c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

29 Juni 2024

17:39 WIB

Over Tourism Dan Kesenjangan Utara-Selatan Bali

Kesenjangan antara Utara dan Selatan masih jadi polemik di Bali. Beragam solusi diharap dongkrak wisata alam yang jadi kelebihan wilayah Utara

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

<p id="isPasted">Over Tourism Dan Kesenjangan Utara-Selatan Bali</p>
<p id="isPasted">Over Tourism Dan Kesenjangan Utara-Selatan Bali</p>

Wisatawan tiba di Terminal Kedatangan Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung , Bali, Senin (10/6/2024). Sumber: AntaraFoto/Fikri Yusuf

JAKARTA - Mendengar kata 'Bali' orang-orang pasti sudah langsung membayangkan liburan, pantai, ombak, destinasi wisata, dan tari kecak, atau hiburan malam. Ya, Bali kental sekali dengan pariwisata dan nuansa liburan. 

Namun, pernahkah Anda perhatikan, Sobat Valid, bahwa sederet destinasi wisata yang tadi disebutkan hampir semua berlokasi di Bali Selatan. Lantas bagaimana pengembangan pariwisata di Bali Utara? Jika DNA Bali adalah pariwisata, pembangunan yang merata juga perlu menjadi cita-cita pemerintah, pemda, maupun pihak swasta.

Saat ini, kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara dinilai beberapa kalangan, sudah membeludak alias over tourism, khususnya di selatan Bali. 

Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat, total wisatawan nusantara (wisnus) dan mancanegara (wisman) yang ke Bali sepanjang Januari-April 2024 sebanyak 5.086.055 wisatawan.

Hal itu pun diakui sendiri oleh Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Kab. Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara. Dia mengatakan, industri pariwisata di Bali Selatan memang lebih berkembang pesat dibandingkan utara.

"Benar sekali ada ketimpangan pembangunan industri pariwisata antara utara dan selatan. Bagaimanapun itu merupakan realita, dan secara prinsip kami berupaya untuk bisa melakukan langkah-langkah strategis untuk mengurangi gap tersebut," ujarnya kepada Validnews, Rabu (26/6).

Kadispar Buleleng juga menjelaskan, di Pulau Bali, perkembangan industri pariwisata paling masif itu terjadi di wilayah Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau disingkat Sarbagita. Sementara pariwisata di wilayah Buleleng, yang luasnya memakan area 24% dari Provinsi Bali, masih perlu didongkrak.

Dody mengungkapkan, pihaknya melakukan beberapa langkah strategis untuk mengembangkan pariwisata di Bali Utara. Mengingat fundamental Buleleng itu terletak pada nature dan culture, Pemkab Buleleng pun menggalakkan wisata alam dan budaya.

"Bahwasannya di Buleleng ini kondisi existing kita memang masih nature, masih alami sehingga kemudian kondisi pembangunan pariwisata kami arahkan ke nature dan culture yang masih alami, melalui pembangunan ekowisata," tutur Dody.

Ya, Buleleng kaya akan wisata bahari, pegunungan, hingga air terjun. Sejalan dengan itu, Pemkab Buleleng mengembangkan konsep wisata "hijau" dan berkualitas. Dody menilai wisatawan yang datang ke Bali Utara itu mayoritas mencari ketenangan, keunikan, serta petualangan alam, berbeda dengan di Bali Selatan.

Dia melihat hal tersebut sebagai ceruk yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata di Bali Utara. Berdasarkan itu, dia menyebutkan segmen pasar untuk pariwisata yang berbasis ekowisata di Bali Utara ini sekitar 15-20% dari jumlah kedatangan wisatawan ke Bali.

"Ceruk segmen pariwisata berbasis ekowisata ini kurang lebih 15-20% dari jumlah wisatawan ke Bali. Nah, tentu yang kami usung adalah konsep quality tourism, dan kami tidak mengusung konsep mass tourism," tutur Dody.

Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun bahkan menyatakan target wisatawan Bali pada 2024 ini dipatok sebanyak 7,5 juta pengunjung. Target itu ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Jika melihat jumlah wisatawan ke Buleleng tadi, tentu itu jumlah yang mini dibandingkan target yang dipatok tahun ini. Tjok Pemayun menargetkan batas bawah jumlah wisatawan yang datang Bali berada pada rentang 5,5 juta sampai 6 juta pengunjung.

"Tapi Menteri Pariwisata (Sandiaga Uno) memang mintanya yang tinggi, 7 juta pengunjung, asumsinya karena ada event dunia di Bali, kayak World Water Forum, Balian Beyond Travel Fair, serta event-event besar lain," ujar Tjok Pemayun kepada Validnews, Jumat (28/6).

Quality Tourism 
Kadispar Buleleng merincikan, kebanyakan wisatawan yang datang ke Bali Utara ini menyukai aktivitas bahari, seperti snorkeling, diving, melihat lumba-lumba, serta trekking ke air terjun. Mereka mencari destinasi wisata alam yang asri, tenang, dan penuh petualangan. Beda dengan wisatawan Bali Selatan yang cenderung memiliki gaya hidup hura-hura.

Itu sebabnya, Buleleng diarahkan untuk quality tourism bukan mass tourism. Selain itu, Dody mengatakan, konsep ekowisata juga merupakan bagian dari aksi mengatasi perubahan iklim. Sejauh ini, pemkab tidak menggunduli hutan-hutan, memelihara konservasi, desa wisata, dan komunitasnya.

 "Wisatawan yang ke Buleleng itu memang benar-benar mencari ketenangan, tidak mencari lifestyle. Jadi wisatawan yang mencari lifestyle itu menginapnya di selatan, nah yang ke utara ini memang mencari ketenangan, adventure, dan retreat (meditasi)," klaim Dody.

Berdasarkan premis ini, Dody meyakini perilaku menyimpang para wisatawan, apalagi turis asing, sangat minim terjadi di lokasi wisata Bali Utara. Dia melihat selama ini, para turis yang berkunjung ke Bali Utara cukup patuh menjalankan aturan.

Pada kesempatan terpisah, pengamat pariwisata Taufan Rahmadi mencermati fenomena ini di Bali. Dia mengatakan, mengembangkan Bali Utara perlu belajar dari kekhawatiran yang saat ini dirasakan di Bali Selatan. Di antaranya, kemacetan, nilai-nilai budaya dan norma dilanggar wisatawan nakal, tidak menjaga kelestarian lingkungan, tata ruang tidak sesuai aturan.

Dia berharap hal tersebut tidak boleh terjadi di Bali Utara. Diyakininya, pemda bisa mengembangkan Bali Utara menjadi destinasi tak kalah pamor, tapi dengan memberikan batasan-batasan. Bukan untuk mengekang ataupun melarang turis, namun sebagai pedoman, agar turis pun taat aturan, baik tertulis maupun tak tertulis.

Batasan tersebut antara lain, budaya yang tidak boleh diganggu gugat, kebersihan tetap menjaga kebersihan lingkungan, termasuk lokasi wisata. Kemudian, mengkalkulasi daya tampung destinasi wisata, serta menyediakan aksesibilitas, atraksi, amenitas yang memadai bagi wisatawan.

"Setuju dong ada pembangunan pariwisata di Bali Utara, asalkan tetap pada koridornya. Artinya, saat dibangun, maka akan memberikan kesejahteraan, tidak merusak lingkungan itu penting, dan menjadi pergerakan ekonomi di destinasi itu," katanya kepada Validnews, pada Jumat (28/6).

Perihal kesenjangan bagian utara dan selatan Bali, diamini Kemenparekraf. Karenanya, pemerintah tengah berupaya mengurangi ketimpangan tersebut dengan menjalankan Peta Jalan Ekonomi Kerthi Bali menuju Era Baru, Hijau, dan Sejahtera.

Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf Hariyanto mengatakan, peta jalan itu menjabarkan strategi dan rencana aksi pemulihan ekonomi jangka pendek dan strategi Transformasi Ekonomi Bali dalam jangka menengah-panjang.

"Juga, mengakomodasi perubahan kehidupan pasca Covid-19 untuk menata kembali perekonomian Bali dengan prinsip memanfaatkan sumber daya lokal Bali, yakni alam, manusia, dan budayanya secara berkelanjutan," katanya.

Potensi dan Masalah 
Hariyanto menilai Bali Utara memiliki potensi wisata besar seperti Bali Selatan. Itu bisa dilihat dari perkembangan fasilitas pariwisatanya, seperti hotel dan villa yang pembangunannya menyesuaikan standar internasional, serta restoran yang menyediakan berbagai menu internasional juga.

Dia pun menyitir Perpres 50/2021 tentang RIPPARNAS yang menyebutkan, Bali Utara memiliki 3 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Itu terdiri dari KSPN Bali Utara-Singaraja dan sekitarnya, KSPN Menjangan-Pemuteran dan sekitarnya, dan KSPN Taman Nasional Bali Barat dan sekitarnya. 

"Potensi wisata yang ada, serta ditambah rencana pembangunan Bandara Bali Utara akan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) serta membuat pemerataan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali yang selama ini terpusat di Bali Selatan," kata Hariyanto.

Meski Bali Selatan sudah over tourism, nyatanya tidak mudah untuk mengalihkan para wisatawan dari selatan ke utara Bali. Mengingat jenis kepribadian wisatawannya berbeda antara dua kutub Pulau Bali itu, tidak serta-merta para turis dengan sukarela berpindah melancong ke utara, apabila tidak ada kesiapan destinasi wisata dan infrastruktur penunjangnya.

Oleh karena itu, perlu infrastruktur yang memadai untuk memajukan pariwisata Bali Utara. Selama ini, yang menjadi masalah adalah aksesibilitas bagi wisatawan. Salah satu masalah di depan mata adalah infrastruktur. Sekarang Bali memiliki satu bandara internasional. Namun jarak dan waktu tempuhnya jauh dari berbagai destinasi wisata di Buleleng.

Ditambah lagi, posisi bandara I Gusti Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa tempat kapal-kapal pesiar atau cruise ship bersandar,  berada di Bali Selatan. Dengan demikian, kedatangan dan kepadatan wisatawan selama ini terpusat di sana. Belum lagi soal jalanan ke lokasi wisata di Bali Utara yang penuh liku, tanjakan, turunan. Jumlah hotel, restoran, dan tempat-tempat hiburan serta kuliner lebih banyak di area selatan Bali.

Karena sulit merelokasi turis begitu saja, Deputi Sandiaga Uno itu ikut menyuarakan untuk membangun akses transportasi darat yang menghubungkan Bali Utara dan Bali Selatan terlebih dahulu. Menurutnya, jalan penghubung yang lebih singkat dari arah Bedugul menuju Kota Singaraja akan memudahkan para turis.

"Ada juga upaya pengembangan infrastruktur pendukung, seperti jalan menuju destinasi di Bali Utara. Salah satu yang akan direncanakan pembangunannya adalah jalan tol yang akan menghubungkan antara Jembrana dan Mengwi, Kabupaten Badung," kata Hariyanto.

Tjok Pemayun juga menilai penting pembangunan infrastruktur jalanan sebagai shortcut yang memudahkan akses para turis menuju Bali Utara. Dia pun berharap, upaya tersebut nantinya bisa mendatangkan lebih banyak wisatawan, khususnya mancanegara.

“Kami juga sudah menyusun travel pattern, pola perjalanan menuju sana, tidak hanya terkonsentrasi ke Bali Selatan, kita bawa ke Bali Utara, kita lewati sentra-sentra ekonomi di samping untuk melihat pariwisata itu sendiri,” klaim Tjok.

Lebih lanjut, Kadispar Buleleng menyebutkan sedikitnya ada dua kendala pengembangan pariwisata di Bali Utara. Pertama, waktu dan jarak tempuh lebih lama karena infrastruktur yang menghubungkan Bali Utara dan Bali Selatan ini masih terbatas.

"Memang yang menyebabkan kunjungan dan masa tinggal Bali Utara lebih rendah daripada Bali Selatan adalah, pertama, aksesibilitas menuju ke Bali Utara ini membutuhkan waktu tempuh yang lumayan, bisa 3 jam sampai 5 jam tergantung destinasi, dari bandara," terang Dody.

Kemudian, kedua, Dispar Buleleng telah menganalisis, wisatawan, baik wisman ataupun wisnus, yang datang ke Bali didominasi orang-orang penikmat gaya hidup pesta kekinian seperti kelab malam. Dody menyebutkan kurang lebih 80% wisatawan yang datang ke Bali pasti mencari kehidupan malam, sehingga masih sedikit sekali yang mau tinggal dan menginap di Buleleng.

Dia sendiri juga menyadari Buleleng tidak menyediakan fasilitas kehidupan malam yang berjejer di area selatan Bali, seperti Kuta, Seminyak, ataupun Canggu. Oleh karena itu, menurutnya, lebih baik mencari ceruk 15-20% pengunjung Bali yang benar-benar ingin menikmati wisata alam dan bahari di Buleleng.

Terapkan Rumus 3A
Apakah bandara menjadi satu-satunya solusi? Taufan mengatakan, pemerintah bisa membangun Bali Utara menggunakan rumus 3A, yaitu akses, atraksi, dan amenitas atau fasilitas. Karena pada dasarnya, dia menilai pariwisata itu akan mengikuti permintaan dan kondisi destinasi.

Apabila butuh membangun bandara ataupun pelabuhan agar wisatawan lebih cepat sampai ke tujuan, menurutnya itu sah-sah saja. Kemudian atraksi, dia menuturkan Bali Utara memiliki atraksi alam, buatan, dan budaya yang bagus. Terakhir, barulah bicara amenitas bagi wisatawan. Dia menerangkan amenitas yang menunjang turis itu di antaranya berupa akomodasi seperti hotel, ketersediaan air bersih, dan lainnya.

Diakuinya, berbagai destinasi wisata di Bali Selatan sudah populer duluan dibandingkan utara, jadi secara alami wisatawan terbujuk ke sana. Kemudian barulah, pemda dan developer mulai banyak membangun fasilitas dan akomodasi, seperti bandara, jalan, tol, dan macam-macam atraksi.

Senada, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2011-2014) sekaligus Pakar Pariwisata, Sapta Nirwandar juga menilai dari segi infrastruktur, Bali Selatan jauh lebih berkembang dibandingkan Bali Utara. Itu sudah terlihat dari letak bandara yang berlokasi di Kuta, Bali bagian selatan. Deretan hotel, vila, restoran, beachclub, dan kelab malam langsung berjejer dekat sana. Otomatis, fasilitas meetings, incentives, conferences and exhibitions (MICE)  juga ikut menumpuk di kawasan itu.

"Itu sebabnya, walaupun di Bali Utara juga sudah mulai dikembangkan, tapi tidak seheboh di Bali Selatan. Ada gula ada semut, begitu gulanya banyak ya semutnya datang semua ke situ," ujar Sapta kepada Validnews (28/6).

Lalu, soal bandara di utara, dia menekankan keharusan akan kalkulasi ekologis secara tepat.

Sapta menuturkan, pemerintah tidak perlu susah payah memikirkan pembangunan bandara baru. Dia menyarankan, lebih baik memperbanyak infrastruktur jalan tol, kalau bisa sih lintas kabupaten/kota, yang membuat perjalanan wisatawan dari selatan ke utara menjadi lebih ringkas.

Jalur tol tentu akan memangkas jarak dan waktu tempuh, mengingat baik warga lokal ataupun wisatawan, sama-sama menghabiskan waktu di jalan. Contohnya saja, dari Kota Denpasar mau ke Kota Singaraja, menggunakan motor itu sekitar 2-3 jam, sedangkan menggunakan mobil bisa sampai 4-5 jam. Kemudian, Sapta mengatakan pemerintah perlu membangun jalur kereta mengelilingi Bali.   

Terlepas dari masalah infrastruktur yang kurang memadai, Bali Utara ingin fokus pada kekuatan dan potensi wisatanya. Terlebih lagi, menjalankan konsep ekowisata, guna menjaga kelestarian wisata alam di Bali Utara.

Guna menepis sederet kekhawatiran, Deputi Hariyanto juga menyampaikan, pemda sudah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali 6/2023 tentang Pungutan Bagi Wisatawan Asing. Menurutnya, pungutan menjadi salah satu instrumen yang bisa menyaring wisatawan yang datang ke Bali Utara.

