23 Oktober 2025
20:44 WIB
Mengulas Ikhtiar Memberdayakan Santri Agar Mandiri
Pondok pesantren menjadi tempat strategis untuk menjadi penggerak ekonomi nasional. Di pesantren, santri juga bisa belajar agar berdaya secara ekonomi.
Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Erlinda Puspita
Editor: Rikando Somba
Sejumlah santri menanam bibit tanaman buah saat melaksanakan program Shodaqoh Alam di kompleks Pondok Pesantren Al Musthofa Tebuireng 16 Desa Wadas, Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/rwa.
JAKARTA – Berihwal dari keinginan membekali santri dengan ilmu selain ilmu agama, pertanian yang dikembangkan di Pesantren Al-Ittifaq Bandung, Jawa Barat, justru tumbuh menjadi bisnis yang berkembang baik. Sayuran yang dihasilkan pesantren laku dipasarkan di supermarket besar di Jakarta dan Bandung. Beberapa jenama besar, mulai dari Makro, Diamond, Superindo, Yogya, hingga Hero, berlangganan produk dari pesantren ini.
Bahkan tak hanya memberdayakan santri secara ekonomi, pondok pesantren ini juga menghidupkan ekonomi masyarakat sekitar. Direkam dalam jurnal berjudul "Peranan Pondok Pesantren Al-Ittifaq dalam Bidang Agribisnis terhadap Kehidupan Masyarakat Alamendah Bandung 1970-1998", disebutkan bahwa kegiatan agribisnis di Al-Ittifaq awalnya dilakukan oleh santri saja.
Karena semakin besar permintaan pasar, maka sumber daya manusia dan sumber daya lahan yang diperlukan kian bertambah. Alhasil, semakin luas cakupan kerja sama yang harus dibangun oleh pondok pesantren.
"Pesantren berusaha untuk merangkul banyak pihak dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar. Pesantren akhirnya menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya kelompok-kelompok tani," demikian dikutip dari jurnal itu pada Kamis (23/10).
Kelompok tani itu dibangun oleh alumni-alumni pesantren dengan masyarakat sekitar. Kerjasama didasarkan pada kebutuhan akan pemenuhan permintaan yang diterima pesantren.
Tidak semua produk yang diminta pasar ada ditanam di lahan milik Al-Ittifaq. Ada produk-produk yang ditanam di daerah dataran rendah, karena itu pondok harus bekerja sama dengan petani di dataran rendah.
Sebelum kegiatan agribisnis berjalan, yaitu pada era 1980-an, masyarakat petani di kawasan Ciburial Desa Alamendah Kabupaten Bandung dikenal miskin dan terbelakang. Kenyataan itu telah berubah setelah 15 tahun lebih agribisnis berjalan di sana. Memang, kemiskinan masih ada, akan tetapi mayoritas petani di sana sudah lebih sejahtera.
Peningkatan kualitas pada usaha pertanian pondok pesantren dimulai sejak tahun 1997. Pondok pesantren Al-Ittifaq mendirikan Koperasi Pondok Pesantren ALIF, demikian produk hasil karya santri serta masyarakat dapat dijual ke beberapa supermarket di Jakarta dan di Bandung,
Usaha agribisnis Al-Ittifaq menunjukkan pondok pesantren kini tak hanya dikenal sebagai tempat menimba ilmu agama dan pencetak ulama saja. Ia juga memiliki potensi untuk menjadi penggerak ekonomi nasional melalui ekonomi syariah dan menghasilkan santri wirausaha atau santripreneur.
Potensi Besar
Sementara, berdasarkan data Kementerian Agama (2024/2025), kini ada 42.433 pondok pesantren (ponpes) aktif di Indonesia, dengan jumlah santri mencapai 11 juta orang. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding satu dekade lalu.
Direktur Bisnis dan Kewirausahaan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Putu Rahwidhiyasa mengamini jumlah ponpes dan santri yang terus berkembang pesat dari tahun ke tahun.
Namun, menurutnya, realisasi di lapangan jumlahnya bisa lebih besar. Lantaran, belum semua ponpes memiliki izin terdaftar pada Kemenag yang dibuktikan dengan Piagam Statistik Pesantren (PSP). Ini adalah dokumen yang berisi Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP), yaitu nomor identitas unik untuk sebuah pesantren yang diakui secara resmi oleh Kemenag.
"Kalau misalnya keseluruhan dengan yang tidak terdata (ponpes), mungkin jumlahnya (ponpes) jauh lebih banyak," kata Putu kepada Validnews melalui sambungan telepon, Rabu (22/10).
