21 November 2024
15:19 WIB
Pakar: Perluasan Jamsosnaker Bagi Pekerja Informal Penting Dilakukan
Pekerja informal di Indonesia memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi dibanding pekerja formal. Tanpa jaminan sosial, sulit buat mereka memenuhi kebutuhan dasar hidup saat terjadi keguncangan ekonomi
Ilustrasi - Pekerja informal ikut mendapat perlindungan Pro JKK-JKM dari Pemkot Madiun bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. (ANTARA/Diskominfo Kota Madiun)
JAKARTA - Koordinator Bidang Kajian Microeconomics Dashboard Universitas Gadjah Mada (UGM) Qisha Quarina, menyoroti pentingnya perluasan kepesertaan program jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker) bagi pekerja informal atau pekerja bukan penerima upah (PBPU).
Pasalnya, tingkat kepesertaan Jamsosnaker yang masih rendah di Indonesia, terutama pada pekerja informal. Masalah ini menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan demi menyejahterakan pekerja informal.
“Kepemilikan Jamsosnaker memberikan dampak yang positif bagi kesejahteraan rumah tangga dan individu, salah satunya adalah memperkecil kemungkinan individu melakukan transisi dari status pekerja formal ke informal, serta memperkecil kemungkinan rumah tangga berada pada status miskin,” kata Quarina dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (21/11).
Sekadar informasi, cakupan kepesertaan aktif Jamsosnaker segmen PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) masih sangat rendah yakni hanya 3,7 juta orang atau sekitar 5,15% dari total pekerja informal. Untuk diketahui, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 72,1 juta orang, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2022.
Sementara itu, kepesertaan aktif Jamsosnaker bagi Pekerja Penerima Upah (PPU) jumlahnya masih jauh lebih tinggi, yakni sebanyak 21,4 juta orang. Jumlah pekerja formal, berdasarkan Sakernas 2022, tercatat sebanyak 53,7 juta orang.
Struktur Pasar Kerja
Dengan kata lain, kata dia, data cakupan kepesertaan Jamsosnaker segmen PBPU yang identik dengan pekerja informal, relatif masih lebih rendah dari tahun ke tahun. Lebih lanjut, ia menjelaskan, tantangan untuk menyejahterakan pekerja informal dapat dijelaskan, dengan melihat struktur pasar kerja dan proses transisi demografi yang sedang berlangsung di Indonesia.
Berdasarkan demografi dan ekonomi dari analisis data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2022, pekerja informal di Indonesia didominasi oleh perempuan berpendidikan rendah, yakni SMP sederajat atau lebih rendah dan distribusi pendapatan di bawah desil 5 (lima).
Menurut Quarina, temuan tersebut mendukung fakta, pekerja informal memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi dibandingkan pekerja formal.
"Oleh sebab itu, pekerja informal akan lebih sulit memenuhi kebutuhan dasar hidup saat terjadi keguncangan ekonomi, tanpa adanya skema jaminan sosial yang memadai," tuturnya.
Adapun dari sisi transisi demografi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Indonesia akan memasuki era ageing population. Diproyeksikan pada tahun 2024, proporsi penduduk lansia berusia 60 tahun ke atas mencapai seperlima dari total penduduk di Indonesia.
Mengacu pada data tersebut, Quarina mengatakan, semakin tinggi kelompok usia pekerja, proporsi pekerja informal juga bisa semakin tinggi. Selain itu, persentase kepemilikan Jamsosnaker bagi pekerja lansia masih sangat rendah, yakni kurang dari satu persen.
Berkaca pada kondisi tersebut, Quarina mengatakan, hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kesejahteraan dan skema jaminan sosial bagi pekerja lansia.
“Jika kondisi itu terus berlanjut di masa depan, minimnya cakupan jaminan sosial bagi kelompok lansia akan berpotensi menjadi beban bagi generasi muda di masa depan," kata Quarina.

Dominasi Pekerja Informal
Sebelumnya, Direktur Perencanaan Strategis dan TI BPJS Ketenagakerjaan Zainudin mengatakan, pihaknya menyoroti perubahan dalam ekosistem pekerjaan. Sehingga diperlukan pendekatan berbeda untuk pekerja informal dan dukungan berbagai pihak untuk pelaksanaannya.
Dalam konferensi pers Road to Social Security Summit 2024 di Jakarta, Senin, Zainudin menyebut jumlah tenaga kerja Indonesia saat ini didominasi pekerja informal, sebanyak 84,13 juta orang menurut data Badan Pusat Statistik pada Februari 2024.
"Ekosistem ketenagakerjaan kita poinnya makin informal. Kedua, pola kerja kita, hubungan kerja tidak lagi hubungan kerja industrial, tapi namanya hubungan kerja kemitraan," serunya. katanya.
Kecenderungan tersebut juga mempengaruhi implementasi jaminan sosial ketenagakerjaan. Pasalnya, berbeda dengan peserta penerima upah, para pekerja informal yang masuk kategori bukan penerima upah, harus mengurus semuanya sendiri.
Tidak hanya itu, hampir separuh pekerja informal masuk dalam kategori pekerja rentan yang masuk dalam desil 1 sampai dengan desil 3 atau orang dalam kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin.
BPJS Ketenagakerjaan, yang dikenal juga sebagai BPJamsostek, kini mulai fokus pada peningkatan kepesertaan untuk pekerja informal. Sampai 2024, sudah terdapat sekitar 9 juta pekerja informal yang telah menjadi peserta berbagai programnya.
Selain isu menambah kepesertaan dari pekerja informal, perlu juga mempertimbangkan skema untuk memastikan konsistensi pembayaran iuran oleh pekerja informal. Karena itu, pihaknya menyoroti skema penerima bantuan iuran (PBI) bagi pekerja rentan.
"Itu harus ada intervensi negara. Jadi, regulasi, anggaran sama integrasi data dan perizinan," katanya.
Untuk itu, BPJS Ketenagakerjaan tengah merencanakan penyelenggaraan Social Security Summit 2024 yang digelar pada akhir November ini.
Zainudin menyebut penyelenggaraan acara yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan ketenagakerjaan itu dapat mengidentifikasi langkah-langkah konkret untuk memperkuat sistem jaminan sosial. Termasuk meningkatkan daya saing ekonomi, serta menciptakan kesempatan yang lebih adil bagi seluruh lapisan masyarakat.