13 April 2024
18:00 WIB
Menyulap Gulma Jadi Kriya Pembawa Laba
Tanaman eceng gondok yang merupakan gulma penganggu bisa disulap menjadi kriya di tangan perajin Bengok Craft. Nilai ekonomi pun meningkat dan membawa kesejahteraan.
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Tas dan sepatu produk unggulan dari Bengkok Craft Upcycle Enceng Gondok. Instagram/bengokcraft
JAKARTA – Tak hanya rotan atau bambu, daun eceng gondok kering sudah beberapa waktu ini diketahui bisa dianyam menjadi aneka produk kerajinan. Mulai dari furniture untuk mempercantik ruangan hingga produk fesyen yang bisa membuat pemakai tampil unik, bisa dibuat dari material tanaman yang dikenal sebagai gulma atau penganggu itu.
Sayangnya, di tengah maraknya kerajinan menggunakan bahan eceng gondok, masyarakat di sekitar Rawa Pening, tepatnya di Tuntang, Kabupaten Semarang, belum bisa meraup potensi ekonomi eceng gondok secara optimal.
Selama ini, ‘petani’ hanya sebatas ‘memanen’ eceng gondok mentah dan mengirim komoditas tersebut ke wilayah Jawa Tengah lainnya atau Yogyakarta yang menjadi sentra produksi kerajinan dari gulma pengganggu itu.
Proses ‘panen’ eceng gondok dilakukan setiap hari dari pukul 6 pagi hingga pukul 1 siang. Petani menggunakan perahu tradisional umumnya mengangkut sekitar 2-3 bonggol besar, isi per bonggol sekitar 50-60 kg eceng gondok mentah.
Dengan harga eceng gondok mentah bisa dijual Rp500-1.000/kg, petani hanya mengantongi paling banyak Rp60.000 per hari.
Fakta ini pun menjadi sumber keresahan Firman Setyaji. Dia ingin warga bisa mengolah eceng gondok secara maksimal dan mengubahnya menjadi pundi-pundi ekonomi. Saban dia melihat proses panen ini, dia berpikir keras, bagaimana ini bisa dimanfaatkan lebih.
Pria jebolan jurusan Kriminologi FISIP UI ini paham bahwa ada kenaikan nilai setelah eceng gondok diolah. Dia mencontohkan, setelah panen, umumnya para istri petani membantu menjemur tanaman basah hingga kering selama 1-2 pekan.
Lewat proses ini, dari harga eceng gondok mentah Rp500-1.000/kg melompat menjadi Rp5.000-10.000/kg jika dalam bentuk kering. Saat ini, eceng kering bisa dijual Rp8.000/kg karena pergerakan pasokan dan permintaan.
Jika ingin makin cuan, masyarakat bisa meluangkan sedikit waktunya untuk membuat produk eceng setengah jadi. Untuk anyaman lembaran ukuran 50x50 cm atau 40x60 cm, perajin bisa menjual di kisaran Rp20-30 ribu. Dia berpikir, petani harusnya bisa melakukan dari sekadar menyiapkan panenan dan panenan kering.
“Apalagi kalau dibuat kerajinan seperti tas aja, range-nya bisa Rp100-200 ribu. Jadi ada peningkatan value eceng gondok dari yang hanya dijual mentah saja,” ungkapnya saat menceritakan asal-muasal Bengok Craft di 2019 kepada Validnews lewat perbincangan via telepon di Jakarta, Rabu (27/3).
Dia menghitung, tak hanya kemajuan secara ekonomi yang bisa dipetik dari mengolah eceng gondok. Kegiatan ekonomi kreatif bisa mengembangkan kapabilitas sosial masyarakat perajin. Sekaligus memberikan dampak pada keseimbangan ekosistem rawa yang selama ini terganggu akibat tanaman merambat yang tumbuh subur ini.
Dari pengamatannya, Firman menilai, kekayaan berupa bahan baku yang melimpah belum memberikan kesejahteraan secara optimal lantaran ketiadaan industri pengolahan atau kerajinan tanaman hama ini di sekitar Rawa Pening. Berbeda dengan Yogyakarta dan Pekalongan yang sudah dari bertahun silam mengolah eceng gondok menjadi beragam produk dekorasi rumah maupun kriya tenun.
“Dari situ, kita kepikiran untuk membuat suatu ruang ekonomi kreatif baru (pengolahan kriya) dari eceng gondok,” katanya.
Nama Bengok dipilih, lantaran penduduk lokal kerap menyebutkan eceng gondok dengan sebutan benok.
“Dengan adanya Bengok Craft mengambah kelestarian dan kepedulian terhadap Rawa Pening, serta kepedulian dengan meminimalisir pertumbuhan eceng gondok,” ujarnya.
Harapannya menjadi kenyataan. Lewat serangkaian uji coba, hasil optimal didapatkan. Bukan isapan jempol, Bengok Craft selain kini turut mengurangi eceng gondok dari Rawa Pening, juga memberi nilai ekonomi kepada petani.
Dia mengamini, tanpa ada intervensi dan kepedulian masyarakat sekitar Rawa Pening, wilayah itu bisa saja menghilang dan tersisa kenangan. Ketakutan ini juga sudah diprediksi dan coba diantisipasi sejak 2011 lalu. Pesatnya pertumbuhan tanaman ini bisa membuat semacam daratan baru dan mengurangi debit air.
“Sehingga pengaruh (negatif) eceng gondok adalah nelayan jadi tidak bisa mencari ikan, karena tempat tumbuh ikan seiring waktu semakin tergerus dan membuat air lama-kelamaan semakin berkurang,” paparnya.
Kini, Bengok Craft bisa mengolah 500 kg hingga 1 ton eceng gondok setiap bulannya. Eceng gondok diolah menjadi beragam barang fesyen maupun kriya. Adapun jumlah produksi eceng gondok di Rawa Pening bisa mencapai 50-100 ton per bulannya.
Firman tak sendirian. Ada 20 orang yang bekerja di bawah naungan Bengok Craft. Mereka terdiri dari 12 perajin, 3 penjahit dan 5 orang di bagian marketing.

Perang Inovasi
Menyadari pelaku bisnis eceng gondok sudah cukup banyak, Firman tidak mau menjual produk dekorasi rumah dari olahan eceng gondok seperti yang sudah dilakukan pengusaha kawakan di wilayah lain. Dia mencari sisi lain yang belum tergarap. Karena itu, dia dan tim lebih memilih haluan bisnis Bengok Craft pada 2019 di bidang kriya lain berjenis fesyen dan craft.
Simpel saja, dia menyadari tak mudah untuk mendisrupsi pasar dekorasi rumah dari eceng gondok yang sudah ada. Karena pengusaha tersebut sudah berkembang dan mapan, memiliki jaminan pasar, hingga pasokan bahan baku yang stabil.
“Kita enggak mau lawan perusahaan yang sudah 20-30 tahun biasa ekspor home decor dari eceng gondok. Kalau Bengok Craft masuk dan bersaing membuat home decor, kita akan kewalahan,” kata Firman.
Selain itu, keputusan Bengok Craft memilih kriya sebagai produk pembeda yang belum banyak dibuat oleh usaha eceng gondok mapan. Dengan produk berbeda, dia yakin bisa meraih misi menjadi top of mind di masyarakat menjadi penghasil produk unik, klasik, etnik, dan fungsional.
Menjadi pengusaha yang baru merintis juga membuat Bengok Craft lihai bergerak menciptakan produk inovatif. Ini memanfaatkan kekurangan pengusaha besar yang tidak bisa bergerak inovatif dan sekonyong-konyong karena banyak pertimbangan.
“Kalau enggak laku ya sudah kita buat inovasi yang lainnya,” ucapnya sambil berseloroh.
Berbagai keputusan itu didasari Firman dengan riset selama tiga bulan, sebelum meluncurkan Bengok Craft. Dalam riset itu, dia mengumpulkan problem seputar kerajinan eceng gondok di sekitar Rawa Pening.
Kemudian, problem tersebut dikembangkan dengan mencari tahu potensi usaha dengan mencari perajin mandiri yang sudah eksis.
Dari sana, Firman mencoba menghitung potensi peningkatan skala usaha para perajin mandiri itu. Segala sisi dia perhitungkan termasuk kendala yang ada, sembari menerima masukan dan saran inovasi untuk bisnis eceng gondok impiannya.
“Nah itu kita datangin satu per satu, kurang lebih ada 15-20 perajin yang dulunya aktif di kerajinan eceng gondok,” bebernya.
Kemudian, Firman juga ikut melakukan riset pasar produk eceng gondok dan potensinya ekonomi ke depannya.
Dari sejumlah proses ini, pihaknya berkesimpulan mandeknya usaha kriya eceng gondok di sekitar Rawa Pening terjadi karena perajin-perajin tersebut terlalu saklek berkiblat pada produk yang laku di pasaran. Padahal kondisi tersebut membuat produk yang sama jadi hilang eksklusivitasnya.
Sebagai proyek percontohan, dirinya membuat sejumlah produk buku dengan aksen eceng gondok di dalamnya selama kurun waktu satu bulan. Dari kesuksesan penjualan itu, Bengok Craft semakin semangat untuk menjual variasi produk yang lain.
Terus Urai Kendala Perajin
Di tengah merintis, Firman menemukan masalah baru timbul, yakni manajemen produksi yang belum tertata rapi. Apalagi saat itu hanya ada 1-2 orderan yang masuk, sedangkan belanja alat dan bahan ke sejumlah wilayah sehingga harganya juga menjadi lebih mahal.
Pemasaran juga jadi kendala yang terus dialami perajin sehingga barang jualannya menjadi menumpuk tak laku. Hal ini pun jadi dilema perajin karena hasil produksi yang sudah capek dikerjakan tak bisa langsung jadi pemasukan.
“Akhirnya, kita yang membelanjakan dan menyetoki alat-bahan buat mereka karena bisa membeli lebih murah. Karena belinya partai banyak, grosiran. Daripada perajin yang beli eceran atau satuan gitu, ya harganya lebih mahal,” sebutnya.
Terkadang, ada saja calon pembeli yang bertindak kriminal. Perajin juga dapat ditipu oleh oknum dengan janji bawa barang dulu, namun tak lekas dibayar. Solusinya, Bengok Craft menawarkan perdagangan yang adil dengan perajin lewat kontrak perjanjian produksi.
Bengok Craft kemudian mulai menjajal pasar dunia pada tahun ketiga setelah tahun kedua fokus mengikuti banyak pameran domestik dan internasional. Dirinya pun bersyukur berkesempatan belajar ekspor dari Ditjen PEN Kemendag.
“Sehingga sampai sekarang kita pernah ngirim (kriya eceng gondok) ke Italia, Singapura, Jepang, Spanyol, sama Dubai,” jelasnya.
Dari sejumlah negara, Italia menjadi yang paling sering meng-order kriya besutan Firman dan kawan-kawan. Tercatat sudah empat kali buyer Italia mendatangkan produk Bengok Craft.
Adapun pengapalan tujuan lain terjadi karena diikutsertakan oleh pemerintah ke event internasional
“Jadi kita kirim produk ke sana, nanti setelah event produknya didistribusikan distributor di sana, semacam dikongsi-dagangin di luar negeri,” sebutnya.
Untuk tingkat domestik, Bengok Craft menarget pasar di kota besar macam DKI Jakarta lewat etalase produk di Sarinah maupun pusat perlengkapan perkakas rumah. Begitu juga di Semarang, dengan menyasar titik keramaian di lokasi wisata maupun bekerja sama dengan sejumlah pelaku usaha hotel-restoran.
Tak lupa juga, Bengok Craft juga gencar menjajakan barangnya di lokapasar. Adapun produk kriya-fesyen ini juga membidik kalangan perempuan usia 20-40 tahun yang spesifik menyukai gaya fesyen berkelanjutan dan gaya hidup ramah lingkungan.
“Jadi dengan isu-isu lingkungan dan keberlanjutan, kita menyasar secara spesifik orang-orang yang peduli terhadap isu-isu tersebut,” ungkapnya.
Situasi Usaha
Setelah lima tahun lebih berkarya, Bengok Craft bangga sudah bisa memproduksi hingga 100-an jenis produk kriya berbahan dasar maupun aksen dari tanaman invasif satu ini. Jumlah jenis produk sebanyak itu bisa tercapai karena target kreatif “satu bulan, satu inovasi produk”.
Ilham untuk memproduksi sesuatu berasal dari proses research-development tim, bisa juga dari usulan dan inovasi dari perajin, atau mungkin dari permintaan konsumen atas produk kustom dengan memberikan patokan desain sederhana lewat foto atau gambar.
Secara keseluruhan, produk kriya buatan Bengok Craft dibanderol paling murah kisaran Rp10-50 ribu untuk produk kecil seperti gelang, vas, tatakan gelas, baki, kotak barang kecil, hingga casing hp. Lalu, kisaran Rp50-150 ribu untuk buku, topi bucket, apron, rak, sandal, dompet, handbag, sling bag, hingga totebag.
Kemudian, kisaran Rp150-250 ribu untuk jaket berbahan jeans dengan aksen eceng gondok, berbagai macam jenis tas, sajadah, hingga karpet. Di atas itu, Bengok Craft menjual produk kriya eceng gondok olahan secara kustomisasi.
“Kalau yang (produk) custom itu ada yang bisa lebih (tinggi harganya), tergantung ukuran… Misal, karpet ukuran diameter 2 meter itu harganya bisa mulai dari Rp500 ribu ke atas,” jelasnya.
Meski begitu, patokan harga tersebut tidak saklek. Harga biasanya diterapkan berdasarkan tujuan seperti untuk harga ritel, harga reseller, harga usaha, sampai harga ekspor. Adapun harga di atas merupakan harga yang ditetapkan bagi pembeli ritel.
Pembelian grosir untuk kebutuhan reseller bisa mendapat diskon sebesar 10-20% dari harga satuan ritel, lalu harga usaha untuk minimal pembelian (MOQ) selusin berhak mendapatkan potongan harga hingga 20-30%, serta tujuan ekspor berhak mendapat potongan sebesar 30-40%.
“Kalau yang harga ekspor, itu kita kirim ke luar negeri untuk pembelian minimal dengan ukuran 1 m³,” terangnya.
Soal omzet, Firman blak-blakan terus mengalami pertumbuhan omzet positif dalam lima terakhir ini. Mulai dari sekitar Rp132 juta/tahun di 2019, meningkat drastis ke Rp220 juta/tahun di 2020, naik ke Rp250 juta di 2021, tumbuh ke kisaran Rp352 juta/tahun di 2022, dan Rp360 juta/tahun di 2023.
Padahal, produksi perdana dimulai dengan modal mini hanya Rp5-10 juta. Namun begitu, Firman menyebut, target penjualan sementara ini di 2024 masih belum positif karena penjualan belum mencapai Rp100 juta di kuartal pertama ini.
Dia menepis anggapan penurunan penjualan ini disebabkan penurunan daya beli konsumen pecinta kriya di luaran. Menurutnya, penurunan penjualan ini disebabkan iklan kampanye pada masa Pemilu 2024 yang begitu santer saban hari memenuhi beranda medsos konsumen sehingga menutup iklan sektor UMKM.
Dirinya pun mengaku penjualan yang moncer sekitar momen covid-19 dapat terjadi lantaran gencarnya pemerintah mengiklakan gerakan Bangga Buatan Indonesia (BBI) dan sejenisnya. Karenanya, target penjualan produk kriya dan fesyen eceng gondok masih berpotensi tercapai di sisa tahun ini.
“Kalau 2024 ini kebanyakan (iklan) terkait pemilih itu belum selesai sampai sekarang ini. Jadi kita nunggu aja momennya beres, kalau selesai kita ada momen ningkatin (penjualan) UMKM lagi, Itu kemungkinan kalau saya ngebacanya,” urainya.
Garap Berbagai Potensi
Dalam waktu dekat, produsen kriya ini berencana untuk tetap meningkatkan skala bisnis edukasi produksi eceng gondok. Potensi ini bakal dimanfaatkan menyusul sedikit kelesuan usaha berjenis kriya di awal 2024 ini.
Sejauh ini, dirinya bersyukur Bengok Edutour diminati oleh sejumlah sekolah tingkat menengah di daerah Semarang dan sekitarnya. Hitung-hitung agenda pelatihan kreasi dari organisme gulma satu ini bisa menumbuhkan semangat kewirausahaan gen-z di masa depan.
“Ekspansi usaha atau bisnis ke ranah edukasi fenomena sekarang sedang naik grafiknya. Kita mencoba menjangkau ke sekolah-sekolah sekitaran Salatiga, daerah-daerah Semarang maupun di Kota Semarang,” jelasnya.
Selain itu, firman dan tim di Bengok Craft berupaya memperbesar basis sentra produksi eceng gondok bekerja sama dengan lebih banyak perajin secara lebih profesional di sisi bisnisnya.
Meski sudah masuk tahun ke-6, Bengok Craft masih menemui tantangan di tataran manajeman usaha yang masih konvensional.
Hal ini pun sudah menjadi cita-citanya untuk terus bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat perajin eceng gondok. Ujungnya, industrialisasi bisnis UMKM ini terus meningkat standarnya.
Dalam praktik usahanya, Bengok Craft juga tak main-main. Firman sudah mulai melaporkan standar laporan keberlanjutan (sustainability report) usaha lewat Inisiatif Pelaporan Global (Global Reporting Initiative/GRI) di 2022 untuk menyeriusi target tersebut.
Di dalamnya, Bengok Craft membuktikan tidak menggunakan anak dalam kegiatan produksi, nol laporan kecelakaan kerja karena penerapan K3, meningkatkan kapasitas dan kemampuan proses produksi perajin lewat pelatihan, berkomitmen menekan limbah produksi sembari mengoptimalkan produk daur ulang, hingga menjaga konsumsi energi listrik secara bijak.
Soal ekspor, dia berharap pengembangan komunitas atas nilai usaha bisa turut meningkatkan minat pasar global. Dengan demikian, terjamin kontinuitas pembelian dari luar sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan perajin yang masih belum optimal saat ini.
Di pasar dalam negeri, Firman dan tim juga hendak memperkuat reputasi usaha di tingkat antar bisnis (B2B) dengan menyasar pangsa souvenir korporat maupun pemerintah. Strategi ini dilancarkan untuk menyiasati penjualan ritel yang terhitung niche market.
“Sehingga kita coba untuk mengarahkan yang ada kebutuhannya seperti B2B,” pungkasnya.