Dari banyaknya ponpes, Alvara Research Center melihat besarnya potensi ekonomi di sana. Menurut Alvara, pondok pesantren memiliki modal yang cukup mumpuni berupa sumber daya manusia (SDM) yang banyak yakni santri dan alumni. Selain itu, kebanyakan pesantren yang memiliki aset lahan luas serta jaringan sosial yang kuat, memberikannya "privilege" untuk mengembangkan suatu usaha.
"Untuk mengembangkan usaha yang baik dan sehat, pesantren perlu penguatan manajemen usaha, akses pemasaran, digitalisasi, serta jejaring kemitraan agar pesantren benar-benar mandiri secara ekonomi," ujar CEO Alvara Research Center Hasanudin kepada Validnews, Selasa (21/10).
Di samping potensi besar, kemandirian ekononi pesantren juga sangat diperlukan. Kepada Validnews, Rabu (22/10), Pengamat Ekonomi Syariah Yusuf Wibisono menambahkan, salah satu ciri utama pesantren yang baik adalah ketika pesantren mandiri secara keuangan, tidak membutuhkan bantuan finansial dari pihak lain, sehingga menjadi kekuatan yang independen dan tidak mudah dikooptasi oleh kekuatan lain.
Menurutnya, pesantren yang tidak mandiri secara ekonomi lantaran setidaknya ada dua akar masalah. Pertama, kegagalan pengelolaan dana filantropi Islam secara transparan, sehingga tidak mendapat kepercayaan umat. Atau kedua, ketidakmampuan membangun bisnis syariah secara profesional, sehingga daya saingnya rendah dan tidak mampu memberikan imbal hasil yang memadai.
Inkubasi Bisnis
Menilik potensi ini, sejumlah program lantas dibangun untuk mendorong kemandirian ekonomi pesantren. Yang membangunnya mulai dari pemerintah daerah, pusat, atau swasta, dan pengelola ponpes itu sendiri. Harapannya, pesantren tidak lagi hanya dipandang sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai motor penggerak ekonomi umat.
Salah satu program yang cukup populer datang dari Kementerian Agama yang memiliki program Inkubasi Bisnis di berbagai pesantren untuk mengembangkan unit usaha di pesantren.
Putu Rahwidhiyasa mengatakan, KNEKS terlibat aktif dalam program bantuan inkubasi bisnis pesantren ini. Dalam kurun waktu lima tahun, setidaknya sebanyak 5.000 pesantren telah mendapatkan pelatihan usaha dan bantuan modal usaha.
Syarat pendaftaran program ini adalah terdaftar pada Kemenag yang dibuktikan dengan Piagam Statistik Pesantren (PSP); mendapatkan rekomendasi dari kantor Kemenag sesuai dengan domisili pesantren yang menyatakan keberadaan, keaktifan, dan kelayakan sebagai lembaga penerima bantuan.
Kemudian, usia pesantren minimal sudah berdiri selama lima tahun dibuktikan dengan PSP dan/atau memiliki santri mukim minimal 75 orang dibuktikan dengan mengunggah berita acara update data terbaru. Selanjutnya, lokasi unit usaha pesantren radius maksimal 20 km dari pesantren dan masih dalam kabupaten/kota yang sama dibuktikan dengan mengunggah surat pernyataan lokasi unit usaha pesantren; serta bukan pesantren penerima Bantuan Inkubasi Bisnis Pesantren di tahun 2021, 2022, dan 2023.
Lebih lanjut, Putu menjelaskan tahapan program inkubasi bisnis untuk pesantren. Mulanya, pesantren-pesantren yang telah memiliki PSP dan usaha diundang untuk mengikuti program. Lalu, mereka diinkubasi, di mana sebagian besar kelasnya berupa online.
Pesantren yang terpilih mendapatkan pendanaan/hibah dari Kementerian Agama. Untuk nilainya relatif besar, yakni disesuaikan dengan kategori. Kategori pesantren yang belum memiliki unit usaha atau bisnis baru mendapatkan dana bantuan maksimal Rp75 juta, kategori pesantren yang sudah memiliki unit usaha atau bisnis mendapatkan dana bantuan maksimal Rp100 juta, Rp200 juta, dan Rp300 juta.

Pendampingan Agar Pesantren Berkembang
Dari beragam program yang ada, KNEKS dan Alvara Research sependapat bahwa program yang digagas oleh Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang diberi nama One Pesantren One Product (OPOP) menjadi program paling sukses. Lantaran, OPOP mendorong setiap pesantren memiliki produk unggulan yang dipasarkan ke masyarakat luas.
