c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

EKONOMI

18 Januari 2023

17:52 WIB

OJK Ungkap Penyebab Perusahaan Gagal Lakukan Transformasi Digital

Ketua Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sophia Wattimena menyampaikan beberapa faktor yang menyebabkan suatu perusahaan mengalami kegagalan dalam melakukan transformasi digital. Apa saja?

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Rheza Alfian

OJK Ungkap Penyebab Perusahaan Gagal Lakukan Transformasi Digital
OJK Ungkap Penyebab Perusahaan Gagal Lakukan Transformasi Digital
Ilustrasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan alasan mengapa perusahaan gagal melakukan transformasi digital.

JAKARTA – Ketua Dewan Audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sophia Wattimena menyampaikan beberapa faktor yang menyebabkan suatu perusahaan mengalami kegagalan dalam melakukan transformasi digital. 

Menurut Sophia, salah satu faktornya adalah enggan untuk mengadopsi transformasi digital dan tidak adanya adopsi teknologi digital dalam tata kelola perusahaan. 

"Antara lain, kurangnya rasa urgensi dan keengganan untuk mengadopsi transformasi digital serta tidak adanya adopsi teknologi digital dalam tata kelola perusahaan (digital governance)," kata Sophia dalam keterangan resmi yang diterima Validnews, Rabu (18/1). 

Dia menjelaskan, tidak adanya tata kelola digital yang baik juga meningkatkan potensi terjadinya berbagai kasus di industri jasa keuangan (IJK). Di antaranya, serangan siber, kebocoran data, penyalahgunaan data, pemalsuan transaksi, dan kasus kejahatan lainnya yang merugikan konsumen. 

Untuk itu, Sophia menekankan keamanan teknologi informasi IJK harus selalu dimonitor dan up to date dengan standar terkini, seperti penerapan tujuh lapis keamanan dalam ISO 27001 yang mencakup application, presentation, session, transport, network, data-link, dan physical

Selain itu, lanjut dia, perusahaan perlu memitigasi risiko siber dengan melakukan update anti-virus secara berkala, pelaksanaan penetration test secara rutin pada aplikasi kritikal, hingga mendorong langkah-langkah yang dapat menciptakan IT Security awareness bagi seluruh pegawai.  

Terbitkan POJK
Sophia menuturkan, OJK sendiri terus mendorong penerapan dan penguatan tata kelola digital di IJK. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kinerja, layanan, dan pengawasan yang akan berdampak positif pada perlindungan konsumen. 

“Penerapan Digital Governance pada IJK menjadi sangat penting dan harus dilaksanakan dengan mengedepankan nilai-nilai integritas, transparansi, serta kejujuran pada setiap praktik transaksi keuangan,” ungkap Sophia Wattimena. 

Dia menilai era transformasi digital mengharuskan para pelaku usaha jasa keuangan untuk membuat perubahan yang radikal dengan mendorong aktivitas bisnis perusahaan masuk ke dalam skema digital yang canggih dan saling terintegrasi satu sama lain. 

“Digitalisasi memberikan manfaat dan keuntungan besar bagi para pelaku usaha, antara lain menciptakan efisiensi proses bisnis dan mekanisme kerja, mendorong lebih banyak munculnya inovasi, dan yang juga sangat penting adalah mempermudah akses bagi konsumen,” ujar Sophia. 

OJK telah menerbitkan berbagai peraturan, antara lain Peraturan OJK (POJK) No.  4/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank, POJK No. 11/2022 tentang Penyelenggaraan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. 

Juga, Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 29/2022 tentang Ketahanan dan Keamanan Siber bagi Bank Umum yang menjadi tindak lanjut pilar akselerasi transformasi digital dalam Roadmap Pengembangan Perbankan 2020-2025. 

"Dalam POJK dan SEOJK tersebut, telah diatur penerapan manajemen risiko dan tata kelola teknologi informasi, upaya untuk menjaga ketahanan dan keamanan siber, pelaporan berkala kepada OJK, hingga kewajiban melakukan perlindungan data pribadi," jelasnya. 

Dalam hal PUJK melanggar ketentuan tersebut, sambung dia, dapat dikenakan sanksi administratif hingga penurunan tingkat kesehatan. 

OJK berharap dengan penerapan digital governance yang baik dan sesuai peraturan yang berlaku di IJK, hak-hak digital konsumen dapat terpenuhi. Sehingga pada akhirnya, membuat investor merespons secara positif terhadap kinerja perusahaan. 

Sekadar informasi, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat pada tahun 2022, terjadi lebih dari 700 juta serangan siber di Indonesia. 

Adapun, jenis serangan terbanyak adalah berupa ransomware atau malware, phishing, hingga peretasan. 

Berdasarkan laporan terbaru National Cyber Security Index (NCSI), Indonesia berada di peringkat 84 dari 161 negara dalam hal keamanan siber.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER