06 Oktober 2021
13:44 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Pemerintah resmi mewajibkan nomor induk kependudukan (NIK) untuk pelayanan publik, salah satunya digunakan untuk nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2021 Pencantuman Dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan Dan/Atau Nomor Pokok Wajib Pajak Dalam Pelayanan Publik.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, penggunaan NIK menjadi NPWP akan meningkatkan kesadaran untuk wajib pajak.
“Bagi masyarakat yang belum punya NPWP, cukup mencantumkan NIK saja. Bagi yang punya NPWP silakan dicantumkan NIK dan NPWP,” katanya dalam keterangan resmi, Jakarta, Rabu (6/10).
Zudan menjelaskan, semua penduduk yang mempunyai NIK terdaftar otomatis menjadi wajib pajak. Tentunya tidak akan semua wajib pajak membayar pajak karena ada kategori dan ketentuannya.
Ia menjelaskan, percepatan satu data telah diawali dari Perpres Nomor 62 Tahun 2019 tentang Strategi Nasional Percepatan Administrasi Kependudukan untuk Pengembangan Statistik Hayati. Perpres ini ditujukan untuk menjaga agar semua layanan publik publik berbasis NIK.
“Jadi sudah diawali Perpres. Kemudian ditegaskan kembali dalam Perpres Nomor 83 Tahun 2021,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pemerintah tengah menuju era satu data dengan NIK sebagai basisnya. Penerapan akan dilakukan ke seluruh pelayanan publik. Jadi, ke depan NIK sebagai kunci akses dalam pelayanan publik.
“Ini adalah satu tahapan yang kita desain agar semua masyarakat mulai peduli dengan yang namanya Single Identity Number. Single identity number itu yang diterjemahkan menjadi NIK, yakni satu nomor tunggal bersifat unik, dibuat satu kali dan berlaku seumur hidup,” imbuhnya.
Zudan mengakui dengan integrasi NIK untuk pelayanan publik ini akan terbangun tradisi baru. Ia juga bilang, sebenarnya ketentuan menggunakan NIK ini sudah ada di Perpres Nomor 62 Tahun 2019 di bagian lampiran.
Untuk itu, pemerintah mendorong pelayanan publik dengan akses data ke Dukcapil. “Maka dulu di 2015 masih 30 lembaga yang kerja sama. Sekarang sudah 3.904. Naik banyak sekali,” ujarnya.
Zudan mengimbau agar masyarakat mempersiapkan diri ke mana-mana itu mengingat NIK-nya karena setiap pelayanan publik akan diminta NIK.
“Berobat ke rumah sakit ingat NIK, mengurus SIM ingat NIK, mengurus kartu prakerja ingat NIK, bantuan sosial ingat NIK. Itu NIK-nya memang harus diingat. Ini memang ada proses membiasakan mengingat NIK dan nama. Kalau dulu kan hanya mengingat nama. Tapi nama banyak yang sama, sekarang hanya mengingat NIK,” katanya.

Jangan Ada Gejolak
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta transformasi ini bisa langsung terlihat dalam sistem perpajakan wajib orang pribadi. Untuk itu, ia meminta transisi berjalan baik dan tidak ada gejolak yang menyusahkan wajib pajak.
“Jangan sampai di masa transisi terjadi gejolak dari sisi teknis maupun organisasi,” katanya.
Bendahara Negara juga meminta agar pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menciptakan sistem data dan aplikasi yang memadai.
Jadi, sistem tersebut diharapkan dapat meningkatkan administrasi dan penerimaan pajak dalam beberapa waktu ke depan. Dus, tingkat kepatuhan pembayaran wajib pajak (tax ratio) bisa ikut terangkat.
Dalam lima tahun terakhir, tax ratio tercatat sebesar 10,37% pada 2016, lalu merosot ke level 9,89% pada 2017, naik tipis ke 10,24% pada 2018. Pada 2019 kembali turun ke posisi 9,76% lalu kembali merosot menjadi 8,33% pada 2020.
Rencana penggunaan NIK menjadi NPWP tertuang di Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Dalam draf RUU HPP Bab II Pasal 2 ayat 1A tertulis nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.
Sementara pada Pasal 2 ayat 10 dijelaskan bahwa teknis pengintegrasian data kependudukan dengan data wajib pajak akan dilakukan lintas kementerian.
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo dalam media sosialnya meminta masyarakat tidak khawatir penggunaan NIK menjadi NPWP.
Sebab, aktivitas dilakukan bagi masyarakat yang sudah memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
“NIK akan digunakan sebagai NPWP. Jangan khawatir. Justru ini untuk efektivitas administrasi dan pelayanan publik. Aktivasi hanya dilakukan bagi mereka yang sudah memperoleh penghasilan di atas PTKP,” katanya.
Ilustrasi pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. ANTARAFOTO/Dok
Menghitung PTKP
Dalam laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) (Kemenkeu), PTKP merupakan jumlah pendapatan wajib pajak pribadi yang dibebaskan dari PPh Pasal 21. Dalam penghitungan PPh 21, PTKP berfungsi sebagai pengurang penghasilan neto wajib pajak.
PTKP ini bisa dikatakan sebagai dasar untuk penghitungan PPh 21. Jika penghasilan wajib pajak tidak melebihi PTKP, maka wajib pajak tidak dikenakan pajak penghasilan Pasal 21. Sebaliknya, jika penghasilan wajib pajak melebihi PTKP maka penghasilan neto setelah dikurangi PTKP itulah yang menjadi dasar penghitungan PPh 21.
Dalam praktiknya ketika para wajib pajak melaporkan SPT Tahunan, masih banyak di antara mereka yang belum mengetahui mengenai penghitungan PTKP. Padahal hal tersebut merupakan dasar yang dijadikan untuk penghitungan PPh 21.
Penghitungan PTKP adalah penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya kemudian menjadi penghasilan neto. Selanjutnya, dari penghasilan neto itu dikurangi oleh PTKP, dan akhirnya menjadi penghasilan kena pajak.
Dalam Pasal 7 Ayat 1 RUU HPP, PTKP per tahun paling sedikit diberikan kepada wajib pajak orang pribadi berpenghasilan Rp54 juta per tahun, tambahan untuk wajib pajak kawin Rp4,5 juta.
Adapun terdapat nilai tambahan Rp54 juta bagi istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, sehingga PTKP gabungan suami dan istri yang sama-sama berpenghasilan adalah Rp108 juta. Lalu, terdapat tambahan Rp4,5 juta untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda yang menjadi tanggungan sepenuhnya.