c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

07 September 2024

16:12 WIB

Pasrah Terengah Si Kelas Menengah

Sejak pandemi, pemerintah cenderung lebih banyak membantu kelas ekonomi miskin. Saat ini, ketika jumlah kelas menengah turun, sudah selayaknya pemerintah juga membantu mereka yang ada di kelas ini.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma, Erlinda Puspita

<p id="isPasted">Pasrah Terengah Si Kelas Menengah</p>
<p id="isPasted">Pasrah Terengah Si Kelas Menengah</p>

Ilustrasi seorang karyawan mencari pekerjaan sampingan atau side job. ValidNewsID/Dieky Aden Ninoki

JAKARTA - Rivaldi Dani Rahmadi (25 tahun) memiliki pekerjaan tetap sebagai karyawan sejak 2018. Dari pekerjaan tetapnya ini, ia mendapat penghasilan sebesar upah minimum provinsi (UMP) Jakarta, yakni Rp4,9 juta per bulan.

Dari pendapatan sebesar itu, ia mengaku harus mengeluarkan jumlah yang sama untuk keperluan hidup selama satu bulan. Impas, tidak ada sisa yang ia bisa tabung dari kesehariannya memeras keringat. 

"Pengeluaran itu semua ya untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti akomodasi sehari-hari, makan, ongkos gaya hidup sebagian kecil, juga kebutuhan keluarga," kata Rivaldi saat ditemui Validnews, Rabu (4/8).   

Ia pun putar otak agar pendapatan dan pengeluarannya tidak remis, apalagi sampai besar pasak daripada tiang. Sejak 2019, berbekal kemampuannya di bidang fotografi, videografi, media sosial, hingga marketing, ia nekat mencari pekerjaan sampingan. 

Meski fenomena side job semakin banyak dilakukan masyarakat ekonomi kelas menengah, rupanya upaya mencari side job yang tepat juga bukan perkara mudah. Dari pengalamannya, Rivaldi harus giat menjajakan jasa-jasa yang dikuasai kepada sebanyak-banyaknya orang. 

Pekerjaan sampingan buat Rivaldi memang dibutuhkannya, meski hasil yang didapat, tak sebesar penghasilan utamanya sebagai karyawan. “Side job perlu, walaupun penghasilannya gak sebanyak pekerjaan utama,” ujarnya.

Tak berbeda jauh dengan Rivaldi, Rahman Al Hakim (27 tahun) seorang pegawai swasta di Kabupaten Tegal. Sejak 2022, ia juga menekuni pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan bulanannya yang tak tercukupi oleh penghasilannya sebagai karyawan. 

Ia melakoni pekerjaan sampingan sebagai fotografer dan videografer sejak tahun 2022, dengan pendapatan rata-rata yang masih di bawah pendapatan pekerjaan utama yang sekitar Rp3 juta per bulan. 

"Saya melakukan side job karena memang ingin membangun usaha, tidak hanya mengandalkan pendapatan dari pekerjaan utama. Dalam dua tahun ke depan mungkin masih akan bekerja seperti ini dengan side job, baru ke depannya akan mencari pekerjaan yang lebih sustainable," jelas Rahman saat dihubungi Validnews, Kamis (5/8). 

Baik Rivaldi maupun Rahman sepakat, untuk bisa menjalani side job, cara terbaiknya adalah memilih jenis pekerjaan sampingan yang memang disukai atau sesuai dengan minat. Manajemen waktu juga sangat penting, agar pekerjaan utama tidak terganggu, dan pekerjaan sampingan bisa terselesaikan sesuai target. 

Pekerjaan sampingan yang dipilih pun menurut mereka, harus memiliki fleksibilitas waktu, sehingga bisa dilakukan saat akhir pekan atau setelah pekerjaan utama mereka selesai. Meski tak dipungkiri memiliki side job melelahkan, Rivaldi dan Rahman akan kembali bersemangat, jika teringat target pemasukan yang ingin didapat untuk memenuhi sejumlah kebutuhan. 

Peralihan Ke Pekerjaan Informal
Fenomena kelas menengah dan pekerjaan yang dilakoni orang-orang dikelas ini, sejatinya tak luput dipotret pemerintah. Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, mencatat masyarakat kelas menengah yang bekerja di sektor formal mengalami penurunan sejak 2019 hingga 2023, meski akhirnya naik tipis pada 2024.

Meski trennya menurun, sampai saat ini pekerjaan masyarakat kelas menengah masih berada di sektor formal. “Mayoritas pekerja kelas menengah pekerjaannya berstatus formal. Dia berusaha, dibantu buruh tetap atau dia memang sebagai buruh karyawan atau pegawai,” ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Konferensi Pers, jumat (30/8).

Data BPS menyebutkan, kelas menengah yang memiliki pekerjaan formal pada 2019 sebanyak 35,37 juta jiwa (61,71%). Lalu, tahun 2021 turun drastis menjadi 31,82 juta jiwa (59,13%), tahun 2022 makin turun menjadi 28,75 juta jiwa (58,07%). Kemudian pada 2023 kembali turun menjadi 28,31 juta jiwa (58,65%), dan tahun 2024 sedikit naik menjadi 28,40 juta jiwa (59,36%).

Jumlah masyarakat kelas menengah sendiri, pada 2019 tercatat sebanyak 57,33 juta jiwa (21,45%), lalu turun di 2021 menjadi 53,83 juta jiwa (19,82%). Jumlah tersebut kembali mengalami penurunan pada 2022 menjadi 49,51 juta jiwa (18,06%), tahun 2023 menjadi 48,27 juta jiwa (17,44%), dan di tahun 2024 ini menyisakan 47,85 juta (17,13%). 

“Dalam lima tahun terakhir, proporsi pekerja kelas menengah yang berstatus formal mengalami penurunan sedikit. Mulai dari sekitar 61% kelas menengah di 2019 adalah pekerja berstatus formal. Sekarang ada di sekitar 60%. Tapi turunnya tidak terlalu banyak,” ungkap Amalia.

Amalia menegaskan, masyarakat kelas ekonomi menengah harus memiliki proporsi yang ideal. Sebab, kelas menengah memiliki peran yang sangat kritikal sebagai bantalan ekonomi suatu negara. Jika bantalannya kebal, ekonomi suatu negara akan relatif tidak rentan terhadap gejolak dari eksternal. Begitupun sebaliknya.

"Tapi jika relatif menipis, maka perekonomian kurang resilien terhadap goncangan,” ujarnya.

Amalia menguraikan, jumlah dan persentase penduduk kelas menengah mulai menurun pascapandemi covid-19. Namun, jumlah dan persentase penduduk menuju kelas menengah justru meningkat. 

Pada 2024, jumlah penduduk kelas menengah dan menuju kelas menengah sebanyak 185,35 juta jiwa (66,35%). Ini lebih sedikit daripada tahun 2019 yang sebanyak 186,18 juta jiwa (69,65%) dari total penduduk.

Kenaikan masyarakat menuju kelas menengah terbukti terjadi setiap tahunnya. Di tahun 2019 tercatat ada 128,85 juta jiwa (48,20%), lalu naik pada 2021 menjadi 130,81 juta jiwa (48,17%), tahun 2022 naik lagi menjadi 134,93 juta jiwa (49,21%), tahun 2023 menjadi 136,92 juta jiwa (49,47%), dan 2024 naik menjadi 137,50 juta jiwa (49,22%). 

Kemana Habisnya Uang Mereka?
Laporan BPS menunjukkan, pada 2024 masyarakat kelas menengah dikategorikan dengan pengeluaran sebesar Rp2.040.262-Rp9.909.844 per kapita per bulan. Sementara itu, masyarakat menuju kelas menengah memiliki level pengeluaran sebesar Rp874.398-Rp2.040.262 per kapita per bulan. 

Ini mengindikasikan, kelompok kelas menengah akan lebih sulit naik menuju kelas atas. Namun rentan jatuh menjadi kelompok menuju kelas menengah, bahkan rentan menuju kelas miskin. Hal ini bisa mudah terjadi jika ada goncangan yang berdampak pada ekonomi baik secara global maupun nasional. 

Perlu diketahui, acuan pengeluaran untuk mengelompokkan kelas ekonomi masyarakat, menurut Amalia telah ditetapkan sesuai dengan standar internasional. Standar kelas menengah dihitung pengeluarannya setara dengan 3,5 hingga 17 kali dari garis kemiskinan.

“Karena garis kemiskinan dari tahun ke tahun tentunya berubah meningkat sesuai dengan pola pengeluaran pada tahun tersebut. Di tahun 2024 yang masuk dalam kategori kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang pengeluarannya antara Rp2.042.262 per kapita per bulan sampai dengan Rp9.909.844 per kapita per bulan,” kata Amalia. 

Adapun jika dirata-rata pengeluarannya, sekitar Rp3,35 juta per bulan per kapita, meningkat 142% dibandingkan tahun 2019 yang besarnya RP2,36 juta per kapita per bulan.

Sementara itu, dari tempat tinggal, mayoritas kelas menengah tinggal di perkotaan, yakni dari 47,85 juta jiwa, sebanyak 72,89% atau 34,87 juta jiwa ada di perkotaan. Sisanya 27,11% atau 12,97 juta jiwa tinggal di perdesaan. 

Masyarakat yang masuk di kelompok ekonomi kelas menengah ini didominasi berpendidikan menengah ke atas. Lengkapnya, 2,59 juta jiwa (5,42%) tidak tamat SD atau ke bawah, lalu 7,07 juta jiwa (14,78%) berpendidikan SD sederajat. 

Berikutnya sebanyak 8,39 juta jiwa (17,55%) merupakan lulusan SMP sederajat, sejumlah 17,73 juta jiwa (37,07%) sebagai tamatan SMA sederajat, dan 12,04 juta jiwa (25,17%) merupakan lulusan perguruan tinggi. 

Dilihat dari usia, masyarakat kelas menengah didominasi usia muda dan paling sedikit merupakan usia tua. Masyarakat paling sedikit berusia di atas 75 tahun atau kelahiran di bawah 1945 (pre boomers) sebanyak 535 ribu jiwa (1,12%), lalu usia boomers atau generasi usia 56-74 tahun yang lahir di 1946-1964 sebanyak 6,03 juta jiwa (12,62%). 

Kemudian masyarakat kelahiran tahun 1965-1980 yang berusia 40-55 tahun (Gen X) sebanyak 11,85 juta jiwa (24,77%).

Berikutnya  generasi milenial yang berusia 28-43 tahun atau kelahiran tahun 1981-1996 dengan jumlah sebanyak 11,77 juta jiwa (24,60%), lalu masyarakat yang lahir di tahun 1997-2012 atau berusia 12-27 tahun (Gen Z) sebanyak 11,54 juta jiwa (24,12%), dan masyarakat berusia 11-0 tahun atau lahir di tahun 2013-2024 (Gen Alpha) sebanyak 6,11 juta jiwa (12,77%).

Adapun untuk pengeluaran, masyarakat kelas menengah lebih memprioritaskan pengeluaran di tahun ini untuk makanan, yakni dengan proporsi 41,67%. Disusul perumahan 28,52%, dan barang jasa lainnya sebanyak 6,48%. 

Untuk kelompok pengeluaran yang terjadi selama lima tahun ke belakang di kelas menengah antara lain untuk pengeluaran pajak atau iuran, barang atau jasa lainnya, pendidikan, perumahan, keperluan pesta, dan makanan. 

Sementara itu, kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan adalah hiburan, kendaraan, barang tahan lama, pakaian, dan kesehatan.

“Ada yang bertambah di tahun ini, yaitu untuk kelas menengah ada pertambahan sedikit dari keperluan pesta. Untuk barang jasa lainnya itu bertambah sedikit dari 6,04% menjadi 6,48%. Inilah bagaimana perbedaan pola konsumsi dari lima tahun yang lalu dibandingkan tahun 2024. Proporsi untuk pengeluaran makanan itu meningkat sedikit, tapi relatif di kisaran 41%. Sebelumnya 41,05% sekarang 41,67%,” beber Amalia.

Potensi Kelas Menengah Turun Kelas
Mengingat besarnya potensi masyarakat ekonomi kelas menengah yang rentan turun menjadi menuju kelas menengah, Perencana Keuangan Mitra Rencana Edukasi Mike Rini memperingatkan agar masyarakat kelas menengah memiliki rencana keuangan yang baik. 

Hal ini tentunya untuk menghindari perilaku hidup mantab alias "makan tabungan". Termasuk bisa memiliki dana antisipasi atau dana darurat jika sewaktu-waktu terdapat goncangan ekonomi.

Menurutnya, potensi terbesar penyebab masyarakat turun kelas ekonomi menurutnya adalah kehilangan pekerjaan dan biaya kesehatan yang tinggi.  

"Fenomena makan tabungan makin marak dan nyaris dianggap lumrah. Seperti menarik dana darurat untuk bayar uang kuliah anak, pelunasan pinjaman online (pinjol). Ini bahaya, tabungan harusnya untuk jaga-jaga bukan buat kebutuhan rutin," tutur Rini saat dihubungi Validnews, Rabu (4/9). 

