c

Selamat

Sabtu, 20 April 2024

EKONOMI

18 Juni 2021

21:00 WIB

Mengkilatnya Bisnis Cokelat Dalam Toples Kaca

Ide berawal dari pengiriman makanan yang kerap ambyar

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Mengkilatnya Bisnis Cokelat Dalam Toples Kaca
Mengkilatnya Bisnis Cokelat Dalam Toples Kaca
CEO Pathi's Chocolade, Fatiya Multazam. Sumberfoto: Ist/dok

JAKARTA – Hambatan bisa dimaknai berbagai hal oleh setiap orang. Bagi pebisnis ulet, hambatan juga bisa digunakan untuk membakar semangat berinovasi. Tak jarang banyak penemuan merupakan jawaban atas sebuah hambatan. Hal serupa dialami Fathiya Multazam.

Bermula dari hambatan yang ditemui saat mewujudkan cita-cita memiliki toko kue, kini bisnisnya semanis panganan yang dijajakan.

Sejak SMA, Fathi, sapaan akrabnya, ingin memiliki toko kue. Impian ini membuatnya kerap menjajal aneka resep. Tak tanggung-tanggung, ia pun berkuliah di Monas Pacific Culinary Academy, Surabaya, sebagai bekal mewujudkan mimpi.

Tak afdol rasanya jika ingin membuat toko kue, namun tidak mencoba membuatnya, lalu dijual ke pasaran. Belum lulus dari kampus, Fathi mulai mengolah aneka tepung, gula dan bahan lainnya, menjadi beragam hidangan, mulai dari jenis tart, pie apel dan lainnya.

Ia pun mencoba memasarkan, dengan target pasar tak jauh dari rumahnya di Kecamatan Waru, Jawa Timur.

Seiring berjalan waktu, ia mulai menerima pesanan dari kota lain. Unggahan foto kue dan cake buatannya membuat sahabat-sahabat yang berdomisili di Yogyakarta dan Bandung tertarik untuk mencicip.

"Akhirnya, saya pernah iseng kirim apple pie ke luar kota, pasti hancur sih. Tapi, pas sampai sana masih enak rasanya," ucapnya di ujung sambungan telepon kepada Validnews, Jakarta, Jumat (4/6).



Ia kemudian berpikir untuk membuat produk yang bisa dikirim ke mana saja, tahan lama dan proses produksi mudah. Dipilihnya dessert cokelat yang dicampur dengan rice crispy dan marshmallow yang disimpan di dalam toples alias jar.

Ide produk itu, Fathi nilai cukup kreatif dan berkesan bagi orang yang pertama kali melihatnya. Apalagi, dia juga mengategorikan produknya masuk dalam ranah 'blue ocean' dan masih tergolong jarang waktu itu.

Pada umumnya, masyarakat mengonsumsi dan menikmati produk cokelat berbentuk koin, praline dan sebagainya. Namun, Pathi’s Chocolade sendiri menyuguhkan cara menikmati cokelat yang unik dalam sebuah botol kaca.

Gadis berusia 24 tahun itu pun menceritakan, proses melahirkan bisnis Pathi’s Choholade terbilang singkat. Proses persiapan hanya memakan waktu dua pekan untuk semuanya, mulai dari menyiapkan bahan baku, jar, trial and error resep, hingga pembuatan rekening baru dan akun marketplace.

"Sejujurnya itu cepet banget untuk persiapan dan launching bisnis. Tapi, alhamdulillah karena mungkin sebelumnya sudah lama trial-error bikin kue jadi bisa cepat," katanya.

Untuk menyiapkan semua produk, dia merogoh kocek Rp2 juta. Itu pun pinjaman dari orangtua.

Niat semula, modal sebanyak itu hanya dibelikan sebanyak 50 jar sebagai bentuk ‘cek ombak’ produk di pasaran. Namun, niat ia urungkan. Ia malah menantang diri sendiri untuk memproduksi 300 jar dan menghabiskan selama tiga bulan selanjutnya.

"Sederhana sih, kalau cuma 50 jar setelah usai akan males untuk lanjutinnya. Ternyata, responsnya cukup baik satu bulan habis terjual dan kurang malah. Alhamdulillah, dari situ saya mulai semangat untuk seriusin bisnisnya," ceritanya.

Penjualan gelombang pertama itu berhasil menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp5–6 juta. Setelah itu, Fathi tetap memproduksi sendiri seluruh permintaan produknya yang saat itu baru tersedia dalam tiga varian rasa; white, dark dan milk chocolate.

Adapun pembeli utama produknya didominasi kalangan wanita berusia 18-24 tahun yang berasal dari sekitar Jabodetabek. Pada 2018–2019, bersama satu pegawainya Fathi stabil memproduksi sekitar ratusan hingga ribuan jar dessert per bulan. Sampai kini, produknya sudah memiliki 15 varian rasa dengan harga Rp28.000–35.000/jar.

Anomali Pandemi
Seperti biasa, penjualan mengalami naik-turun stabil pada selama 2018 hingga sekitar kuartal pertama 2020. Namun kondisinya melonjak drastis pada kuartal kedua, terbukti dari proses produksi yang sekitaran 5.000–7.000 jar menjadi belasan ribu jar.

