10 Oktober 2024
20:35 WIB
Pemerintah Baru Dan Proyeksi Penerimaan Pajak 2025
Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan dihadapkan sejumlah persoalan di sektor pajak pada 2025. Di sisi lain, anggaran yang besar untuk memenuhi utang janji kampanye, jelas diperlukan.
Pedagang menjajakan foto pasangan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 di kawasan Pasar Baru, Jakarta, Selasa (23/4/2024). Antara Foto/Muhammad Adimaja
JAKARTA - Risiko ketidakpastian baik dalam dan luar negeri masih akan menghantui pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto pada 2025. Pertumbuhan ekonomi global, risiko geopolitik, aktivitas manufaktur global, merupakan sederet faktor yang akan mesti diwaspadai pemerintah pada tahun depan.
Faktor-faktor risiko tersebut berpotensi menghambat pendapatan. Bahkan di antaranya bisa berpotensi melebarkan belanja negara. Di sisi lain, Prabowo membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk melunasi janjinya saat masa kampanye kemarin.
Janji-janji itu terpampang jelas dalam buku Prabowo Subianto: Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045. Di buku 239 halaman itu Prabowo berjanji melaksanakan program Makan Bergizi Gratis (MBG), renovasi sekolah dan rumah sakit, hingga pembangunan 3 juta rumah.
Setidaknya, program andalan Prabowo saja ditaksir bakal makan anggaran Rp121 triliun. Belum lagi, sejumlah program eksisting seperti anggaran 20% pendidikan, pembangunan IKN, jalan tol, bendungan, program KUR, perlindungan sosial, sampai transfer ke daerah (TKD), yang jika ditotal semua belanja negara 2025 mencapai Rp3.621,31 triliun.
Dengan kenyataan ini, pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar. Lantas, darimana uangnya?
Adalah pajak yang masih diandalkan jadi tulang punggung pendapatan negara untuk membiayai seabrek program pemerintah. Tahun depan, target penerimaan pajak dipatok sebesar Rp2.189,3 triliun atau 72,85% dari total pendapatan negara yang diproyeksi mencapai Rp3.005,12 triliun.
Tantangan Penerimaan Pajak 2025
Dari sasaran itu, setidaknya ada tiga tantangan penerimaan perpajakan pada tahun depan. Hal itu diungkapkan Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Muchamad Arifin di Anyer, Banten pada Kamis (26/9) lalu.
Tantangan pertama yakni kondisi makroekonomi global masih relatif stagnan, moderasi harga komoditas dunia, serta tensi geopolitik yang panas.
Hal yang kedua adalah pergeseran sektor manufaktur dan agrikultur ke sektor jasa yang makin meningkat hari-hari ini. Celakanya, pergeseran kondisi kerja ke sektor jasa juga turut mendorong peningkatan sektor informal yang belum sepenuhnya tertangkap pada sistem perpajakan tanah air.
Sedang tantangan ketiga yaitu perubahan aktivitas ekonomi jadi digital secara masif juga nyatanya menantang dari kacamata fiskal. Pemerintah bahkan menyampaikan, digitalisasi ekonomi sudah relatif menantang buat sektor pajak sejak 2023 lalu.
“Perubahan yang masif dari ekonomi konvensional ke ekonomi digital, tentu saja membutuhkan cara kerja dan cara penggunaan pajak yang baru, karena relatif lebih sulit dibandingkan dengan ekonomi konvensional,” ucapnya.
Pengamat Perbankan Arianto Muditomo mengamini tantangan-tantangan tersebut. Kondisi ekonomi dunia yang masih volatil bisa menekan penerimaan pajak di dalam negeri. Efek itu utamanya akan berdampak pada setoran pajak kegiatan ekspor maupun investasi.
Namun di luar itu, pemerintah juga mesti jujur menyampaikan, tantangan koleksi pajak nantinya juga bakal datang dari pelemahan daya beli masyarakat yang tidak bisa dianggap remeh. Pelemahan daya beli ini disebut berpeluang mengganggu setoran pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 dari karyawan serta pajak pertambahan nilai (PPN).
“Penerimaan pajak di 2025 akan dihadapkan pada tantangan seperti penurunan daya beli akibat inflasi, risiko PHK yang mempengaruhi pajak penghasilan (PPh),” ungkap Arianto kepada Validnews, Jakarta, Rabu (9/10).
Asal tahu saja, hingga 5 September 2024, Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan pajak dari PPh Pasal 21 sudah mencapai Rp176,14 triliun atau setara dengan kontribusi 14,72% dari total penerimaan pajak. Setoran PPh Pasal 21 berada di posisi ketiga, atau hanya kalah dari setoran PPN Dalam Negeri Rp275,69 triliun (23%) dan PPh Pasal 25/29 Badan Rp212,7 triliun (17,8%).
PPN 12% dan Implementasi PP Kesehatan
Selain dari sisi eksternal dan kondisi riil, tantangan juga datang dari sejumlah kebijakan pajak Indonesia yang masih menggantung statusnya, seperti kenaikan PPN dari 11% jadi 12%.
