c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

21 September 2021

16:43 WIB

Miris, Kecurangan di Industri Keuangan Malah Naik Selama Pandemi

Sebanyak 51% responden merasa organisasi mereka menemukan lebih banyak kecurangan atau fraud di masa pandemi covid-19

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

Miris, Kecurangan di Industri Keuangan Malah Naik Selama Pandemi
Miris, Kecurangan di Industri Keuangan Malah Naik Selama Pandemi
Ilustrasi penyuapan. Shutterstock

JAKARTA – Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ahmad Hidayat menyebutkan, kecurangan atau fraud di industri keuangan meningkat selama masa pandemi covid-19. Hal itu berdasarkan hasil survei Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) terkait fraud di masa pandemi yang dilakukan pada akhir Maret dan April 2021.

“Sebanyak 51% responden merasa organisasi mereka menemukan lebih banyak kecurangan atau fraud di masa pandemi covid-19. Selain itu, sebanyak 71% lainnya mengatakan dampak dari fraud yang terjadi juga semakin besar,” ungkap Ahmad dalam Webinar Pencegahan Penyuapan di Industri Jasa Keuangan, Selasa (21/9).

Ahmad mengatakan, hal itu bisa terjadi, lantaran di masa pandemi covid-19 membuat mobilisasi banyak sumber daya dan sumber dana untuk mendukung bisnis menjadi target atau peluang yang menarik untuk para pelaku kecurangan. Begitu pula inisiatif-inisiatif baru di bidang kesehatan dan usaha dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi juga dibidik sebagai target.

“Oleh karena itu, kewaspadaan kita terhadap risiko fraud harus selalu dijaga,” tegasnya.

Menanggapi peningkatan risiko pada masa pandemi, Ahmad memaparkan, program anti fraud pun turut berubah. Lebih dari 80% organisasi di dunia telah menerapkan satu atau lebih perubahan ke program anti fraud mereka dengan memperbaiki atau melakukan pelatihan awareness atas internal fraud sebanyak 45%. 

Selanjutnya, mereka memperbaharui atau melakukan penilaian risiko fraud assessment sebanyak 43%.

"Ini menjadi dua inisiatif yang paling umum. Kedua perubahan ini juga yang paling diantisipasi penyesuaian yang direncanakan organisasi untuk dilakukan selama 12 bulan berikutnya," terang Ahmad.

Lebih lanjut, Ahmad menjelaskan, ACFE melalui report to the Nations mengestimasikan kecurangan berpotensi membuat setiap organisasi mengalami kerugian sebesar 5% dari total pendapatan setiap tahunnya.

“Adanya praktik fraud atau kecurangan pada akhirnya akan membuat perekonomian tidak efisien dengan cost of doing business yang meningkat serta menimbulkan kerugian pada negara dan juga organisasi, terutama bagi organisasi yang tidak menjalankan fraud,” ujarnya.

Kasus fraud, salah satunya penyuapan, bisa menyerang organisasi di industri mana saja. Mulai dari pesawat, farmasi, teknologi, energi, hingga jasa keuangan.

Ia mencontohkan, kasus suap yang terjadi pada perusahaan penerbangan dari Perancis, Airbus. Pada tahun 2020, Airbus sepakat untuk membayar lebih dari US$3,9 miliar, merupakan denda terbesar yang pernah tercatat dalam kasus suap untuk menyelesaikan tuduhan suap asing dari pihak berwenang di Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris yang telah diinvestigasi selama empat tahun.

Dari kasus tersebut, menurut Ahmad, menggambarkan seluruh organisasi tanpa terkecuali perlu memikirkan kewaspadaan atas risiko bribery yang mungkin timbul dalam operasional bisnis sehari-hari.

“Seluruh organisasi terutama yang bergerak di industri jasa keuangan perlu menjalankan good government dan good governance, khususnya terkait dengan suap. Kita perlu memahami dan menerapkan dengan baik regulasi yang terkandung suap dalam menjalankan bisnis,” katanya menegaskan.

Dampak Buruk 
Dalam kesempatan tersebut, Ahmad menjelaskan, berdasarkan OECD, penyuapan adalah perbuatan dengan sengaja menawarkan, menjanjikan, atau memberikan keuntungan keuangan atau keuntungan lain yang tidak semestinya bagi pejabat atau pengambil keputusan dengan maksud agar pejabat atau pengambil keputusan tersebut bertindak.

“Dalam setiap transaksi suap ada empat pihak utama, yaitu yang pertama adalah orang yang menyuap dengan intensi untuk mempengaruhi pihak pemilik kewenangan,” kata Ahmad.

Pihak kedua adalah orang yang disuap dengan motif untuk kepentingan pribadi. Sementara, pihak ketiga dan keempat adalah organisasi dari masing-masing pihak yang menyuap dan yang disuap.

Di sisi lain, dia menjelaskan di tahun 2018, PBB memperkirakan biaya korupsi global mencapai US$3,6 triliun. Dari biaya itu, diperkirakan suap yang dibayarkan lebih dari US$1 triliun setiap tahunnya.

