19 Maret 2025
16:21 WIB
OJK Optimistis Banyak Emiten Lakukan Buyback Saham
Redam volatilitas pasar, OJK terbitkan kebijakan buyback tanpa RUPS. Porsi buyback saham yang diatur oleh OJK yaitu sebesar 20% dari total saham perusahaan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Bursa Efek Indonesia (BEI) melaksanakan konferensi pers bertajuk "Respons Kebijakan Mengantisipasi Volatilitas Perdagangan Saham" di Main Hall BEI, Jakarta, Rabu (19/3/2025). ANTARA/Muhammad Heriyanto
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis banyak perusahaan tercatat akan melakukan pembelian kembali (buyback) saham di tengah volatilitas pasar saham Indonesia. Terlebih, OJK menerbitkan kebijakan buyback saham tanpa rapat umum pemegang saham (RUPS), yang telah disampaikan kepada direksi perusahaan terbuka melalui surat resmi OJK tertanggal 18 Maret 2025.
"Pasti banyak (buyback saham)," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi dalam konferensi pers "Respons Kebijakan Mengantisipasi Volatilitas Perdagangan Saham" di Jakarta, Rabu (19/3).
Ia menyampaikan bahwa telah banyak perusahaan tercatat yang menyampaikan minatnya untuk melakukan buyback saham dan pihaknya menunggu informasi resmi perusahaan terkait kepada OJK. "Banyak dari yang saya tahu, itu sudah ada. Tetapi, untuk secara formalnya tentunya mereka akan menginformasikan kepada kami," ujar Inarno.
Dalam kesempatan ini, ia juga menyampaikan porsi buyback saham yang diatur oleh OJK yaitu sebesar 20 % dari total saham perusahaan tercatat, seperti sebelumnya pernah diterapkan pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020. Ia melanjutkan penerapan buyback saham tanpa RUPS ini akan berlaku sampai dengan enam bulan setelah tanggal surat yang dikeluarkan oleh OJK pada 18 Maret 2025.
Kebijakan buyback saham tanpa RUPS dikeluarkan dengan pertimbangan, perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 19 September 2024, mengalami tekanan. Hal ini terindikasi dari penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) per 18 Maret 2025 sebesar 1.682 poin atau 21,28% dari highest to date.
Sesuai pasal 7 POJK 13/2023, dalam kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, perusahaan terbuka dapat melakukan buyback saham tanpa memperoleh persetujuan RUPS. "Opsi kebijakan buyback saham tanpa RUPS ini merupakan salah satu kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh OJK di sektor pasar modal dan pada praktiknya dapat memberikan fleksibilitas bagi emiten untuk menstabilkan harga saham dalam kondisi volatilitas tinggi dan meningkatkan kepercayaan investor," ujar Inarno.
Pelaksanaan pembelian kembali saham karena kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan juga wajib memenuhi ketentuan POJK Nomor 29 Tahun 2023 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka.
Sesuai Pasal 7 POJK 13/2023, dalam kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, perusahaan terbuka dapat melakukan pembelian kembali saham (buyback) tanpa memperoleh persetujuan RUPS.
Berikut merupakan beberapa emiten yang telah mengumumkan akan melaksanakan RUPS untuk melakukan buyback saham, diantaranya :
1. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), dengan modal buyback Rp3 triliun dan jadwal RUPS pada 24 Maret 2025
2. PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dengan modal buyback Rp1,17 triliun dan jadwal RUPS pada 25 Maret 2025
3. PT Bank Negara Indonesia (BBNI), dengan modal buyback Rp1,5 triliun dan jadwal RUPS pada 26 Maret 2025
4. PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), dengan modal buyback Rp450 juta dan jadwal RUPS pada 14 April 2025
5. PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), dengan modal buyback Rp800 juta dan jadwal RUPS pada 20 Maret 2025
6. PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), dengan modal buyback Rp470 miliar jadwal RUPS pada 10 April 2025
7. PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), dengan modal buyback Rp150 miliar dan jadwal RUPS pada 10 April 2025
8. PT Avia Avian Tbk (AVIA), dengan modal buyback Rp1 triliun dan jadwal RUPS pada 10 April 2025
9. PT Nusantara Sejahtera Raya Tbk (CNMA), dengan modal buyback Rp 300 miliar dan jadwal RUPS pada 24 Maret 2025
Tekanan Besar
Seperti diketahui, pasar saham Indonesia mengalami tekanan besar, Selasa, 18 Maret 2025, ditandai dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) terjun bebas yang memicu trading halt atau penghentian sementara perdagangan yang otomatis diterapkan saat indeks turun terlalu dalam. Ini adalah pertama kalinya sejak Maret 2020, ketika pandemi covid-19 mengguncang pasar, IHSG kembali mengalami circuit breaker seperti ini.
Selama sesi perdagangan, indeks mengalami tekanan jual yang intens dan sempat menyentuh level terendah intraday di 6.011 poin sebelum akhirnya ditutup turun 248,55 poin atau 3,84% di level 6.223.
Hampir semua sektor mengalami pelemahan, dengan sektor teknologi menjadi yang paling terpukul, turun 9,77%. Total nilai transaksi mencapai Rp19,22 triliun dengan volume 29,29 miliar lembar saham dalam 1,54 juta transaksi.
Fenomena ini bisa dikatakan sebagai Black Swan Tuesday, merujuk pada kejadian langka dan tak terduga yang mengguncang pasar secara tiba-tiba, bak kemunculan black swan atau angsa hitam yang sulit dipercaya karena biasanya angsa berwarna putih. Meskipun bursa saham global relatif stabil, IHSG justru mengalami kepanikan luar biasa. Ada beberapa faktor utama yang menjadi pemicu.
Sejumlah analisis menilai, terjadi tekanan jual berlanjut selama empat hari berturut-turut dengan sektor teknologi mengalami kejatuhan terbesar. Saham DCI Indonesia terkena auto reject bawah (ARB) selama tiga hari berturut-turut, sementara laporan keuangan Chandra Asri Pacific yang kurang memuaskan menambah kekhawatiran pasar.
Kemudian, Goldman Sachs menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight dan obligasi negara tenor 10-20 tahun menjadi neutral karena kekhawatiran risiko fiskal. Morgan Stanley juga menurunkan peringkat saham Indonesia dari equal weight menjadi underweight. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa lembaga pemeringkat global seperti S&P dan Moody’s juga akan mengikuti langkah serupa.
Ini memberikan tekanan tambahan karena investor cenderung bereaksi terhadap perubahan peringkat dengan mengurangi eksposur mereka. Ada pula soal munculnya rumor, dua menteri ekonomi akan mengundurkan diri memperburuk ketidakpastian, menciptakan gelombang kepanikan di kalangan investor ritel dan institusional.
Sentimen negatif ini memicu efek domino di pasar. Investor asing mulai keluar dari pasar dalam jumlah besar, sementara investor ritel panik dan melakukan aksi jual massal. Siklus emosi di pasar memperlihatkan bahwa IHSG saat ini berada dalam fase "putus asa" dan "perhitungan", di mana banyak investor menghadapi dilema antara cut loss atau bertahan dengan harapan pasar segera pulih. Pola penurunan tajam seperti ini sering kali diikuti oleh panic selling, yang justru memperburuk keadaan.
Akumulasi Saham
Namun, dalam setiap krisis selalu ada pihak yang mengambil kesempatan. Beberapa dana besar kemungkinan telah mulai mengakumulasi saham di harga murah. Ketika sentimen pasar mencapai titik ekstrem, sering kali itu menjadi tanda bahwa titik terendah sementara semakin dekat.
Apakah ini merupakan peluang atau justru awal dari tren penurunan yang lebih panjang? Jawabannya masih tergantung pada reaksi pasar dalam beberapa hari ke depan. Jika tekanan jual terus berlanjut, kepanikan bisa berkembang menjadi kejatuhan yang lebih dalam.
Banyak investor yang baru memasuki pasar dalam lima tahun terakhir mungkin pertama kalinya mengalami trading halt, sehingga merasa bingung dan panik. Namun, bagi mereka yang telah lama berkecimpung di pasar, kejadian seperti ini bukanlah hal baru.
Kejatuhan serupa pernah terjadi selama krisis keuangan 1998, krisis subprime mortgage 2008, dan pandemi 2020. Setiap periode tersebut memberikan pelajaran penting bahwa volatilitas adalah bagian dari dinamika pasar dan tidak selalu berujung pada kehancuran permanen.
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky memandang, pemerintah perlu membuat kebijakan, yang dapat mengurangi ketidakpastian dan mendorong peningkatan kepercayaan investor, merespons penurunan tajam IHSG sehingga BEI memberlakukan trading halt pada perdagangan Selasa.
Fluktuasi seperti ini juga pada dasarnya adalah ujian bagi mentalitas investor. Warren Buffett pernah mengatakan, "Ketika orang lain takut, saya serakah; ketika orang lain serakah, saya takut."
Kejatuhan pasar harus disadari bukanlah akhir dari segalanya, tetapi bisa menjadi awal dari peluang baru bagi mereka yang siap mengambil risiko dengan perhitungan matang. Respons yang rasional dan terukur jauh lebih penting daripada reaksi emosional yang hanya memperburuk keadaan.
Dalam dunia investasi harus diingat bahwa bukan volatilitas yang menentukan keberhasilan, melainkan bagaimana seseorang meresponsnya.