Fathi menjelaskan, hal itu terjadi lantaran sistem bisnis keagenan yang dimiliki oleh Pathi's Chocolade mengalami permintaan signifikan. Pasalnya, kondisi ekonomi yang gloomy membuat banyak orang butuh pemasukan tambahan kala dirumahkan hingga PHK akibat pagebluk korona.

Bahkan, anggota agen di DKI Jakarta dari satu menjadi tiga; agen Barat, Pusat dan Timur.  Itu diwujudkan Fathi karena banyak permohonan untuk menjadi agen penjualan produknya.

"Mungkin kondisinya orang-orang dirumahkan dan jelas butuh uang, karena rata-rata yang jadi agen kita itu ibu-ibu muda dan anak-anak kuliah. Jadi mereka biasanya kan rajin sharing jualan di sosmed," ujarnya.

Sampai-sampai, Fathi yang sudah lama tidak lagi ikut membantu produksi, mesti turun tangan membantu. Permintaan produk yang membludak juga memaksa Fathi untuk menggemukkan tim utama produksi di Jawa Timur, dari 1 orang langsung menjadi 10 orang.  

Dari jumlah itu, dibagi 4 orang membantu proses produksi. Sisanya dibagi untuk mengatur keuangan, admin media sosial, customer service, desainer, hingga marketing.

Kondisi ini juga memaksa Fathi bersama timnya memindahkan produksinya dari rumah, ke ruang produksinya sendiri. Hingga saat ini, produksinya bertahan stabil di kisaran ribuan jar dengan omzet puluhan hingga ratusan juta per bulannya.  

"Banyaknya (produksi) itu sampai sudah di luar kapasitas kita. Alhamdulillah sekarang produksi (cokelat jar) sekitar 7 sampai 10 ribu jar per bulan, paling sepi ya 5 ribu jar, sudah enggak ratusan seperti di awal-awal," ucapnya.

Produksi Pathi's Chocolade juga masih terpusat di Sidoarjo. Nantinya, hasil produksi itu baru dikirim ke puluhan agen dan reseller di penjuru provinsi dan kota di Indonesia.

Industri cokelat dan variannya di Tanah Air masih terbuka lebar. Organisasi Kakao Internasional atau ICCO mencatat, selama 2015–2019, konsumsi cokelat per kapita di dunia didominasi oleh negara-negara Eropa.

Swiss menempati urutan pertama dengan konsumsi sebanyak 8,8 kg per kapita/tahun, Austria (8,1 kg per kapita/tahun), Jerman (7,9kg per kapita/tahun), Inggris (7,6 kg per kapita/tahun), dan Swedia (6,6 kg per kapita/tahun).

Dibandingkan negara-negara Eropa, konsumsi cokelat di Tanah Air masih lebih sedikit. Studi yang dilakukan oleh Swiss Business Hub Indonesia menyebut, pada 2020 konsumsi cokelat per kapita Indonesia hanya sebanyak 0,53 kg/tahun, dengan pertumbuhan 10% per tahun.

Sementara, konsumsi nasional terhadap cokelat sebanyak 138,42 juta ton cokelat di tahun yang sama.



Terus Pengembangan
Terhadap pengembangan bisnis, Fathi dan tim !merancangkan pengembangan produk dengan berkolaborasi dengan pemengaruh (influencer). Jenis produknya masih dirahasiakan. Yang jelas produknya masih berbasis cokelat.

"Untuk internasional kita memang sempat kepikiran, tapi ya kita masih fokus di dalam negeri. Untuk rencana (ekspor.red) sih selalu ada ya," katanya.

Ia juga akan terus berupaya menjaga relevansi produknya dengan kebutuhan pasar saat ini. Secara bertahap, ia menginginkan produknya bisa dinikmati setiap waktu dan tidak hanya berhenti pada tataran sudah pernah dicoba saja.

Dirinya juga akan mencoba menghindari hype effect terjadi dalam proses bisnis Pathi's Chocolade. Untuk itu, dirinya juga menyediakan produk berbentuk kado hadiah dengan kotak khusus dan hampers yang mafhum dikirim kala momen spesial pada hari raya keagamaan.

Selain lewat platform e-dagang, Pathi's Chocolade juga bekerja sama dengan Dolly Saiki Point, pusat oleh-oleh khas Surabaya untuk mengembangkan ekonomi warga sekitar 'Gang Dolly', yang dulu dikenal sebagai tempat pelacuran terbesar se-Asia Tenggara.

Kini, sembari terus memperkuat eksistensi bisnisnya dengan mengoptimalisasi kekuatan pemasaran di dunia digital yang semakin penting saat ini. Dirinya juga berfokus untuk menjaga citra merek produk pada customer lama dan baru ke depannya.

"Jadi kita enggak bisa klaim bilang brand atau produknya premium begitu saja. Lebih baik tunjukin aja (marketing.red) lewat konten. Jadi orang yang menilai, bukan kita yang kita katakan," jelasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar