30 September 2024
17:39 WIB
Mengolah Limbah, Mengolah Bisnis; Peran YDBA Dalam Meretas Jalan Sukses Wayang Art
Produk dan lukisan kulit telur Teguh Joko Dwiyono sempat booming pada 1998. Pesanan berdatangan dan membuat kewalahan. Terpuruk sebelum akhirnya dibina YDBA pada 2000 dan bangkit kembali.
Editor: Fin Harini
Teguh Joko Dwiyono Dwiyono saat berada di workshop-nya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/9). Validnews/Rheza Alfian
JAKARTA - Sekitar 20-an lukisan terpampang di ruangan dengan luas kurang lebih 3 x 5 meter. Ukuran lukisannya beragam, mulai dari yang paling kecil 40 x 40 sentimeter hingga 1,5 x 2 meter. Warnanya pun memikat mata, ada gelap dan terang. Barang-barang, seperti guci dan vas bunga yang unik di sudut ruangan menambah suasana menjadi semakin artistik.
Jika dilihat dari dekat, lukisan-lukisan itu memiliki dua tekstur. Ada yang bertekstur khas kulit telur dan ada juga yang bertekstur dari plastik. Ruangan yang berada di Rawamangun, Jakarta Timur itu merupakan workshop Dari Wahana Gaya Gemilang Art (Wayang Art), sebuah galeri yang berfokus menggunakan kulit telur dan limbah sampah plastik sebagai bahan utamanya.
“Seperti inilah kehidupan saya sehari-hari, ditemani kulit telur dan sampah plastik,” kata sang pemilik galeri, Teguh Joko Dwiyono pada Sabtu (28/9).
Meski latar belakang akademisnya berada di bidang teknik, ketertarikan terhadap seni sudah tumbuh sejak kecil. Keinginan untuk menjadi seniman sempat terganjal oleh harapan keluarganya yang mendorongnya masuk ke bidang teknik.
Namun, panggilan untuk mengekspresikan kreativitasnya tak pernah hilang. Selepas bekerja sebagai konsultan teknik, dorongan untuk mencipta karya seni semakin kuat, hingga akhirnya pada 1995, ia memulai eksperimen dengan kulit telur. Pada 1998, Dwiyono memberanikan diri untuk berwirausaha.
Nasi Goreng, dan Telur yang Terjatuh
Pada suatu pagi, tahun 1995, sebuah momen kecil akan mengubah hidup Dwiyono terjadi. Saat sang istri tengah mempersiapkan sarapan nasi goreng kesukaannya, sebuah telur tanpa sengaja jatuh dan pecah.
Ketika telur itu pecah, Dwiyono, yang tidak memiliki latar belakang seni, terpesona oleh bentuk retakan yang ada di cangkang telur itu. Ia melihat keindahan dalam hal yang paling sepele -retakan kulit telur- sesuatu yang mungkin tak akan dilihat oleh orang lain. Saat itu, ia melihat ada sesuatu yang indah dan kuat di balik kerapuhan cangkang telur.
“Saat itu saya pikir, ada yang menarik dari retakan ini. Saya punya feeling, ini punya nilai seni yang sangat tinggi," katanya sembari memegang cangkang telur yang ada di tangannya sembari mengenang momen itu. Ia mulai memperhatikan struktur cangkang telur yang terlihat rapuh, namun sebenarnya sangat kuat. Ia tidak hanya melihat cangkang yang pecah sebagai sampah, tetapi sebagai seni yang luar biasa.
Teguh Joko Dwiyono Dwiyono saat berada di workshopnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/9). Validnews/Rheza Alfian
Kemudian, ia menempelkan pecahan cangkang telur itu ke sebuah botol. Ia pun menggosok bagian terluar dari cangkang telur itu. Dari situ, Dwiyono melihat karya seni yang memiliki nilai tinggi.
Selama dua tahun lamanya Dwiyono melakukan riset tentang karakteristik, kandungan, hingga filosofi cangkang telur. Selama masa penelitiannya, diketahui cangkang telur bisa hidup di empat musim. Ini sudah ia buktikan dengan berbagai percobaan.
Dwiyono pun tidak hanya melihat kulit telur sebagai bahan yang indah, tetapi juga sebagai simbol kehidupan. Baginya, kulit telur merepresentasikan rahim, tempat awal kehidupan yang penuh keajaiban.
"Kulit telur itu seperti rahim, tempat kehidupan manusia dimulai. Setiap kali kamu melihat kulit telur, ingatlah ibumu," jelasnya, menyematkan pesan moral dalam setiap karyanya. Ia juga menemukan bahwa bahan ini bisa menjadi medium seni yang unik dan tahan lama.