Selain itu, kata Ahmad, berdasarkan salah satu studi dari sebuah lembaga yang berfokus pada transparansi serta investigasi, dampak buruk dari penyuapan terlihat pada beberapa hal. Diantaranya adalah meningkatkan ketidaksetaraan kekayaan dan merusak kepercayaan publik.

Kemudian, lanjut dia, penyuapan berdampak buruk pada setiap orang dengan menciptakan inefisiensi, mengurangi pengeluaran publik, dan mendorong monopoli.

Dampak selanjutnya, yakni suap menciptakan persaingan yang tidak sehat, yakni pelaku korupsi dapat menaikkan harga dan mengontrol pasokan. Inovasi pun juga akan terhambat, sebab calon pengusaha tidak mempercayai sistem hukum untuk mendukung buah pemikiran mereka.

“Kekayaan kemudian cenderung didistribusikan secara ekstrem di antara yang pihak yang kaya dan miskin dengan kelas menengah yang jarang dan sedikit peluang bagi usaha kecil untuk tumbuh,” lanjutnya.

Sementara itu, menurut Ahmad, dalam penanganan kasus terkait penyuapan di dunia internasional, Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, merupakan ketentuan yang paling sering digunakan untuk menjerat pelaku penyuapan, selain UK Bribery act yang datang belakangan.

"FCPA menyasar masalah korupsi transnasional dengan mengatur dua ketentuan, yaitu dengan ketentuan antisuap (anti-bribery provisions) dan ketentuan akuntansi (accounting provisions)," jelas Ahmad.

Artinya, orang atau perusahaan AS dilarang menawarkan, membayar, atau berjanji untuk membayar uang atau apa pun yang berharga kepada pejabat asing mana pun untuk tujuan memperoleh atau mempertahankan bisnis.

Tiga subjek hukum yang diatur oleh FCPA, antara lain Issuers (perusahaan listed dan subject to SEC reports), Domestic concerns (WN Amerika Serikat, penduduk Amerika Serikat, perusahaan dan badan hukum yang memiliki kantor pusat di Amerika Serikat atau didirikan berdasarkan hukum AS), Person (mencakup pula orang selain WN AS dan perusahaan dan badan hukum yang didirikan di negara lain selain AS tetapi melakukan penyuapan di AS).

Sayangnya, kata Ahmad, Indonesia belum memiliki peraturan yang sepadan dengan FCPA. Ia menyebut Indonesia memiliki Undang-Undang Tipikor, namun fokus UU ini tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Indonesia.

"Dalam UU Tipikor, terdapat 30-an jenis tindak pidana korupsi yang bisa dikelompokkan ke dalam memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan hukum, suap, perbuatan curang, penggelapan/pemalsuan, pemerasan, dan benturan kepentingan," ungkapnya.

Mirip seperti FCPA, ia melanjutkan, subjek UU Tipikor Indonesia juga meliputi pribadi kalangan pegawai negeri atau penyelenggara negara, swasta, dan badan hukum korporasi.

"Berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana korupsi di manapun ia berada. Juga, berlaku terhadap pidana korupsi yang terjadi di Indonesia, misalnya, WNA yang menyuap pegawai negeri di Indonesia," jelasnya.

 

Suasana di kantor Otoritas Jasa Keuangan. ANTARA FOTO/Septianda Perdana 

 

Strategi Anti-Fraud di IJK
OJK sendiri telah mengatur beberapa Lembaga Jasa Keuangan untuk menerapkan langkah pencegahan untuk menghindari tindak pidana korupsi dalam bentuk penerapan strategi atau sistem pengendalian fraud melalui beberapa ketentuan. Untuk perbankan, lewat POJK No. 39/POJK.03/2019 tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud Bagi Bank Umum.

Sementara pasar modal, lewat Pasal 13 dan 17 POJK No. 43/POJK.04/2015 tentang Pedoman Perilaku Manajer Investasi dan SEOJK No.32/SEOJK.04/2015 tentang Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka.

Adapun IKNB lewat empat aturan. Pertama, SEOJK No. 46/SEOJK.05/2017 tentang Pengendalian Fraud, Penerapan Strategi Anti Fraud, dan Laporan Strategi Anti Fraud bagi Perusahaan Asuransi/Reasuransi, dan Pasal 74 POJK No. 73 /POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Perasuransian.

Kedua, Bab XII POJK Nomor 35/POJK.05/2018 Tentang Penyelenggaraan Perusahaan Pembiayaan dan Pasal 56 POJK No. 30/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Pembiayaan sebagaimana diubah dengan POJK No. 29 /POJK.05/2020.

Ketiga, Pasal 56 POJK No. 3/POJK.05/2017 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Lembaga Penjamin. Keempat atau yang terakhir, Pasal 58 POJK No. 15/POJK.05/2019 tentang Tata Kelola Dana Pensiun.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar