09 Mei 2023
08:38 WIB
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bursa karbon akan beroperasi pada September 2023. Pada Juni 2023, OJK bakal menerbitkan aturannya terlebih dahulu.
"Harapannya pada bulan September ini kita sudah melakukan perdagangan perdana dalam bursa karbon," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) II Tahun 2023 di Jakarta, Senin (9/5).
Dia menjelaskan, rencana awal perdagangan perdana bursa karbon akan dilakukan, antara lain dengan pembayaran berbasis hasil (Result Based Payment/RBP) sebesar 100 juta ton CO2.
Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang melakukan finalisasi RBP tersebut.
OJK juga akan menerbitkan Peraturan OJK terkait bursa karbon pada Juni 2023. Pada saat yang bersamaan, akan dilakukan pula penghubungan antara sistem registrasi nasional karbon dengan sistem informasi yang diperlukan di bursa karbon.
Kendati demikian, Mahendra menjelaskan rencana tersebut baru dari sisi OJK saja. Secara paralel persiapan yang dilakukan pemerintah dalam bursa karbon akan sangat menentukan.
"Karena hal itu berarti secara paralel pemerintah juga menyiapkan seluruh perangkat mulai dari sistem registrasi nasional, lalu juga sertifikasi penurunan emisi, dan otorisasi," tuturnya.
Menurut dia, langkah tersebut harus dilakukan pemerintah, agar produk dalam bursa karbon sudah memiliki sertifikasi yang sudah sah untuk bisa masuk ke dalam perdagangan di bursa karbon.
Persiapan pemerintah itu diharapkan akan berlangsung dalam satu hingga dua bulan, sehingga sejalan dengan jadwal OJK dalam mempersiapkan bursa karbon.
Di sisi lain, kata Mahendra, persiapan bursa karbon juga masih menunggu kewenangan Menteri Keuangan dalam memberlakukan pajak karbon yang sedang difinalisasi.
Pajak karbon bertujuan untuk memberikan suatu insentif dan disinsentif bagi perkembangan bursa karbon.
"Jadi pajak karbon ini bukan semat-mata tujuannya untuk peningkatan pendapatan dari pajak itu sendiri," tutur Mahendra.
Terbuka Untuk Pelaku Usaha
Sebelumnya, Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia mengatakan, perdagangan karbon di Indonesia bersifat terbuka untuk semua pelaku usaha.
Namun harus terlebih dahulu melakukan registrasi lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bahlil menjelaskan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi lembaga yang ditunjuk, untuk melakukan registrasi dan sertifikasi dalam perdagangan karbon, sebelum melakukan perdagangan karbon di bursa karbon.
"Sudah diputuskan karbon di Indonesia sifatnya itu terbuka, tapi harus teregistrasi dan harus semuanya lewat mekanisme tata kelola perdagangan di dalam bursa karbon di Indonesia," kata Bahlil saat ditemui seusai Rapat Terbatas Perdagangan Karbon di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, awal Mei kemarin.
Bahlil menjelaskan, tata kelola perdagangan karbon berada di bursa karbon yang akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejauh ini, OJK masih mempersiapkan mekanisme dan peraturan, termasuk menunggu ketentuan pengenaan pajak terkait bursa karbon.
Ketentuan untuk memasuki bursa karbon, pelaku usaha harus melakukan registrasi di Kementerian LHK. Bahlil mengatakan registrasi dilakukan hanya satu kali.
"Setelah melakukan perdagangan di bursa karbon, dia bisa melakukan trading seperti trading saham biasa," tuturnya.
Indonesia disebut memiliki potensi pasar karbon yang besar. Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare, Indonesia memiliki potensi besar memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon.
Perdagangan karbon menjadi salah satu cara untuk mengontrol emisi karbon di suatu negara. Pemerintah Indonesia mencanangkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 sekaligus net zero emmision (NZE) atau nol emisi pada 2060.
Dalam dokumen NDC itu, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20% dukungan internasional pada 2030.