Tantangan Wayang Art, dan Sentuhan YDBA
Dwiyono pun mengumpulkan teman-teman dan tetangganya untuk membuat produk dan lukisan dari kulit telur. Sekitar 30-an orang diajaknya untuk menghasilkan karya. Hasil karya mereka pun di pamerkan di Pasar Festival pada tahun 1998.
Permintaan produk meningkat pesat setelah tampil di berbagai pameran. Media meliput, pesanan pun datang dari dalam dan luar negeri, termasuk Amerika Serikat dan Selandia Baru. "Tanpa diduga-duga booming," ujarnya.
Namun, di balik kesuksesan awal tersebut, ia harus menghadapi kenyataan pahit; keterbatasan pengetahuan bisnis mengakibatkan kerugian besar. Tanpa manajemen produksi dan keuangan yang baik, Wayang Art hampir bangkrut.
Beruntung, Dwiyono memiliki teman yang mau membantunya. Ia pun dipinjami uang, kontrakan, bahkan biaya sekolah anaknya pun dibantu temannya.
“Saat itu saya hanya mengerti membuat produk. Saya tidak punya basic pendidikan formal tentang bisnis. Tidak mengerti manajemen keuangan, pemasaran, tentang bisnis enggak ngerti lah,” ungkap Dwiyono.
Pada 2000 dalam sebuah pameran, Dwiyono bertemu dengan tim dari Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) yang sedang mencari produk-produk unggulan untuk dibina.
YDBA, yang merupakan bagian dari Astra International, memiliki program yang mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk berkembang melalui pelatihan manajemen bisnis, pemasaran, hingga akses ke jaringan yang lebih luas.
Dwiyono pun diberikan berbagai macam pelatihan. Dari YDBA, ia mengaku jadi tahu berbagai ilmu untuk menjalankan bisnis. Inilah yang membuat Wayang Art perlahan kembali meniti kesuksesannya hingga saat ini. "Di pameran ditawari masuk YDBA. Dari situlah tahun 2000 itulah saya mulai jadi binaannya YDBA," ucap Dwiyono.
Hingga kini, produk dan lukisan Wayang Art dari kulit terus sudah bertebaran di penjuru negeri dan dunia internasional. Harganya pun beragam. Bahkan ada yang mencapai puluhan juta.
Terus Berinovasi
Komitmen YDBA dalam pengolahan limbah terus berlanjut. Sejak dibina oleh YDBA, Wayang Art tidak hanya fokus pada pembuatan karya seni dari kulit telur, tetapi juga mulai mengembangkan berbagai produk seni lainnya, termasuk dari limbah plastik.
Perjalanan Wayang Art dalam menciptakan karya seni dari limbah plastik dimulai dari keprihatinan terhadap dampak pencemaran plastik di lingkungan. Dwiyono, terinspirasi oleh banyaknya sampah plastik di pantai, memutuskan untuk bereksperimen dengan bahan-bahan tersebut selama tiga bulan.
Eksperimen ini akhirnya menghasilkan karya seni yang indah dan bermakna tanpa menambahkan warna tambahan karena warna plastik itu sendiri menjadi elemen utama dalam karya tersebut.
Sampah plastik yang digunakan Wayang Art diambil dari para pemulung yang bekerja sama dengan mereka. Pemulung diberikan insentif untuk mengumpulkan kantong plastik yang biasanya tidak laku dijual. Hal ini menunjukkan bagaimana Wayang Art tidak hanya berfokus pada menciptakan karya seni, tetapi juga memberdayakan masyarakat yang sering terpinggirkan.
Teguh Joko Dwiyono Dwiyono saat berada di workshopnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (28/9). Validnews/Rheza Alfian
Dengan menggunakan limbah plastik yang dianggap tidak bernilai, Wayang Art membuktikan bahwa material yang dianggap sampah bisa menjadi karya seni yang bernilai tinggi.
Dalam proses pembuatan, plastik-plastik yang dikumpulkan langsung diaplikasikan ke medium tanpa diwarnai lagi. Setiap warna yang muncul berasal dari warna asli plastik tersebut. Ini adalah salah satu daya tarik utama dari karya Wayang Art, di mana hasil akhirnya tampak seperti lukisan yang penuh warna, padahal hanya menggunakan plastik tanpa tambahan apapun.
Salah satu tantangan utama dalam menciptakan karya ini adalah mengedukasi masyarakat bahwa sampah plastik memiliki potensi artistik dan nilai ekonomi yang tinggi jika diolah dengan cara yang kreatif.
Karya-karya yang dihasilkan Wayang Art kini banyak diminati, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga oleh pasar internasional. Salah satu bentuk kolaborasi unik yang dilakukan Wayang Art adalah dengan mengajak berbagai kelompok masyarakat, mulai dari anak-anak TK hingga orang dewasa, untuk belajar bagaimana menciptakan karya seni dari limbah plastik.
Dengan metode yang sederhana, Wayang Art berhasil membuat seni daur ulang ini dapat diakses oleh semua kalangan, terlepas dari latar belakang seni atau pendidikan formal.
"Tidak butuh jiwa seni, tidak butuh pendidikan formal seni, yang penting ada kemauan," kata Dwiyono.
Ia menambahkan, limbah kantong kresek yang tidak ada harganya tadi bisa bernilai sekitar Rp50 ribu jika sudah dijadikan karya. “Kalau masih kantong kresek, mana ada yang mau beli sampah plastik Rp50 ribu?” tanyanya.
Sebagai contoh, Wayang Art pernah melibatkan 490 orang dalam sebuah proyek untuk membuat lukisan bersama-sama menggunakan plastik bekas. Proyek ini tidak hanya menghasilkan karya seni yang luar biasa besar, tetapi juga menjadi bukti bahwa semua orang bisa berkontribusi dalam mengurangi sampah plastik melalui seni.
Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan pemerintah dan komunitas lokal untuk menyebarkan kesadaran tentang pentingnya mengolah sampah plastik.
Keberhasilan Wayang Art dalam mengubah sampah plastik menjadi karya seni juga mencerminkan filosofi yang mereka pegang teguh; jangan meremehkan hal-hal kecil. Sampah plastik, yang sering dianggap tidak bernilai, justru menyimpan potensi luar biasa untuk menjadi sesuatu yang indah dan bermanfaat. Filosofi ini, yang mendasari banyak karya Wayang Art, mendorong mereka untuk terus berinovasi dan memberikan inspirasi kepada banyak orang.
Melalui dukungan YDBA, Wayang Art juga berhasil menjangkau pasar yang lebih luas. Karya-karya mereka sering dipamerkan di berbagai pameran bergengsi, baik di dalam maupun luar negeri.

Salah satu momen penting dalam perjalanan Wayang Art adalah ketika karyanya ditampilkan di Jerman dan Prancis, mewakili Indonesia melalui pameran UMKM yang diselenggarakan oleh Kementerian Perindustrian. Selain itu, YDBA juga berperan penting dalam memperkenalkan produk Wayang Art kepada perusahaan-perusahaan besar seperti Astra, yang sering memesan produk seni untuk dijadikan suvenir atau dekorasi kantor.
Dwiyono mengungkapkan, hingga saat ini, Wayang Art sering mendapatkan pesanan melalui YDBA. Seperti halnya kerja sama dengan Universitas Parahyangan. Dwiyono juga mengaku pernah memberikan pelatihan kepada karyawan-karyawan YDBA. Bahkan, ia mengatakan Wayang Art mengambil limbah plastik dari Astra untuk dijadikan bahan baku lukisan. Menurutnya, ini adalah bentuk komitmen Astra dalam hal pengolahan limbah.
“Sering juga Astra memesan suvernir. Artinya YDBA bantu marketing yang bagus buat Wayang Art. Terus berlanjut dari tahun 2000 sampai sekarang,” katanya.
Komitmen Astra Melalui YDBA
YDBA adalah pelaksana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Astra International Tbk yang didirikan oleh William Soeryadjaya, pendiri Astra, pada 2 Mei 1980.
YDBA merupakan perwujudan dari visi Astra "Sejahtera Bersama Bangsa" serta bentuk komitmen Astra untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa.
Hal ini sejalan dengan nilai pertama dalam filosofi Astra, Catur Dharma, yaitu "Menjadi Aset yang Bermanfaat bagi Bangsa dan Negara." Dalam Astra Strategic Triple Roadmap, YDBA menjadi bagian dari kontribusi publik Astra, khususnya melalui Astra Kreatif yang berfokus pada program kewirausahaan.
YDBA memberikan berbagai program, seperti pelatihan, pendampingan, fasilitasi pemasaran, serta pembiayaan, guna membantu UMKM mencapai kemandirian.
YDBA berupaya mendorong UMKM untuk berkembang dari industri tradisional menuju industri modern melalui Program Sektor Unggulan. Dengan program pelatihan, pendampingan, fasilitasi pemasaran, dan pembiayaan, YDBA berharap UMKM dapat menjadi mandiri, naik kelas, dan berkelanjutan.
Bahkan, hingga Desember 2023, YDBA secara kumulatif telah membina 13.082 UMKM yang melibatkan 74.146 tenaga kerja, menciptakan 262 UMKM mandiri, serta membantu meningkatkan kelas 1.013 UMKM.