13 Februari 2025
18:56 WIB
Pemerintah Diorong Segera Susun Peta Jalan Bioetanol
Kalau tidak segera dibuat, dikhawatirkan berdampak buruk terhadap pengembangan bioetanol itu sendiri
Ilustrasi. Kemasan prototype bioetanol menggunakan bahan dari sorgum saat acara Pengisian Perdana Bioetanol Sorgum Pertamina & Toyota yang diselenggarakan di ICE, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (24/7/2024). ANTARA/ Pertamina
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk segera menyusun peta jalan (roadmap) bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) yang lebih jelas dan terstruktur. Apalagi, menurut pengamat energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tumiran, bioetanol sudah ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN).
"Roadmap (bioetanol) yang terstruktur sudah sangat mendesak. Kalau tidak segera dibuat, dikhawatirkan berdampak buruk terhadap pengembangan bioetanol itu sendiri," ujarnya seperti dilansir Antara, Kamis (13/2)
Menurut mantan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) tersebut, peta jalan pengembangan bioetanol harus jelas dan terstruktur dari sisi produksi. Misalnya saja, berapa juta ton yang ditargetkan. Dari target tersebut, kemudian dipetakan lagi bahan bakunya misal tebu, jagung, singkong, dan sebagainya, kemudian pelaku usahanya dan harganya.
Ketiadaan peta jalan, tambahnya, bisa berdampak terhadap keseimbangan antara produksi dan penyerapan bioetanol itu sendiri. Selain itu, Tumiran juga mengingatkan, pentingnya regulasi harga antara lain, pemerintah harus menghilangkan pajak bagi bioetanol untuk BBN karena bioetanol untuk sumber energi tidak bisa disamakan dengan untuk minuman keras.
"Itu juga harus dipetakan dulu oleh pemerintah. Termasuk apa saja hambatannya dan juga bagaimana skenarionya," serunya.
Sementara itu, peneliti ekonomi Universitas Pasundan Bandung Acuviarta Kartabi menegaskan, peta jalan merupakan alat untuk memperjelas tahapan dari sebuah proyek besar seperti PSN, termasuk pengembangan bioetanol apalagi, proyek ini multisektor.
Menurut dia, peta jalan pengembangan bioethanol sangat penting karena kegiatan tersebut tidak bisa hanya dibebankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tetapi ada juga peran dari kementerian lain, seperti Kementerian Pertanian dan sebagainya.
"Para kementerian itu harus berbagi peran untuk pengembangan bioetanol," katanya.
Menurutnya, mulai dari strategi, kebijakan, program sampai ke pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan, menjadi jelas dengan roadmap. Dengan begitu, arah pengembangannya pun tidak kabur, selain itu, ada tenggat waktu yang jelas sehingga program bioetanol bisa mudah dimonitor dan dievaluasi.
Tanpa roadmap yang terstruktur, lanjutnya, menjadikan para pihak yang terlibat pada program itu berjalan sendiri-sendiri karena peran dan fungsi mereka menjadi tidak jelas di bagian hulu dan hilirnya.
Buka Peluang
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang untuk mengembangkan pemanfaatan bahan baku bioetanol selain tanaman tebu. Khususnya apabila target untuk mencapai produksi 1,2 juta kilo liter bioetanol dari tebu tidak terimplementasi dengan baik.
Koordinator Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Kementerian ESDM Efendi Manurung menyebutkan, mandatori bioetanol hingga saat ini belum dapat diimplementasikan dengan baik, dibandingkan dengan mandatori biodiesel yang relatif berjalan lebih baik bahkan melebihi target.
“Ke depan memang kalau target kita kendati pun tidak terimplementasi, bahwasanya menyesuaikan strateginya juga kita lakukan,” kata Efendi.
Sebagai informasi, Indonesia memiliki target produksi bioetanol yang bersumber dari tanaman tebu paling sedikit 1,2 juta kilo liter paling lambat pada tahun 2030. Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Efendi menyebutkan, potensi bahan baku bioetanol yang dapat dikembangkan sebagai strategi diversifikasi mulai dari tanaman jagung, nipah, sorgum manis, hingga limbah batang pohon kelapa sawit. Seluruh potensi tersebut akan didorong pemerintah sehingga termanfaatkan secara optimal untuk pembuatan bioetanol.
Ia mengatakan, kementerian sebenarnya tidak menargetkan secara khusus produksi bioetanol yang berbasis pada tanaman spesifik saja. Kementerian justru mendorong pemanfaatan alternatif bahan baku yang paling ekonomis dan ramah lingkungan untuk pembuatan bioetanol.
“Strateginya kita lakukan dengan mengembangkan seluruh potensi yang mungkin digunakan untuk biotanol ini dan mengolaborasikan berbagai kepentingan. Sehingga implementasi pemanfaatan bioetanol ini dapat kita laksanakan,” kata dia.
Efendi mengatakan, pihaknya juga menaruh perhatian pada aspek lingkungan mengingat Indonesia memiliki target pengurangan emisi sebagaimana tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Berdasarkan dokumen Enhanced NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sampai dengan 2030 mencapai 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,2% apabila mendapatkan dukungan internasional. Saat ini, pemerintah Indonesia tengah meninjau ulang target iklim nasional dalam Second NDC.
Terkait dengan aspek lingkungan, Efendi mengingatkan, limbah biomassa yang tidak diurai atau tidak dimanfaatkan justru akan menghasilkan emisi gas metana yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Oleh sebab itu, imbuh dia, pemanfaatan limbah biomassa untuk menjadi bioetanol merupakan salah satu usaha untuk mempercepat target pengurangan emisi.
Pemerintah telah menyampaikan komitmennya untuk mencapai swasembada energi, sebagaimana yang dikatakan Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya pada 20 Oktober lalu. Menurut Prabowo, hasil perkebunan seperti kelapa sawit, singkong, tebu, dan jagung berpotensi besar untuk diolah menjadi bahan bakar nabati pengganti minyak bumi.
Indonesia berpeluang menjadi raja energi hijau dunia melalui pengembangan produk biodiesel dan bioavtur dari sawit, bioetanol dari tebu dan singkong, serta energi hijau lainnya dari angin, Matahari, dan panas bumi. Hal ini tertuang dalam dokumen visi-misi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Pengembangan bioetanol juga masuk dalam program kerja Prabowo-Gibran dalam Asta Cita 2 poin ekonomi hijau. Dokumen tersebut menyebutkan tentang rencana untuk mengembangkan bioetanol dari singkong dan tebu, sekaligus menuju kemandirian komoditas gula.