Sementara itu, Consumer Funding & Wealth Business Head PT Bank Danamon Indonesia Tbk Ivan Jaya menyampaikan, fenomena "makan tabungan" di Indonesia sudah mulai terlihat saat ini. Faktor yang mendorong hal tersebut adalah kenaikan suku bunga, kenaikan harga pangan, dan PHK imbas covid-19 dan pascacovid-19.

Berdasarkan perbandingan survei Bank Indonesia (BI) tahun 2019 dan 2024, proporsi pengeluaran terhadap pendapatan mengalami peningkatan dari 68% menjadi 74%. Sementara itu, proporsi simpanan terhadap pendapatan mengalami penurunan dari 20% menjadi hanya 17%, dan proporsi pembayaran cicilan terhadap pendapatan mengalami penurunan dari 12% menjadi 9%.   

Sementara menurut ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, ada banyak faktor pendorong kelas menengah jadi lebih masif mengkonsumsi tabungan pascapandemi covid-19, seperti kenaikan harga BBM di awal tahun 2022 terutama Pertalite dari Rp6.000 per liter menjadi Rp10.000 per liter. 

Lalu, ada kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2023, serta kenaikan harga beras yang menjadi bahan utama makanan berat mayoritas masyarakat. Di sisi lain, ia berhitung, rata-rata pertumbuhan pendapatan masyarakat hanya sekitar 1,5%, dan rata-rata gaji Rp3 juta.

Tak berhenti di situ, ke depan juga masih banyak ancaman kenaikan kenaikan di berbagai sektor ekonomi yang harus dihadapi oleh kelas menengah, seperti rezim suku bunga tinggi yang berpotensi berdampak pada penurunan PMI Manufacture karena permintaan global yang turun, juga efek rambatan adanya ancaman PHK. Ia juga menyoroti adanya potensi tambahan iuran pajak yang harus dibayarkan kelas menengah seperti TAPERA, hingga PPN 12%. 

"Kebutuhan barang lainnya meningkat hingga beberapa persen lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pendapatan. Sehingga, perlu dibantu lebih lagi untuk masyarakat menengah karena ke depan lebih berat lagi," ucap Nailul kepada Validnews, Jumat (6/9).

Siasat Hindari Turun Kelas
Untuk menghindari fenomena "makan tabungan", Ivan Jaya menyarankan agar masyarakat kelas menengah mulai melakukan tata kelola keuangan dengan metode Kakeibo ala Jepang. Metode ini yaitu mencatat semua pemasukan dan pengeluaran sekecil apapun, lalu tentukan jumlah uang yang ingin disimpan, dan tentukan jumlah uang yang ingin dibelanjakan. 

Kakeibo juga membagi empat kategori pengeluaran, antara lain kebutuhan sehari-hari, keinginan, culture, dan kebutuhan yang tak terduga. Metode lainnya yang bisa digunakan adalah strategi 40-30-20-10. Metode tersebut membagi keuangan 40% dialokasikan untuk kebutuhan biaya hidup, 30% maksimal untuk membayar cicilan utang, 20% untuk tabungan, dan 10% dialokasikan untuk ibadah atau sosial. 

Tak hanya mengatur keuangan, Mike Rini menambahkan, dalam mengatur keuangan juga diperlukan keterbukaan komunikasi dengan antaranggota keluarga, seperti anak sebagai sosok yang harus menanggung biaya orang tua dan anaknya sendiri, atau disebut generasi sandwich

"Menurut saya penting, komunikasi terbuka itu kunci. Bicarakan kondisi keuangan dengan orang tua dan anak. Buat rencana keuangan bersama, termasuk dana darurat untuk keluarga besar, namun jangan lupa untuk sisihkan bagi diri sendiri atau keluarga sendiri," jelas Rini. 

Tak hanya itu, pemerintah, kata Nailul Huda juga selayaknya memperkuat bantuan bagi kelas ekonomi menengah. Karena sejak pandemi sampai saat ini, ia melihat pemerintah cenderung lebih banyak membantu kelas ekonomi miskin.

Langkah yang bisa diambil pemerintah menurutnya antara lain, peningkatan subsidi transportasi umum yang dominan digunakan oleh masyarakat kelas menengah. Kemudian, efisiensi anggaran pemerintah dari program-program kurang relevan, hingga menjaga daya beli masyarakat kelas menengah dengan tidak menaikkan PPN 12%. 

"Kelas menengah tidak terganggu ketika harga-harga barang yang diatur pemerintah itu tetap terjaga harganya. Jadi memang yang harus dilakukan pemerintah adalah menjaga daya beli terlebih dahulu dengan tidak menaikkan harga-harga yang bisa diatur oleh pemerintah," imbuh Nailul.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar