km setiap hari.
“Jika saat ini emisi 10 kilometer kendaraan BBM sebesar 2,4 kg CO2, maka dengan menggunakan 'green hydrogen' yang emisinya 0, artinya bisa menghindarkan emisi sebesar 1.920 ton CO2e per tahun,” kata Darmawan.
Melalui Subholding PLN Nusantara Power (PLN NP), "Green Hydrogen Plant" (GHP) pertama di Indonesia yang berlokasi di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Pluit, Jakarta, telah diresmikan.
"Ini merupakan wujud nyata dari kolaborasi bersama Kementerian ESDM. Karya inovasi ini kami lakukan dalam menjawab transisi energi," kata dia.
Baca Juga: Permintaan Blue Dan Green Ammonia Ditaksir Terus Naik
Darmawan menjelaskan GHP ini merupakan hasil inovasi yang terus dilakukan PLN dalam menjawab tantangan transisi energi. Salah satu kegunaan hidrogen adalah untuk bahan bakar transportasi.
GHP besutan PLN Nusantara Power diproduksi dengan menggunakan sumber dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang terdapat di area PLTGU Muara Karang.
Selain dihasilkan dari PLTS yang terpasang, hidrogen hijau ini berasal dari pembelian Renewable Energy Certificate (REC) yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang.
Selain untuk kendaraan, hidrogen ini dapat dimanfaatkan sektor industri, seperti pembuatan baja, produksi beton, pembuatan bahan kimia, dan pupuk.
Direktur Utama PLN Nusantara Power Ruly Firmansyah menyampaikan arah perusahaan dalam produksi gas yang ramah lingkungan tersebut.
Dia menjelaskan pengembangan hidrogen hijau menjadi salah satu alternatif dalam usaha bersama mengurangi gas rumah kaca sehingga hadirnya GHP pertama di Indonesia ini diharapkan dapat menjadi pionir dan memunculkan banyak hidrogen hijau di penjuru Nusantara.
Pemanfaatan hidrogen hijau ini, katanya, akan memudahkan berbagai sektor industri yang sulit dielektrifikasi seperti industri baja, penerbangan, kendaraan berat, dan perkapalan.
"GHP di UP Muara Karang ini adalah sebuah 'starting point'. Ke depan, kami berencana untuk mereplikasi ke pembangkit PLN Nusantara Power yang memiliki 'hydrogen plant' di Pulau Jawa sehingga potensi yang dihasilkan akan mencapai sekitar 150 ton per tahun," ujar Ruly.