11 Desember 2024
18:05 WIB
Pacu B50, Bahlil Sebut Investasi Pabrik Metanol Tembus US$1,2 Miliar
ESDM sudah siapkan pasokan gas sebanyak 90 MMSCFD untuk pabrik metanol di Bojonegoro, Jawa Timur.
Penulis: Yoseph Krishna
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (tengah). Antara Foto/Aditya Pradana Putra
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan pengembangan biodiesel harus didukung dengan pembangunan pabrik metanol.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi 2024, Eks-Ketua Umum HIPMI itu menyebut kebutuhan metanol untuk biodiesel hingga B50 tahun 2026 mendatang ialah sebesar 2 juta-2,3 juta ton.
"Sekarang 2025 masuk B40, 2026 nanti B50. Ini tidak akan mungkin kita bisa lakukan tanpa ada metanol, kita butuh metanol 2 juta sampai 2,3 juta ton," ujar Bahlil, Rabu (11/12).
Program biodiesel, jelas Bahlil, harus didukung dengan hilirisasi sektor gas bumi untuk menjadi metanol. Kementerian ESDM pun telah berkoordinasi dengan SKK Migas untuk menyiapkan titik pabrik metanol di Bojonegoro, Jawa Timur.
Tak tanggung-tanggung, investasi yang diperlukan untuk pabrik metanol itu mencapai US$1,2 miliar atau setara Rp19,03 triliun dengan asumsi kurs Rp15.858 per US Dollar.
"Itu ada sekitar investasinya US$1,2 miliar, kita harus bangun hilirisasi metanol di Bojonegoro. Kemudian, gasnya sudah kami siapkan, 90 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD)," tegasnya.
Menteri Bahlil juga mengungkapkan perbedaan jalan antara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM dengan Kementerin ESDM jadi salah satu penyebab belum terbangunnya pabrik metanol tersebut.
"Ini kenapa tidak jadi-jadi karena Kementerian Investasi jalan kiri, Kementerian ESDM jalan kanan. Akhirnya ketemu di tikungan, yang ada adalah argumen, omon-omon terus, tidak selesai itu barang," kata dia.
Karena itu, ditegaskan Bahlil harus ada kolaborasi yang erat antara Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM dan Kementerian ESDM untuk mewujudkan terbangunnya pabrik metanol itu.
"Sebagai mantan alumni Kementerin Investasi, barang ini kita harus bergandengan untuk menyukseskan dalam rangka kedaulatan energi nasional," tandas Menteri Bahlil.
Pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN) diketahui jadi salah satu taktik pemerintah dalam rangka mewujudkan swasembada energi, salah satunya ialah lewat implementasi B35 yang saat ini tengah berjalan.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung pada kesempatan berbeda mengungkapkan program biodiesel itu juga jadi salah satu bagian dari agenda transisi energi yang dijalankan oleh Indonesia. Dia menyebut B35 menjadi upaya mencapai ketahanan energi di samping upaya mendongkrak produksi minyak dan gas bumi, serta pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
"Tahun depan kita rencanakan implementasi B40 dan sedang dilakukan asesmen untuk B50 serta penyediaan bioetanol di dalam negeri," imbuh Yuliot lewat siaran pers, Jumat (6/12).
Program B35 sendiri merupakan kebijakan yang mewajibkan pencampuran 35% biodiesel ke dalam bahan bakar solar. Biodiesel tersebut berasal dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit yang kemudian dicampur dengan solar untuk menghasilkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Lewat langkah itu, pemerintah berharap ketergantungan impor BBM bisa berkurang, sekaligus mendongkrak nilai tambah sektor pertanian dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Yuliot menyebut program biodiesel juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, program mandatori biodiesel berhasil menghemat devisa hingga US$7,9 miliar atau sekitar Rp120,54 triliun pada 2023.