15 Desember 2023
20:17 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
JAKARTA - Pemerintah melalui Perpres 79/2023 memberikan sederet insentif fiskal guna mempercepat peningkatan ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).
Seperti halnya, pembebasan bea masuk, pajak penjualan barang mewah (PPnBM), hingga pajak daerah. Itu berlaku untuk impor KBLBB dalam keadaan utuh (Completely Built-Up/CBU) dan Completely Knock Down (CKD) dengan TKDN kurang dari 40%.
Deputi Bidang Infrastruktur dan Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimuddin menilai pengaturan ulang insentif merupakan kondisi win-win untuk Indonesia dan investor.
"Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan program insentif untuk membentuk ekosistem kendaraan EV (electric vehicle) di Indonesia," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (15/12).
Salah satu elemen ekosistem EV adalah pasar (market). Rachmat menjelaskan insentif nantinya berperan membentuk pasar karena investor mendapatkan stimulus untuk membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia.
"Bagaimana memberi insentif ketika pasar belum terbentuk? Oleh karena itu, pemerintah memberikan peluang kepada investor untuk membangun pabrik EV di Indonesia," kata Rachmat.
Baca Juga: ESDM: Konversi Motor Listrik Bagi Korporasi Masih Tunggu Revisi Aturan
Rachmat mengatakan jika pabrik tersebut belum beroperasi, produsen kendaraan listrik bisa memasarkan produk impor EV berbentuk CBU ataupun CKD dengan harga yang kompetitif.
Untuk diketahui, Perpres 79/2023 mengatur pemberian insentif fiskal untuk importasi kendaraan listrik berbentuk CBU dan CKD berlaku sampai 2025. Insentif antara lain berupa pembebasan bea masuk, PPnBM, dan pajak daerah.
"Produsen EV dapat menikmati paket insentif impor hingga akhir 2025," kata Rachmat.
Dia menjelaskan setelah mendapatkan insentif, produsen wajib memenuhi ketentuan produksi kendaraan listrik di Indonesia. Adapun produksi maksimal hingga akhir 2027 sesuai dengan ketentuan TKDN yang berlaku.
"Selanjutnya, produsen wajib memenuhi ketentuan produksi EV di dalam negeri atau 'hutang produksi' hingga akhir 2027, sesuai dengan ketentuan TKDN yang berlaku," imbuh Rachmat.
Hutang produksi maksudnya produsen harus menyeimbangkan antara jumlah kendaraan yang diimpor dan mendapatkan insentif dengan jumlah kendaraan yang diproduksi dari pabrik di Indonesia.
Misalnya, produsen mengimpor 1.000 mobil dan mendapatkan pembebasan bea masuk dan PPnBM. Paling lambat 31 Desember 2027, produsen harus memproduksi mobil dengan jumlah yang sama di Indonesia.
Baca Juga: Ingin Turunkan Emisi? Ini PR Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Adapun mobil yang produksi pabrik yang bersangkutan juga harus sudah sesuai dengan ketentuan TKDN yang berlaku dalam roadmap percepatan ekosistem KBLBB sesuai Perpres 79/2023.
Rachmat memproyeksikan paket insentif tambahan nantinya akan mendukung percepatan adopsi EV lantaran menghadirkan lebih banyak options atau pilihan model kendaraan bagi konsumen.
Selain variasi, produk EV juga akan memiliki rentang harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Karena saat ini pilihan dan harga EV yang ada di Indonesia masih terbatas.
"Ada dua hal yang kita perlu kita perhatikan opsi dan affordability. Saat ini opsi EV yang tersedia masih terbatas, dan belum dapat memenuhi permintaan pasar Indonesia," tutur Rachmat.
Adapun peraturan turunan Perpres 79/2023 akan segera diterbitkan. Rachmat sendiri menargetkan akan mengeluarkan peraturan menteri terkait sebelum tutup tahun 2023 agar bisa segera diimplementasikan.