14 Oktober 2025
11:17 WIB
Pajak Pesangon-Pensiun Digugat MK! Purbaya: Kemenkeu Tak Akan Kalah
Menkeu Purbaya mengaku tak gentar dan akan memenangkan gugatan kepada Kementerian Keuangan atas pajak pesangon dan pensiun pekerja di MK.
Penulis: Siti Nur Arifa
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa memberikan komentar terkait gugatan yang dilayangkan 10 karyawan swasta terhadap aturan pajak pesangon dan pensiun yang digugat ke MK, Jakarta, Senin (13/10). Instagram@MenkeuRI
JAKARTA - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan komentar terkait gugatan yang dilayangkan 10 karyawan swasta terhadap aturan pajak pesangon dan pensiun yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Mengaku baru mendengar kabar gugatan tersebut, Purbaya tidak gentar dan mengatakan pihaknya tidak akan kalah jika gugatan tersebut ditujukan untuk Kementerian Keuangan.
“Gugatnya ke kita (Kemenkeu) bukan? Saya belum tahu. Ke kita bukan? Kalau kita jangan sampai kalah. Saya enggak pernah kalah kalau digugat di pengadilan,” ujar Purbaya di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Jakarta, Senin (13/10).
Baca Juga: Tarif Efektif PPh Pasal 21 Resmi Berlaku Mulai 1 Januari 2024
Pada kesempatan sama Dirjen Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu menjelaskan akan terlebih dulu mengecek gugatan yang dimaksud.
“Nanti kita cek,” tambah Febrio.
UU Perpajakan Digugat ke MK
Sebagai catatan, sebelumnya 10 orang karyawan swasta termasuk Rosul Siregar dan Maksum Harahap mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah terakhir UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Pemohon menguji ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak termasuk pesangon dan pensiun serta Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP yang menerapkan tarif progresif/pesangon dan pensiun.
“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif?” ujar kuasa hukum para Pemohon Ali Mukmin, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK Jakarta, Senin (6/10).
Para Pemohon menuturkan, secara normatif, ketentuan tersebut telah menimbulkan implikasi pesangon dan pensiun yang pada hakikatnya merupakan hak normatif pekerja setelah puluhan tahun bekerja diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru yang lahir dari aktivitas ekonomi.
Pemohon menilai, secara filosofis dan sosiologis, pesangon dan pensiun sama sekali tidak dapat disamakan dengan keuntungan usaha atau laba modal, melainkan merupakan bentuk 'tabungan terakhir' hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya.
Selain itu, pemungutan pajak terhadap pesangon dan pensiunan di saat bersamaan juga bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pemohon kembali menjelaskan, pembebanan pajak atas pesangon dan pensiun oleh negara mempersepsikan pekerja seolah masih dalam posisi kuat dan produktif, padahal sudah berada dalam posisi lemah di masa tua.
"Hal demikian mencederai prinsip kepastian hukum yang adil karena menempatkan kelompok rentan dalam situasi yang sama dengan kelompok produktif, padahal kondisi sosial-ekonomi jelas berbeda,” tambah pembelaan kuasa hukum penggugat.