Regulasi tersebut juga mencakup Perlindungan Kebudayaan dan Lingkungan Alam. Tujuannya, memberikan perlindungan adat, tradisi, seni budaya, serta kearifan lokal masyarakat Bali, pemuliaan serta pemeliharaan kebudayaan dan lingkungan alam; yang menjadi daya tarik wisata di Bali. 

Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan penyelenggaraan kepariwisataan Bali dan menjadi Pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan pungutan bagi wisatawan asing. Adapun pungutan yang dimaksud Hariyanto, yaitu senilai US$10 atau sekitar Rp163.600 (kurs Rp16.360/US$) per wisatawan.

"Besaran pungutan sebesar US$10 per wisatawan mancanegara yang akan datang ke Bali," tegas Hariyanto.

Senada, Kadispar Buleleng mengatakan destinasi wisata di Bali Utara juga menilai pungutan yang lebih tinggi akan menyaring wisatawan dengan sendirinya. Contohnya saja, beberapa destinasi di Buleleng menerapkan harga tiket masuk yang cukup tinggi, salah satunya wisata air terjun, seperti Git Git, Aling-aling, Sekumpul Waterfall, dan lainnya.

Sisi positifnya, kebersihan dan alam sekitar air terjun, serta serta daya tampung wisata tetap terjaga.  

"Tarif tiket masuk ke air terjun kami relatif mahal, dalam artian ini bukan gimana-gimana ya, karena memang kalau kita berupaya untuk menjaga, maka salah satu teknik untuk bisa membatasi pengunjung yaitu dengan skema tarif," terang Dody.

Dia mengaku kerap memberikan sosialisasi mengenai hal ini kepada pengelola destinasi wisata alam di Buleleng. Sebab, pariwisata di Bali Utara bukan berbasis massal, dan harus tetap memperhitungkan kapasitas dan daya tampung lingkungan wisata berbasis alam.

Di sisi lain, untuk menjaga kualitas, pemerintah setempat berencana menggodok aturan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Buleleng yang sejalan dengan konsep ekowisata. Misalnya, ada investor masuk mau membangun akomodasi seperti hotel dan penginapan atau industri pariwisata lainnya. Itu akan diatur pembatasan maksimal 10-20% dari luas lahan. Jika ada lahan 1 hektare, maka luas yang boleh dijadikan bangunan porsinya 20% saja.

Dody juga mengungkapkan pihaknya sudah membenahi beberapa aspek pariwisata Bali Utara guna menggaet turis berkualitas dalam kurun 3 tahun terakhir ini. Di antaranya, dia membenahi aspek tata kelola wisata, termasuk manajemen pengelola desa wisata, serta SDM dan kelembagaan pengelola lokasi wisata. Ada dua yang tengah digarap lebih fokus, yakni dolphin watching di laut Lovina.  

Kemudian untuk kelembagaan dan SDM desa wisata, dia mengatakan saat ini Buleleng tengah mengembangkan 12 desa wisata yang menjadi pilot project.   

Adanya peraturan ketat penggunaan lahan bukan berarti Buleleng tak terbuka dengan berbagai potensi investasi. Asalkan mengarah ke investasi hijau, investasi ini tentu diterima. Dia tak menafikan, PAD perlu ditingkatkan.  

Dody bersyukur pasca covid-19 tren PAD di Buleleng meningkat. Pada 2023, jumlah PAD mencapai Rp460 miliar, dan pada 2024, PAD diproyeksikan bisa tembus Rp530 miliar. Adapun penyumbang PAD Buleleng terbesar yaitu, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) juga dari sektor wisata.

"Pada dasarnya kami juga menyadari bahwasanya ini (konsep wisata) kontraproduktif dengan pertumbuhan investasi, sehingga kita menyortir investor yang bisa berinvestasi tentu memang mengusung konsep green," kata Kadispar Buleleng itu.

Kenaikan PAD sederas pemasukan di Bali Selatan memang menggiurkan. Tapi dilema akan adanya dampak over tourism lebih membuat pemerintah di Bali Utara lebih berhati-hati. “Yang jelas untuk sekarang kita memitigasi apa yang terjadi di selatan supaya tidak terjadi di utara, itu yang kita lakukan," tandas Dody.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar