c

Selamat

Sabtu, 20 April 2024

EKONOMI

11 Juni 2021

16:27 WIB

Pemerintah Diminta Cari Alternatif Lain Genjot Rasio Pajak

Sembako dan pendidikan dianggap sebagai basic needs. Pemerintah seharusnya membantu menyediakannya untuk rakyat, bukan makin menjauhkan akses rakyat kepada keduanya

Editor: Faisal Rachman

Pemerintah Diminta Cari Alternatif Lain Genjot Rasio Pajak
Pemerintah Diminta Cari Alternatif Lain Genjot Rasio Pajak
Kementerian Keuangan mengkaji pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako yang menimbulkan polemik. Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA – Polemik soal bocornya wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sektor pendidikan dan sembako yang diajukan pemerintah ke parlemen, terus berlanjut. Kritik keras pun bermunculan dari sejumlah pihak. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet sendiri, meminta pemerintah untuk mencari alternatif lain dalam rangka meningkatkan rasio perpajakan, alih-alih hanya mengenakan PPN terhadap sektor pendidikan dan sembako.
 
“Masih ada alternatif sumber yang bisa digali untuk meningkatkan rasio pajak, misalnya pajak penghasilan non-karyawan, PPN untuk barang tambang, atau pun jasa lain di luar pendidikan,” ujarnya seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Jumat (11/6).
 
Yusuf mengaku sepakat mendukung pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan untuk menambah penerimaan negara yang tertekan akibat pandemi covid-19. Tapi, menurutnya, Langkah tersebut tak serta merta diikuti dengan memasukkan sembako dan jasa pendidikan menjadi barang kena pajak, mengingat barang tersebut bersifat basic needs.

”Barang tersebut sifatnya basic needs yang seharusnya peran pemerintah ialah membantu warganya untuk menyediakannya apa pun kelompok golongannya,” tegas Yusuf.
 
Ia pun menuturkan sebenarnya agenda reformasi PPN juga menjadi langkah penting untuk dilakukan. Namun akan lebih baik jika substansinya lebih kepada kenaikan tarif dan bagaimana sistem yang harus diterapkan.
 
“Apakah menggunakan sistem multitarif atau tidak. Bukan merambah pada isu pencabutan barang basic needs seperti bahan sembako dan jasa pendidikan,” ujarnya.




Meski demikian, ia mengatakan reformasi perpajakan tetap harus dilanjutkan. Tapi dengan langkah lain seiring dengan pemerintah mencoba mendalami data-data perpajakan Program Tax Amnesty dan mempersiapkan kebijakan-kebijakan pendukung.

“Kebijakan ini bisa dikombinasikan dengan mengoptimalkan kebijakan non pajak seperti penerimaan negara nonmigas,” ucapnya. 

Akses Pendidikan
Senada, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza mengingatkan, rencana pemberlakuan PPN terhadap instansi pendidikan, berpotensi mempengaruhi upaya-upaya pemulihan yang telah dilakukan pemerintah selama ini.

“Dampak pandemi pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan,” tuturnya. 

Nadia menyatakan, rencana pemerintah mengenakan PPN pada sektor pendidikan atau sekolah adalah langkah yang kontraproduktif. Hal tersebut bertentangan dengan upaya memulihkan dampak pandemi pada sektor ini.

Menurutnya, rencana ini akan menimbulkan beberapa dampak seperti biaya pendidikan yang semakin tinggi. Ujungnya bakal mempersempit akses kepada pendidikan terutama bagi masyarakat miskin.
 
Terlebih lagi, ia menuturkan Indonesia masih memiliki berbagai permasalahan di sektor pendidikan seperti akses dan mutu yang tidak merata, peningkatan dropout, dan penurunan kemampuan belajar. Hal tersebut otomatis dapat mengancam upaya-upaya yang sudah dilakukan selama ini untuk memperbaiki dan memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
 
Tak hanya itu, Nadia menyebutkan saat ini banyak sekolah terutama swasta berbiaya rendah yang sudah sulit untuk bertahan di tengah pandemi. Itu terjadi karena sekolah swasta maupun tenaga pendidiknya sangat bergantung kepada pendapatan orang tua murid yang kini dalam kondisi sulit akibat pandemi covid-19.
 
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 menunjukkan terdapat 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi covid-19. Sebanyak 1,62 juta penduduk di antaranya menganggur akibat pandemi dan sebanyak 1,11 juta orang tidak bekerja karena pandemi.
 
“Belum lagi mempertimbangkan dampak dari learning loss akibat pandemi pada peserta didik. RUU KUP perlu dikawal prosesnya agar tidak merugikan kepentingan masyarakat,” tegas Nadia.



Sebagai informasi, salah satu poin dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) adalah pengenaan PPN pada instansi pendidikan sebesar 12%.

Selain pendidikan yang sebelumnya terbebas dari PPN, 10 jenis jasa lainnya juga akan dikeluarkan dari kategori bebas PPN. Dengan begitu, hanya akan tersisa enam jenis jasa yang bebas dari pajak tersebut.
 
Kelompok jasa lainnya yang juga akan dikenakan PPN dengan adanya perubahan legislasi tersebut adalah jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan dan jasa asuransi.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Abdul Muhaimin Iskandar juga menginginkan pemerintah mengkaji secara mendalam dampak PPN, terutama kepada industri-industri kecil.
 
"Menurut saya, harus dikaji betul. Jangan sampai kebijakan yang diambil pemerintah justru bakal berdampak pada meningkatnya beban hidup masyarakat," paparnya.
 
Ia mengingatkan, dampak dari pandemi saat ini sudah sangat berat yang mengakibatkan antara lain terjadi pemutusan hubungan kerja hingga tidak sedikit usaha rakyat yang gulung tikar. Selain itu, ujar dia, akibat lesunya daya beli masyarakat, maka kondisi bisnis juga mengalami kontraksi atau penurunan.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih tak mau banyak komenter terkait isu ini. Ia hanya biang, pemerintah tidak akan memberikan keterangan sampai adanya pembahasan terkait Undang Undang tentang Perubahan Kelima Atas Undang Undang 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Komisi XI memahami kita belum membahas RUU KUP, yang sampai saat ini belum dibacakan. Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui Surat Presiden,” ujarnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, Jakarta, Kamis (10/6).


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar