17 November 2023
19:45 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
JAKARTA - Berbagai lembaga internasional memprediksi Indonesia akan menjadi negara maju di tahun 2045 mendatang. Untuk mewujudkannya, Indonesia dinilai harus mengejar target kenaikan rasio kewirausahaan hingga 12% yang merupakan prasyarat utama sebagai negara maju.
Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Arif Rahman Hakim mengatakan saat ini rasio kewirausahaan nasional baru mencapai 3,47%. Artinya butuh upaya keras dari pemerintah dan stakeholder terkait agar target minimal 12% di tahun 2045 bisa terpenuhi.
"Saat ini pengembangan kewirausahaan berfokus pada inovasi yang menjadi salah satu kunci untuk menghadapi tantangan transformasi tren dunia yang cukup cepat. Inovasi pula yang dibutuhkan UMKM untuk berkembang lebih jauh hingga naik kelas," ujar Arif dalam diskusi media, Jumat (17/11).
Arif menjelaskan, ada lima indikator yang perlu dicapai pelaku UMKM untuk bisa disebut ‘naik kelas’. Pertama terwujudnya seluruh variabel yang menjadi amanat Peraturan Pemerintah (PP) No 7/2021 tentang kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Koperasi dan UMKM.
Selain itu juga terpenuhinya variabel yang diatur dalam PP No 8/2021 tentang modal dasar perseroan serta pendirian, perubahan dan pembubaran perseroan yang memenuhi kriteria UMKM.
Kedua, lanjut Arif, terwujudnya kenaikan omzet UMKM dan ketiga inklusivitas UMKM dalam pemanfaatan teknologi dan informasi. Keempat, terwujudnya kemudahan ekspor dan kemudahan akses informasi.
Kelima. terwujudnya klasterisasi dan hilirisasi produk sebagaimana dalam pilot proyek rumah produksi bersama yang diharapkan dapat direplikasi di daerah lainnya.
"Melalui diskusi kami harap dapat dihasilkan ide dan pemikiran untuk mendukung pertumbuhan UMKM di tanah air agar kita bersama-sama bisa menyongsong terwujudnya Indonesia emas di tahun 2045," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi UKM Deputi Bidang UKM KemenKopUKM Temmy Satya Permana menuturkan, upaya pemerintah mendorong UMKM naik kelas dihadapkan pada masalah yang cukup serius di tengah masifnya perkembangan teknologi informasi.
Menurutnya, pelaku usaha yang mayoritas adalah pelaku usaha mikro justru dihadapkan pada perang harga di dalam platform digital.
Masalah lain adalah pelaku UMKM didominasi oleh reseller daripada produsen. Hal ini mengakibatkan multiplier effect dari UMKM menjadi tidak begitu besar. Parahnya lagi UMKM yang mayoritas usaha mikro merupakan pelaku usaha subsisten.
"Ironisnya ekonomi digital ini isinya 90% dari pelaku usaha kita adalah reseller bukan produsen. Nah ini jadi tugas berat bagi kami dan Kementerian Lembaga terkait yang membina UKM, Kemenkop UKM hanya sebagai koordinator," ujar Temmy.
Tantangan lain di sektor UMKM untuk menuju Indonesia emas di tahun 2045 adalah derasnya produk impor. Hal itu mengakibatkan UMKM khususnya para produsen menjadi kian berat tantangannya.
Oleh karena itu, demi melindungi pasar dalam negeri, pihaknya mengatakan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
"Salah satu cara kita adalah membatasi arus barang masuk ke negara kita adalah melalui aturan yang bijak dan tegas. Selain itu kita perlu mengedukasi masyarakat untuk mencintai produk dalam negeri," tegasnya.
Senada, Sekretaris Deputi Bidang Usaha Mikro KemenkopUKM Aufride Herni Novieta menambahkan, untuk menjadikan UMKM berdaya saing, pihaknya terus berupaya mendorong mereka memenuhi aspek legalitas usaha.
Dengan adanya legalisasi akan ada kemudahan mendapatkan pangsa pasar, pembiayaan hingga optimalisasi teknologi digital.
"Kita perlu mendorong legalitas dan sertifikasi usaha yang pasti. Kita juga harap bisa masuk ke ekosistem dari hulu ke hilir. Ke depan usaha mikro di 2024 sudah bertransformasi secara formal dan terhubung dengan segala aspek itu," sambungnya.
Untuk memastikan pelaku usaha Mikro naik kelas, Novieta berharap sinergi dan kerja sama dengan multipihak. Sebab diakui Kemenkop UKM tidak bisa bekerja sendiri untuk menjadikan UMKM khususnya pelaku usaha mikro naik kelas.
"Tantangan kami ke depan mendorong pelaku mikro melakukan transformasi. Ini tidak bisa lepas dari upaya kita bersama dari pemerintah, swasta, perguruan tinggi, masyarakat hingga media," katanya.
Bentuk Ekosistem
Direktur Lembaga Layanan Pemasaran (LLP) KUKM atau Smesco Indonesia Leonard Theosabrata menegaskan, dalam mencapai UMKM future atau di masa depan, harusnya bukan lagi membesarkan ekonomi mikro. Justru memperbesar struktur ekonomi besar yang 1%.
“Namun hal ini (peluas ekonomi besar) dianggap tidak common. Kalau ekonomi mikronya semakin besar malah menciptakan ekonomi yang hanya subsisten (hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari),” katanya.
Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki, sambung Leo, selalu menegaskan, ekonomi ultra mikro ini yang harus di agregasi oleh ekonomi besar agar merasakan multiplier effect-nya.
“Future SME itu harus bentuknya dalam ekosistem, bukan lagi bicara secara individu. Tetapi bagaimana upaya kolektif menciptakan ekosistem ekonomi menjadi berdaya,” tegasnya.
Tak hanya itu, menurut Leo, future SME di tahun 2045 juga harus menciptakan adanya trendsetter yang menumbuhkan industri turunan dari gerakan hasil kreasi. Selain itu, UMKM yang fokus di bidang SDGs seperti agrobase juga menjadi industri yang terus tumbuh di masa depan.
Namun realitanya, segmen di industri tersebut masih sulit dari sisi invetasi. Menurutnya, saat ini tidak tidak perlu lagi bicara bagaimana UMKM di masa depan, tetapi aksi yang lebih penting.
"Jujur saya masih cemas bagaimana bonus demografi nanti jumlahnya tak main-main, namun hanya menyediakan lapangan kerja yang subsisten,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menekankan, agar Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045, setidaknya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Di antaranya, syarat pertumbuhan ekonomi harus mencapai minimal 6-7%.
“Sementara Indonesia, jika dilihat dari RPJMN dan realitasnya masih terdapat gap, dari tahun 2015 hingga 2023 mencapai 4,1% termasuk adanya pandemi. Namun jika di luar pandemi pertumbuhan ekonomi sekitar 5%,” jelasnya.
Kemudian, tingkat pendapatan per kapita menuju Indonesia Emas minimal juga harus mencapai minimal US$12.000 per kapita di tahun 2030 dan mencapai US$14.000 per kapita pada 2045. Lalu laju inflasi, suku bunga yang stabil, serta jumlah penduduk hingga nilai tukar.
“Jika faktor tersebut tak mendukung, maka akan sulit. Masih butuh waktu panjang untuk kita menuju Indonesia Emas. Mampu nggak kita menuju Indonesia Emas? Jelas mampu dan masih optimistis. Karena sebenarnya kita masih on-track. Tinggal bagaimana dukungan peraturan serta demand atas permintaan kredit hingga 30% bisa terpenuhi,” jelasnya.
Lebih jauh Tauhid menyatakan, saat ini, kontribusi UMKM terhadap PDB agak sedikit menurun. Namun di sektor pertanian masih terus berpotensi untuk bertumbuh.
“Kalau dilihat memang ada UMKM yang sudah naik kelas, tetapi masih ada yang harus menjadi perhatian long term visi Indonesia Emas,” pungkasnya.