Meski belum ada pernyataan konkret yang disampaikan Presiden Joko Widodo maupun timses Presiden Terpilih Prabowo Subianto berkaitan kenaikan PPN pada tahun depan, akun medsos resmi DJP Kemenkeu sempat menyiratkan kenaikan tarif tersebut.
Dalam unggahan yang sudah dihapus itu, DJP Kemenkeu menyampaikan, penyesuaian tarif PPN 1% bertujuan untuk memperkuat perekonomian negara dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Melalui kebijakan ini, pemerintah berkomitmen untuk melakukan berbagai pembangunan.
Apa yang didapatkan dari kenaikan 1% memang benar adanya. Meski potensial, Ekonom Senior Indef Drajad Wibowo pun kurang sepakat dengan rencana menaikkan tarif PPN buat masyarakat. Ada syarat yang mesti terpenuhi untuk optimalnya sasaran dari kenaikan 1% itu.
“Saya pribadi sebagai ekonom khawatir dengan kenaikan 12% itu dampaknya terhadap penerimaan pajak kita, apalagi dengan adanya fakta bahwa kelas menengah kita menurun,” terang Drajad ketika ditemui wartawan, Jakarta, Rabu (9/10).
Drajat, yang juga Timses Prabowo-Gibran menyampaikan, penambahan pendapatan negara dengan menaikkan tarif PPN bisa saja terjadi apabila masyarakat tetap mau membayar pajak. Namun, dia menggarisbawahi jika kondisi sebaliknya terjadi. Kenaikan tarif PPN dapat membuat bayaran pajak masyarakat makin menipis.
“Sama seperti barang, kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin dikit, kan ujungnya penerimaan (pajak) kita jeblok,” sambungnya.
Untuk memperkuat asumsi tersebut, Drajat menjelaskan, saat ini Indonesia tengah menghadapi penurunan jumlah penduduk kelas menengah dan deflasi lima bulan beruntun. Salah satu penyebab terkuat adalah tingginya komposisi masyarakat dengan status setengah menganggur mencapai 2,41 juta orang.
Dia meyakini, masyarakat dengan status di atas memiliki kondisi daya beli yang amat rendah sehingga mudah terlempar dari zona kelas menengah. Dari situ, dia memproyeksi, ‘pemaksaan’ tarif PPN jadi 12% malah akan membuat jumlah masyarakat dengan status setengah menganggur akan makin banyak.
“Ujung-ujungnya kan orang beli barangnya makin dikit, konsumsi makin sedikit, ujung-ujungnya PPN-nya juga akan tergantung,” ucapnya.
Drajad, yang juga jadi Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran mengisyaratkan, pemerintah baru bisa menurunkan besaran tarif PPh Badan dari 22% menjadi 20% yang ditujukan agar tidak terlalu memberatkan beban pajak masyarakat. Namun, operasionalisasinya akan menunggu bagaimana kinerja penerimaan negara nanti.
“Tapi itu belum ada (rencana) spesifik. Ini baru wish saja, baru keinginan, belum ada laporan dari sana. Karena kita memang menginginkan untuk suatu saat bisa menurunkan PPh Badan,” urai Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Dia mengklaim, upaya tersebut tidak akan mengganggu rasio pajak terhadap PDB Indonesia. Menurutnya, terdapat perbedaan antara tingkat tarif pajak dan jumlah penerimaan pajak. Tarif pajak yang makin tinggi belum tentu bakal membuat penerimaan pajak otomatis makin meningkat.
“Bisa saja harganya makin tinggi, orang enggak mau beli, akhirnya jeblok penerimaan kita,” ucapnya.
Pengamat Perbankan Arianto Muditomo menambahkan, upaya koleksi pajak menantang juga muncul efek pelaksanaan PP Kesehatan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 17/2023, terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT). Regulasi kesehatan yang lebih ketat dapat menurunkan produksi dan konsumsi produk terkait.
Kondisi itu juga berpotensi menyunat penerimaan cukai dan pajak lainnya dari industri tembakau secara signifikan. Apalagi, kontribusi IHT terhadap total penerimaan pajak yang besar.
“Ini penting untuk diantisipasi. Industri memperkirakan, dampak PP ini bisa menurunkan pendapatan IHT lebih-kurang Rp200 triliun,” kata Arianto.

Keputusan Ada di Prabowo
Kepada Validnews, Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah saat ini belum memberikan sinyalemen jelas untuk menerapkan PPN 12% pada tahun depan. Berlaku atau tidaknya kebijakan tersebut akan diputuskan oleh jajaran pemerintah baru yang akan diinaugurasi sebentar lagi.
“Untuk implementasinya (kenaikan PPN jadi 12% .red) menjadi diskresi Presiden Terpilih, namun pemerintah tetap mempertimbangkan daya beli masyarakat, kondisi perekonomian secara keseluruhan serta momentum yang tepat,” tutur Wahyu lewat pesan singkat, Senin (7/10).
Sayangnya, Wahyu tidak menjawab lebih lanjut mengenai setoran PPh Badan, khususnya IHT, yang berpotensi seret usai implementasi PP Kesehatan.
Dia menambahkan, kebijakan perpajakan lebih menekankan menjaga efektivitas pelaksanaan reformasi perpajakan (UU HPP), meningkatkan kepatuhan dan perluasan tax base, implementasi Core Tax System, dan mendorong sistem perpajakan kompatibel dengan struktur ekonomi dan perpajakan global.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan, kebijakan PPN 12% merupakan amanat UU. Ketentuan ini tertera dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beleid tersebut secara gamblang membagi waktu atas tarif PPN menjadi dua tahap kenaikan. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 beleid, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% dan berlaku pada 1 April 2022, lalu kembali dinaikkan 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.
“Penyesuaian tarif PPN 12% merupakan amanah UU HPP,” tegas Dwi kepada Validnews, Selasa (8/10).
DJP pun masih akan mengandalkan PPh dan PPN sebagai salah dua sumber setoran pajak krusial untuk menopang penerimaan pajak yang naik hampir ke kisaran Rp2.200 triliun pada tahun depan.
Pemerintah mengakui, perluasan basis perpajakan ekstensifikasi dan intensifikasi akan jadi strategi andalan dalam mengumpulkan pajak 2025 secara optimal. Upaya extra effort lainnya akan dijalankan via peningkatan kapasitas administrasi DJP, penguatan implementasi reformasi pajak dan harmonisasi kebijakan, serta pemberian insentif pajak yang terukur dan terarah.
“PPh dan PPN masih menjadi sumber penerimaan (pajak) terbesar nantinya,” tambahnya.
Optimisme yang sama juga dikemukakan Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar yang meyakini target pendapatan pajak via PPN dan PPnBM 2025 yang secara nominal naik Rp125,9 triliun dari outlook APBN 2024 dapat tercapai. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,2% dan implementasi kenaikan tarif PPN.
Kendati begitu, Fajry sedikit meragukan perolehan pajak lewat PPh Migas maupun Non-Migas 2025 yang secara total naik 13,82% dari outlook APBN 2024, dari Rp1.062,3 triliun menjadi Rp1.209,2 triliun bakal terpenuhi.
Menurut Fajry, secara teori, penerimaan pajak kuartal I/2024 merupakan cerminan kinerja korporasi di 2023. Seperti diketahui, kinerja korporasi 2023 mengalami pelemahan dari tahun sebelumnya. Sedangkan, buat kuartal II sampai IV/2024, akan bergantung pada kinerja korporasi pada 2024.
“Saya sendiri terlalu optimistis (target PPh Migas dan Non-Migas 2025 .red), namun bisa saja terkejar jika ada perbaikan kinerja korporasi pada tahun 2024 yang mampu meng-offset kinerja perlambatan tahun 2023. Apalagi kalau tarif PPh badan kemudian diturunkan,” ungkap Fajry kepada Validnews, Kamis (10/10).
Sumbang Saran
Soal peraihan pada tahun depan, Arianto Muditomo mewanti-wanti perlunya melihat dinamika global dan domestik. Pemerintah perlu membina hubungan baik dengan WP sesuai aturan.
Pada saat sama, pemerintah juga perlu mendiversifikasi sumber pajak, memperkuat administrasi dan efisiensi pengumpulan pajak, serta memberikan stimulus ekonomi untuk mengimbangi sektor yang terdampak negatif. Peningkatan digitalisasi dalam sistem pajak dan reformasi kebijakan yang mempromosikan kepatuhan pajak juga krusial.
“Kantor dan petugas pajak harus mampu menunjukkan bahwa mereka adalah mitra WP, untuk memastikan bahwa WP telah benar dalam mematuhi ketentuan pajak,” kata Arianto.
Soal kenaikan, ada baiknya efek samping dari kenaikan ini ditakar, untuk menghindari penurunan daya beli masyarakat lebih lanjut.
Di luar kinerja korporasi, Manajer Riset CITA Fajry Akbar mengingatkan, Indonesia bisa berharap pada implementasi beberapa kebijakan yang bisa mendukung target penerimaan pajak.
Misalnya, Indonesia bisa mengimplementasi pilar II berupa implementasi pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15% yang harus dibayar oleh perusahaan multinasional.
Selain itu, pemerintah bisa mengeluarkan beberapa kebijakan yang belum dikeluarkan dalam UU HPP. Seperti anti penghindaran pajak, kebijakan pajak atas e-commerce, dan kebijakan pajak bagi UMKM.
Meski demikian, mengeluarkan opsi kebijakan sebenarnya penuh tantangan karena berisiko ditolak, mengingat tidak ada opsi yang populis. “Saya melihat kepercayaan publik terhadap pemerintah belum pulih, terlebih dengan demo besar kemarin di DPR terkait putusan MK,” sebut Fajry.
Lainnya, koleksi pajak bisa ditopang dengan implementasi kebijakan Core Tax System. “Tentu kita harapkan implementasi dari Core Tax System ini akan bisa mendorong penerimaan tahun depan dan membantu pemerintah mengejar target penerimaan,” pungkasnya.