Usai sukses di Jawa Barat, program ini lantas diikuti oleh berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari Jawa Timur hingga Kalimantan Selatan. Akan tetapi, adanya perbedaan kekuatan anggaran di masing-masing daerah, maka otomatis metode di masing-masing daerah juga berbeda.
Dalam program OPOP ini, Putu menjelaskan, pendamping pesantren dipilih terlebih dahulu. Nantinya, pendamping pesantren ini yang akan mencari pesantren-pesantren yang sesuai dengan kriteria program. Setelah pesantren memenuhi kriteria program, maka pesantren tersebut akan dibantu dan didaftarkan untuk mengikuti program OPOP.
"Nah, ini sebetulnya salah satu contoh yang bagus. Karena, mereka tuh memilih dulu pendamping pesantren sama seperti sekarang pendamping koperasi atau istilahnya PMO," katanya.
Setelah itu, mereka mengikuti magang pelatihan di pesantren. Di Jawa Barat misalnya, ada pesantren unggulan yang menjadi tempat magang, yakni Al-Ittifaq Bandung, Husnul Khotimah Kuningan, Idrisiyyah Tasikmalaya, Nurul Iman Bogor, dan Daaurut Tauhiid Bandung.
"Mereka (pesantren) itu dipilih, nanti diikutkan program magang pelatihan. Jadi, mereka belajar dari pesantren-pesantren unggulannya. Nah, nanti setelah itu, mereka diseleksi bisnisnya, mereka buat perencanaan bisnis, mereka diseleksi," urai dia.
Dari sana, dipilih pesantren yang akan mengikuti program dalam level kecamatan/kabupaten/kota. Ketika mereka lulus lagi, mereka akan masuk ke level provinsi dan akan ada pendamping bisnisnya.
Ada yang kategorinya startup, jadi pesantren yang baru mulai bisnis. Ada yang udah skill up, yang usahanya sudah mulai lebih dari tiga tahun. "Besaran hibahnya itu beda," terang Putu.
Setelah pesantren ini mengikuti pelatihan, magang, dan sebagainya, mereka akan memasuki tahap pitching. Mereka akan melakukan presentasi bisnis ke juri. Yang terpilih bakal mendapatkan hibah berkisar Rp100-200 juta.
Sedangkan untuk level kabupaten/kota, juga sudah mendapatkan hibah. Nilainya Rp25 juta untuk kategori startup dan Rp35 juta untuk skill up.
Akan tetapi, Putu juga punya kritik pada program OPOP Jawa Barat. Lantaran, usai pesantren peserta OPOP lulus, mereka sudah tidak punya wadah atau kelanjutan programnya sudah tidak ada. Sehingga, akhirnya pesantren-pesantren tersebut berinisiatif untuk membuat Serikat Ekonomi Pesantren (SEP).
Program lain yang juga memiliki sistem pendampingan adalah Integrated Farming with Technology and Information (Infratani) milik Bank Indonesia.
"Mereka akan berdasarkan masukan-masukan dari kantor perwakilan di daerah. Mereka dari BI pusat dari DEKS (Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah) itu meminta masukan dari kantor perwakilan di daerah-daerah. Pesantren mana yang misalnya punya kebutuhan untuk diambil oleh Bank Indonesia,” tutur dia.
Pada program ini, pesantren terpilih mengikuti magang pelatihan ke pesantren-pesantren yang sesuai dengan sektornya. Kalau pesantren tersebut sudah terlihat cukup baik perkembangannya, maka Bank Indonesia akan memberikan bantuan berupa alat atau dibangunkan greenhouse.
"Nah, itu rata-rata angkanya kalau greenhouse-nya bisa Rp400-800 juta ya untuk bangun greenhouse," ungkapnya.
Mulai dari Penuhi Kebutuhan
Untuk memilih jenis usaha, Putu mengatakan bisa dimulai dari potensi di daerah pondok. Pesantren Al-Ittifaq Bandung misalnya, memiliki potensi untuk mengembangkan agribisnis karena diuntungkan dengan lokasi yang berada di dataran tinggi.
Sementara itu, pesantren Sulaimaniyah, Jawa Tengah, yang terletak di daerah sentra ayam. Alih-alih melirik peternakan, pesantren ini justru melihat peluang untuk mendirikan rumah potong hewan (RPH) dengan kapasitas besar.
Putu menambahkan, jenis usaha pesantren juga bisa diintegrasikan dengan upaya memenuhi kebutuhan sendiri. Oleh karena itu, pesantren biasanya akan bergerak di hulunya, seperti ke pertanian, perikanan, peternakan untuk memenuhi kebutuhan santri-santrinya.
Dia memberikan contoh, pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Bogor yang memiliki kurang lebih 12 ribu santri. Demi memenuhi kebutuhan makan dan minum seluruh santri dan menghemat biaya (cost), pesantren akhirnya mengakali dengan memiliki sawah dan kebun sendiri.
Selain terkait pangan, ada pula pesantren yang mengembangkan bisnis sandang dengan memproduksi pakaian sendiri ataupun dengan usaha laundry.
Ia pun berharap, pesantren bisa terlibat dalam dua program unggulan pemerintah yakni Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Ia menilai, daripada mulai dari yang baru, lebih baik mengoptimalkan koperasi yang sudah ada, khususnya misalnya dengan berbasis pesantren. KNEKS memberikan rekomendasi kepada Kementerian Koperasi, khususnya untuk program Kopdes Merah Putih untuk melibatkan koperasi pesantren.
Nantinya, koperasi-koperasi mengikuti magang di koperasi-koperasi pilihan Kementerian Koperasi. Setelah mereka magang, diharapkan mereka juga bisa punya bisnis yang terintegrasi dengan tempat dia magang.
Dia memberikan contoh, pesantren yang memproduksi beras, sayur, buah-buahan, maka bisa magang di pesantren Al-Ittifaq. Ke depannya, mereka juga bisa memasok ke Al-Ittifaq.
Terkait dengan MBG, Al-Ittifaq juga punya dapur SPPG.
"Sehingga, ini akan terkoneksi dengan program-program pemerintah yang lain, yang menjadi prioritas Pak Presiden Prabowo Subianto," jelas dia.

Pentingnya Anggaran dan Pendamping
Secara keseluruhan, CEO Alvara Research Center Hasanudin melihat program pemberdayaan ekonomi santri yang telah berjalan merupakan langkah strategis dan penting. Menurut Hasanudin, beberapa program tersebut sudah mulai memberi dampak positif. Namun, dampaknya masih perlu diperluas agar kemandirian ekonomi pesantren dapat dirasakan oleh masyarakat, setidaknya yang ada di sekitar pesantren.
Putu menilai, salah satu tantangan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi pesantren adalah keterbatasan modal dan pendanaan. Terkait hal ini, KNEKS menjawab bahwa seharusnya pengelolaan keuangan untuk pendidikan, unit usaha, dan pemberdayaan masyarakat harus dibedakan posnya.
KNEKS menilai bantuan yang diberikan Kementerian Agama kepada pesantren sudah baik. Hanya saja, masih bisa dimaksimalkan dengan meniru program one pesantren one product (OPOP), di mana perlunya pendamping atau mentor bisnis.
Dengan adanya mentor bisnis, diharapkan dapat memitigasi risiko atau mengurangi kecenderungan untuk melakukan kesalahan. Selain itu, pendamping atau mentor juga biasanya memiliki relasi yang lebih luas.
KNEKS juga sudah mendorong mitra di daerah, yakni Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) untuk turut menerapkan one pesantren one product.
Di sisi lain, KNEKS juga menilai pentingnya memanfaatkan teknologi dalam bisnis. Salah satu contohnya telah diterapkan Alifmart, unit usaha dari koperasi pondok pesantren (kopontren) Al-Ittifaq. Alifmart memanfaatkan teknologi dalam bisnisnya, sehingga pelanggan tidak perlu lagi harus belanja langsung ke supermarket, tapi sudah bisa secara online.
Selain itu, KNEKS juga memiliki Digital Business Matching (DBM) sebagai solusi pendanaan syariah bagi UMKM termasuk untuk usaha milik pesantren. Melalui DBM, diharapkan terjadinya peningkatan jumlah UMKM peserta business matching yang berhasil didanai oleh PUJKS.
Senada, Ketua Dewan Penasihat Inkopontren Jimly Asshiddiqie menilai pemberdayaan ekonomi pada santri masih penting, terlebih di zaman era Presiden Prabowo yang mengusung program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan MBG.
"Pondok-pondok pesantren dapat momentum untuk lebih dikembangkan perannya. Tidak hanya melayani pondok pesantren, tapi dia juga bisa melayani komunitas di lingkungan pondok pesantren," kata Jimly kepada Validnews melalui sambungan telepon, Rabu (22/10).
Jimly menekankan bahwa saat ini pendidikan bukan hanya membangun kualitas manusia yang berilmu dan beriman, tapi santri juga harus aktif di dunia bisnis.
"Bisnis menunjang dakwah, bukan dakwah menunjang bisnis. Jadi, apa yang dilakukan Rasulullah itu bisa jadi sumber motivasi bagi generasi muda, para santri, akrab dengan agama, akrab dengan ilmu pengetahuan, tapi juga aktif di dunia entrepreneurship. Ini penting sekali, relevan sekali," tegas dia.