14 Juli 2022
20:00 WIB
Editor: Dian Kusumo Hapsari
BALI – Obligasi hijau dinilai menjadi salah satu instrumen penting yang harus dikembangkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan tidak hanya global, beberapa negara juga sudah menerbitkannya di pasar domestik masing-masing.
“Salah satu instrumen terpenting yang dikembangkan dalam konteks ini adalah obligasi hijau global. Tidak hanya global, tetapi juga beberapa negara sudah menerbitkan di pasar domestik mereka sendiri. Dan jika berbasis Islam, kami menyebutnya sukuk hijau,” katanya dalam Joint G20: OECD Corporate Governance Forum, Kamis (14/7).
Sri Mulyani menuturkan, pasar modal dapat menjadi salah satu lembaga yang paling penting untuk memfasilitasi instrumen semacam ini, yaitu pembiayaan proyek ramah iklim.
Pemerintah Indonesia, sambungnya, termasuk di antara pemerintah yang aktif menerbitkan atau merancang green bond sebagai salah satu instrumen untuk mencapai tujuan berkelanjutan.
Ia mengungkapkan, pemerintah Indonesia sejak 2018, telah menerbitkan obligasi hijau senilai US$4,8 miliar, termasuk dalam bentuk sukuk berbasis syariah.
“Kami memahami bahwa penerbitan obligasi semacam ini akan membutuhkan kepatuhan yang lebih terhadap pelaporan serta menjaga standar hijau proyek, yang mendasari penerbitan obligasi ini,” ucapnya.
Namun demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan pasar belum secara efisien dan adil menetapkan harga yang tepat untuk instrumen semacam ini karena pasar tidak membedakan antara obligasi hijau dan non-hijau.
Oleh karena itu, hal lain yang juga coba diperkenalkan Indonesia di pasar modal adalah menerbitkan obligasi pembangunan berkelanjutan di pasar internasional.
Tahun lalu, pemerintah mengeluarkan €500 juta dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara dengan tingkat bunga terendah yang pernah ada.
“Ketika Anda berbicara tentang suku bunga terendah yang pernah ada hari ini, ini menjadi sangat, sangat jarang, karena tren suku bunga yang akan naik, pasti akan mengubah risiko dan juga selera,” ucapnya.
Terapkan ESG
Sri Mulyani mengatakan pasar modal dapat mempromosikan keberlanjutan dengan menerapkan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (environmental, social, and corporate governance/ESG)
“Bagaimana pasar modal dapat memobilisasi tabungan dan peningkatan modal dan mengarahkannya ke proyek yang sejalan dengan prinsip ESG,” ujarnya.
Ia bilang, pasar modal juga dapat mengubah visi perusahaan dengan memasukkan kriteria ESG ke dalam praktik manajemen dengan membatasi akses bagi perusahaan yang melanggar prinsip ESG.
Selanjutnya, pasar modal juga dinilai dapat mempengaruhi praktik tata kelola perusahaan yang baik yang mendorong pembangunan berkelanjutan melalui mekanisme kepemilikan.
Namun pada kenyataannya, sambung Sri Mulyani, terlepas dari fakta bahwa pasar keuangan telah mengadopsi faktor ESG, tampaknya tidak ada gerakan dramatis yang mendukung perusahaan yang lebih berkelanjutan.
“Jadi, pada kenyataannya, ini masih kecil. Dan itulah mengapa forum ini dalam pertemuan G20, kami ingin terus mempromosikan gerakan ini dan tata kelola perusahaan, terutama untuk mendorong lebih banyak investasi ESG yang konsisten,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso mengatakan setelah pandemi covid-19, praktik tata kelola perusahaan menjadi semakin penting karena lembaga keuangan perlu menyesuaikan model bisnis mereka di lingkungan yang cepat berubah, terutama dengan digitalisasi, persaingan yang kuat, dan keuangan yang berkelanjutan.
“Tidak hanya untuk meningkatkan peluang, tetapi juga finansial institusi juga perlu merespons risiko baru yang disebabkan oleh perkembangan teknologi dan perubahan iklim,” ujarnya.
Ia menambahkan, memperkuat tata kelola perusahaan juga berarti bersiap-siap untuk mengembangkan sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk pemulihan dari pandemi covid-19 dan mitigasi risiko yang muncul.
Hal itu dilakukan karena pemerintah dan yang lainnya memiliki tujuan yang sama untuk mengatasi tantangan iklim dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.
“Kita harus mendekati prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola secara serius seperti risiko dan peluang bisnis lainnya, untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan.,” kata Wimboh.
Lebih lanjut, ia bilang membangun ekosistem tata kelola perusahaan yang kuat paling efektif bila ada upaya kolektif yang melibatkan banyak pemangku kepentingan dan dewan perusahaan.
Oleh karena itu, OJK mengharapkan dukungan dan kemitraan yang berkelanjutan terutama pemimpin perusahaan besar dan badan internasional untuk meningkatkan penerapan prinsip tata kelola perusahaan.
“Saya yakin bahwa kita dapat mencapai hasil dan tujuan yang diinginkan jika kita bekerja sama. Saya berharap Forum Tata Kelola Perusahaan ini dapat memberikan masukan yang jelas dan komprehensif untuk meningkatkan prinsip-prinsip G20/OECD serta menjaga daya saing dan menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan,” ucap Wimboh.