05 Maret 2025
13:53 WIB
OJK Susun Tiga Aturan Terkait Tata Kelola Industri Asuransi
Di industri PPDP, OJK sedang menyusun RPOJK Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, serta Rancangan POJK Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Syariah
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono. ANTARA/ OJK
JAKARTA - Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono mengatakan, pihaknya kini sedang menyusun tiga rancangan aturan mengenai tata kelola industri asuransi. Ketiga rancangan aturan tersebut terdiri dari dua Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) dan satu Rancangan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (RSEOJK).
“Di sisi kebijakan industri PPDP, OJK sedang menyusun RPOJK tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi serta Rancangan POJK tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Syariah,” kata Ogi Prastomiyono dalam konferensi pers RDK OJK Bulanan Februari 2025, dikutip di Jakarta, Rabu (5/3).
Dia menyatakan, kedua RPOJK tersebut untuk menyempurnakan ketentuan mengenai Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI). Sejumlah ketentuan tersebut termasuk batasan investasi pada pihak terkait bagi subdana PAYDI dan aset non-PAYDI mengacu pada karakteristik risiko masing-masing. Lalu, penyertaan langsung pada perusahaan yang tidak tercatat di bursa efek, serta penyesuaian ketentuan investasi subdana PAYDI pada reksa dana.
Selain kedua RPOJK tersebut, Ogi menuturkan pihaknya juga sedang menyusun RSEOJK tentang Asuransi Kesehatan yang akan memperkuat tata kelola penyelenggaraan asuransi kesehatan. Ia menyampaikan, surat edaran tersebut antara lain akan mengatur penguatan sumber daya manusia (SDM) perusahaan mencakup tenaga medis, tenaga ahli asuransi kesehatan, dan Medical Advisory Board; serta pengembangan sistem informasi dalam asuransi kesehatan, pengenaan co-insurance, penawaran produk asuransi kesehatan dengan fitur coordination of benefit.
Surat edaran tersebut juga akan mengatur penguatan proses underwriting mencakup aturan waiting period dan medical check up sebelum penutupan asuransi kesehatan. Ogi menyatakan, pembentukan Medical Advisory Board merupakan salah satu best practices di tingkat global dengan tujuan untuk memberikan nasihat, pendapat, dan untuk melakukan telaah utilisasi (utilization review) sehingga proses underwriting produk asuransi kesehatan menjadi lebih baik.
Sementara terkait skema coordination of benefit atau koordinasi manfaat, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1366/2024 tertanggal 10 September 2024 yang mengatur mengenai hal tersebut. Namun, mekanisme teknis dari penerapan skema tersebut masih perlu diatur lebih lanjut, salah satunya melalui surat edaran OJK.
Melalui skema tersebut, seorang nasabah dapat menerima manfaat dari dua atau lebih asuransi, dalam konteks ini adalah dari BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta.
“Diharapkan dengan adanya skema coordination of benefit, ekosistem kesehatan menjadi semakin kuat dan lebih banyak pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses dan layanan kesehatan,” imbuh Ogi.
Kepercayaan Nasabah
Sebelumnya, pengamat perasuransian Reza Ronaldo mengimbau agar pelaku industri asuransi menghentikan praktik window dressing, atau memanipulasi laporan keuangan perusahaan agar terlihat lebih baik dari kondisi aslinya, untuk menjaga kepercayaan nasabah.
“Sudahilah upaya menyembunyikan fakta atau window dressing, karena kita kini sudah punya aktuaris, kita sudah punya laporan manajemen, kita sudah punya segala macam aturan investasi,” ujar Reza Ronaldo beberapa waktu lalu.
Tidak hanya window dressing, ia mengatakan, upaya para pelaku industri asuransi dalam menyembunyikan fakta juga dapat berupa iming-iming hasil investasi yang terlampau tinggi, bahkan jauh melebihi bunga di industri perbankan, padahal hal tersebut tidak masuk akal.
Menurutnya, kedua upaya tersebut dilakukan agar kondisi keuangan perseroan terlihat sehat, sehingga menarik minat para nasabah untuk menggunakan produk asuransi yang ditawarkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan premi perusahaan.
“Ini semua terjadi karena lemahnya pengawasan dan mungkin juga ada beberapa kasus yang terjadi karena memang motivasinya terlalu berlebihan untuk mendapat keuntungan yang tinggi dalam waktu cepat, sehingga (pelaku usaha) jadi licik, jadi greedy (rakus), dan melanggar aturan,” kata Reza.
Agar hal tersebut tidak terjadi lagi, ia mengimbau para pelaku industri asuransi untuk terus menjunjung tinggi prinsip good faith. Di antaranya dengan memberikan informasi sejelas-jelasnya terkait benefit dari produk yang ditawarkan kepada calon nasabah dan tidak menyelewengkan premi yang telah dibayarkan oleh nasabah.
Selain itu, ia juga meminta perusahaan asuransi untuk terus mematuhi berbagai peraturan yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dalam industri asuransi. Salah satunya adalah Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah yang mewajibkan setiap perusahaan asuransi dan reasuransi memiliki minimal satu aktuaris.
OJK juga telah memberlakukan parallel run terhadap Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117 mengenai Kontrak Asuransi, yang ditargetkan untuk dapat diimplementasikan sepenuhnya mulai awal tahun depan. PSAK 117 merupakan aturan standar akuntansi khusus untuk industri asuransi yang mencakup pedoman dan aturan baru dalam penyusunan laporan keuangan.
“OJK sudah membuat platform POJK untuk mengatur asuransi syariah, reasuransi, keagenan, serta pialang, dan itu sebetulnya tinggal dipatuhi saja, diperkuat lagi manajemen risikonya, dan jangan sampai ada penyelewengan,” imbuh Reza.