c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

12 November 2024

20:00 WIB

Mengejar Sasaran 8% Dengan Andalkan Hijau

Ekonomi hijau memberikan sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain. Meski ada tantangan, ekonomi hijau perlu dilirik untuk mencapai target pertumbuhan 8%.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Mengejar Sasaran 8% Dengan Andalkan Hijau</p>
<p id="isPasted">Mengejar Sasaran 8% Dengan Andalkan Hijau</p>

Teknisi melakukan pemeriksaan panel surya di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakar ta, Jumat (27/9/2024). Antara Foto/Asprilla Dwi Adha

JAKARTA - Pemerintahan Indonesia yang baru dipimpin Presiden Prabowo Subianto bersama pasangannya Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berambisi mencapai target pertumbuhan ekonomi 8%. Angka tersebut dipatok bisa diraih dalam beberapa tahun ke depan, dalam masa jabatan keduanya.

Keduanya dalam beberapa kesempatan sering kali menyebutkan potensi ekonomi hijau untuk mendongkrak target yang kerap dinilai ambisius oleh para pengamat tersebut. Maklum, target disusun di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan tantangan global yang ada.

Menilik dari dokumen program kerja Prabowo-Gibran, keduanya punya ambisi mengupayakan pembangunan dan peningkatan ekonomi negara secara lebih hijau alias ramah lingkungan. Salah satu yang dilakukan yakni akselerasi rencana dekarbonisasi untuk mencapai target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Keduanya juga menargetkan keberlanjutan dan pelestarian lingkungan hidup yang menjadi prioritas utama.

"Oleh karena itu, percepatan pencapaian komitmen terhadap target pembangunan berkelanjutan, termasuk percepatan pencapaian target Net Zero emisi GRK, akan dilaksanakan. Di antaranya mengupayakan penurunan jejak karbon (carbon footprint) dan jejak air (water footprint) untuk berbagai produk. Selain itu, pemanfaatan bioplastik dalam kehidupan sehari-hari perlu diupayakan sesegera mungkin," tulis program kerja Prabowo-Gibran, dikutip pada Senin (11/11).

Menyoal ini, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Vivi Yulaswati mengatakan, rencana pengembangan ekonomi hijau telah disusun pemerintah lewat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

Namun, dengan adanya nakhoda pemerintahan yang baru, ada visi dan target baru yang kemudian dikawinkan dalam rencana pembangunan, khususnya dalam jangka pendek lima tahun.

"Itu sudah diundangkan pakai Undang-Undang 59-2024 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional gitu ya. Kita saat ini sedang menyusun 5 tahunan yang tentunya harus align dengan visi-visi Presiden Prabowo. Jadi tentunya sudah bisa dilihat juga di dalam visi-visi Presiden itu banyak sekali agenda ekonomi hijau juga," kata Vivi kepada Validnews, Rabu (6/11).

Vivi menerangkan, pemerintah sudah mulai merencanakan pengembangan ekonomi hijau mulai dari transisi energi, pengelolaan sampah, ekonomi sirkular, blue carbon, hingga green financing.  

"Karbon kan juga akan didorong menjadi sumber-sumber pertumbuhan juga, jadi tentunya sudah align dengan visi-visi Presiden yang nantinya tentunya akan didetailkan sebagai program dan kegiatan di dalam RPJPN. Nanti RPJPN-nya di awal 2025 mudah-mudahan bisa diperpres-kan," ujar dia.

Dampak Ekonomi Hijau 
Soal penerapan target itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengimbau pemerintah perlu memanfaatkan sumber pertumbuhan baru, baik secara geografis maupun sektoral. Dia menjelaskan, secara sektoral, ekonomi hijau memberikan sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dalam jangka menengah dan panjang.

"Dalam jangka menengah, saya yakin ekonomi hijau lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Dalam jangka panjang, ekonomi hijau tetap memberikan dampak signifikan ke ekonomi dan sosial. Ada jutaan tenaga kerja yang terserap dari praktik ekonomi hijau," ucapnya kepada Validnews, Sabtu (9/11).

Dia menilai, panel surya di Indonesia bisa berkembang jika pemerintah serius mengembangkan industri panel surya.  

Mengutip studi CELIOS dan Greenpeace Indonesia, transisi ke ekonomi hijau diperkirakan dapat memberikan dampak hingga Rp4.376 triliun ke output ekonomi nasional. Peralihan ini juga diprediksi memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp2.943 triliun dalam 10 tahun ke depan, atau setara 14,3% PDB Indonesia pada 2024.

Efek berganda ekonomi hijau dari sisi PDB juga dinilai jauh melebihi struktur ekonomi saat ini yang masih bergantung pada sektor industri ekstraktif, salah satunya pertambangan.

Studi ini juga menemukan dampak positif ekonomi hijau terhadap PDB ini turut meningkatkan jumlah lapangan kerja dan pendapatan pekerja. Semuanya dinilai akan optimal dengan ekonomi hijau.  

Misalnya, peralihan ke ekonomi berkelanjutan diramal mampu membuka hingga 19,4 juta lapangan kerja baru yang muncul dari berbagai sektor yang berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan, pertanian, kehutanan, perikanan dan jenis-jenis industri ramah lingkungan lainnya. Sementara itu, pendapatan pekerja secara total dapat bertambah hingga Rp902,2 triliun berkat transformasi ini.

Pelaku usaha pun diuntungkan dengan peralihan ke ekonomi hijau berkat munculnya berbagai industri baru di sektor ekonomi sirkular dan transisi energi. Surplus usaha nasional dari transisi ekonomi hijau diprediksi menembus Rp1.517 triliun dalam 10 tahun transisi dilakukan.

Hasil studi tersebut juga menemukan bahwa ekonomi hijau mampu mempersempit ketimpangan pendapatan antarprovinsi di Indonesia. Indeks Williamson Indonesia diperkirakan dapat turun ke angka 0,65 di tahun ke-10 transisi ekonomi hijau dari 0,74 di tahun pertama transisi.

Tak hanya masyarakat dan pelaku usaha, negara pun dapat meraih manfaat dari ekonomi hijau. Pajak bersih atau penerimaan pajak setelah dikurangi oleh subsidi dari ekonomi hijau dapat menyumbang Rp80 triliun dari sebelumnya Rp34,8 triliun, yang berasal dari ekonomi ekstraktif.

Sektor-Sektor Pendukung 
Bappenas melihat ada banyak sektor ekonomi hijau di Indonesia yang bisa mendukung pertumbuhan ekonomi 8%. Vivi menyebutkan, pemerintah tengah berfokus pada diversifikasi sektor ekonomi, terutama dengan memperkuat sektor manufaktur, digitalisasi, dan ekonomi hijau.

Sektor-sektor ini dinilai bisa menjadi pendorong pertumbuhan yang signifikan, misalnya pengembangan sektor energi terbarukan yang juga menjadi bagian dari upaya diversifikasi yang mendukung ketahanan ekonomi jangka panjang.

"Kalau dari sektor-sektornya kan cukup banyak, misalnya karena industri sekarang sudah berkembang juga yang industri hijau. Misalnya di semen. Semen juga sekarang sudah banyak yang pakai RDF, jadi dia bisa ngurangin sampah, ngurangin emisinya, kemudian juga membuat semennya jadi lebih sustainable," sebut Vivi.

RDF atau Refuse Derived Fuel yang mengonversi sampah menjadi bahan bakar alternatif untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.

Sektor lainnya adalah pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular yang mengubah sampah menjadi eco brick ataupun eco wood untuk mengurangi emisi. Kemudian, yang tentunya paling terlihat kontribusinya adalah transportasi. Vivi mengatakan pemerintah bertekad untuk mempercepat pemakaian kendaraan listrik berbasis baterai di antaranya dengan membuat kebijakan insentif hingga komitmen produksi lokal.

Hasilnya, kini penggunaan kendaraan listrik menjadi tren di kalangan masyarakat dengan semakin bertambahnya jumlah kendaraan berbasis listrik di jalan-jalan utama kota besar Indonesia. Menurutnya, hal ini membuktikan masyarakat juga mulai menyadari dampak penggunaan kendaraan konvensional, sehingga memilih untuk mengurangi emisi karbon dengan memakai kendaraan listrik.

"Sekarang sudah mulai banyak ya EV yang bisa mengurangi emisi, dan tentunya tanpa kita berhenti dari sisi pembangunannya, jadi tentunya harapannya tetap tumbuh tetapi lebih bersih atau lebih hijau tadi," ucapnya.

Senada, Huda juga menilai beberapa sektor ekonomi hijau bisa menyumbang pertumbuhan ekonomi 8%. Di antaranya, sektor pariwisata dengan ekonomi hijau dan ekonomi birunya. 

Lalu, sektor wisata alam atau laut yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Jika dikembangkan, Huda yakin keduanya mempunyai dampak yang sangat bagus bagi ekonomi.

Terakhir, adalah energi baru terbarukan. Huda menilai sumber energi baru terbarukan di Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan. Untuk itu, ia mengimbau agar industri tersebut harus didorong untuk bisa menggunakan energi baru terbarukan yang lebih bersih.

Penerapan Industri Hijau Di Indonesia
BPS mencatat, struktur perekonomian Indonesia masih didominasi oleh Lapangan Usaha Industri Pengolahan. Pada Kuartal III/2024, Industri pengolahan memberikan sumbangsih 19,02%, diikuti Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 13,71%; Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor sebesar 13,09%; Konstruksi sebesar 10,06%; serta Pertambangan dan Penggalian sebesar 9,06%. Peranan kelima lapangan usaha tersebut dalam perekonomian Indonesia mencapai 64,94%.

Mencermati ini, Kementerian Perindustrian melakukan upaya untuk mendukung penerapan ekonomi hijau dalam bidang industri yaitu dengan memantau dan mengatur penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Kepada Validnews, Kepala Pusat Industri Hijau Kemenperin, Apit P. Nugraha mengatakan, dalam pengurangan emisi GRK, pihaknya telah menetapkan 9 Sub Sektor Industri Prioritas, yaitu Semen, Pupuk, Pulp dan Kertas, Besi dan Baja, Kimia, Tekstil, Keramik dan Kaca, Makanan dan Minuman, serta Alat Angkut.

"Seluruh sub sektor ini merupakan penghasil emisi terbesar di sektor industri, sehingga dalam upaya pencapaian target emisi GRK maka fokus utama adalah mengurangi emisi pada 9 sub sektor industri tersebut," kata Apit, Senin (11/11).

Apit menuturkan, berdasarkan hasil inventarisasi data emisi GRK untuk Industri Semen dan Pupuk, dari sumber emisi IPPU didapatkan total pengurangan emisi GRK dari kedua sub sektor industri tersebut sebesar 6,8 Juta Ton CO2eq. Adapun target pengurangan emisi dari IPPU untuk kedua sub sektor tersebut adalah 6,7 Juta Ton CO2eq. Kemenperin meyakini target untuk kedua sub sektor tersebut telah tercapai.

Pemerintah pun, kata Apit, kini tengah memberikan dorongan kepada para pelaku Industri atau pengusaha agar tertarik untuk berpindah ke prinsip industri hijau. Yakni dengan memberikan insentif atau dorongan kepada perusahaan yang telah beralih menjadi perusahaan industri hijau. Ada beberapa langkah yang dinilai penting.

Pertama, terkait pengadaan berkelanjutan bagi pengadaan barang jasa pemerintah (sustainable public procurement). Melalui skema ini, pihaknya berharap dapat menumbuhkan pasar sendiri bagi produk-produk yang sudah bersertifikat industri hijau.

Kedua, dengan diperhitungkannya sertifikat industri hijau dalam perhitungan Tingkat Komponen Dalam negeri (TKDN), untuk penilaian Bobot Manfaat Perusahaan (BMP). 

"Selain kedua pendekatan tersebut, saat ini juga sedang dibahas potensi pemberian insentif berdasarkan pengurangan emisi, sehingga perusahaan industri terdorong untuk menurunkan emisinya serendah mungkin," imbuhnya.

Tantangan Investasi
Meski transisi ke arah ekonomi hijau cukup menjanjikan Vivi mengatakan investasi menjadi tantangan yang harus dihadapi. Ia mencontohkan, untuk pengalihan teknologi menuju energi terbarukan Indonesia membutuhkan banyak investasi.  

Hitung-hitungan Bappenas, jika Indonesia ingin bergerak di ekonomi hijau, rata-rata per tahun, yakni dari tahun 2025 hingga 2060, dibutuhkan setidaknya dana sebesar US$5,6 miliar per tahunnya.

"Dan tentunya ini bukan cuma dari APBN, tetapi juga tadi private funding, kemudian juga investment global, yang tentunya ini semua bisa menggerakkan ekonomi hijau," sebut dia.

Angka ini menurut Vivi diperkirakan akan semakin membesar setiap tahunnya. Senada, Apit juga rupanya melihat investasi masih menjadi salah satu tantangan terbesar pengembangan ekonomi hijau. Menurutnya, kendala yang sering dihadapi industri, salah satunya kebutuhan akan investasi untuk menerapkan teknologi yang rendah karbon.

"Belum banyak pendanaan yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan industri untuk menerapkan prinsip industri hijau," sebut dia.

Selain itu, kemampuan sumber daya manusia untuk dapat menerapkan industri hijau juga dinilai masih rendah. Di sisi lain, market demand juga masih menjadi salah satu kendala dalam penerapan industri hijau.

Agar transisi ke ekonomi hijau dapat berjalan dengan baik, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan perlu ada pendanaan dari pemerintah maupun swasta yang mampu mendorong pelaku usaha untuk beralih ke sektor industri berkelanjutan. Pemerintah bisa mengalihkan insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang ke sektor industri berkelanjutan, menerapkan pajak produksi batu bara dan pajak windfall profit, serta mengelola dana abadi yang berasal dari pendapatan sumber daya alam (SDA).

“Pemerintah juga harus segera menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil," kata Bhima.

Bhima menekankan, pihak swasta pun dapat berperan dalam pendanaan ekonomi hijau. Pelaku jasa perbankan dapat mengalihkan porsi kredit perbankan di sektor pertambangan, penggalian dan migas ke sektor industri berkelanjutan. Sementara itu, perusahaan di pasar modal pun dapat mengoptimalkan dana publik di pasar modal untuk mendorong pembiayaan ekonomi hijau melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO).

Ancaman Greenflation?
Di sisi lain, adanya transisi ke arah yang lebih hijau sering kali dikaitkan dengan greenflation. Greenflation atau inflasi hijau merupakan singkatan dari dua kata, yakni green (hijau) dan inflation (inflasi), yang berarti kenaikan tajam harga bahan baku dan energi sebagai bagian dari transisi menuju penggunaan energi ramah lingkungan.

Ungkapan greenflation mencerminkan pengertian bahwa kenaikan harga dapat bersifat jangka panjang, seiring dengan upaya negara-negara untuk memenuhi komitmen lingkungan mereka. Meningkatnya pengeluaran untuk teknologi bebas karbon menyebabkan kenaikan harga bahan-bahan yang strategis untuk infrastruktur tersebut.

Sementara itu, intensifikasi peraturan lingkungan hidup yang membatasi investasi pada proyek pertambangan yang berpolusi tinggi juga membatasi pasokan bahan baku. Pembatasan ini juga mengakibatkan kenaikan harga. Oleh karena itu, transisi hijau menjadi lebih mahal karena penerapannya lebih luas oleh berbagai negara.

Vivi meyakini, di Indonesia, dengan adanya dorongan global yang cukup besar terhadap konsumen, kini membuat harga-harga dari upaya ekonomi hijau tidak menimbulkan greenflation

"Jadi misalnya solar cell, sekarang itu udah jauh lebih murah ketimbang yang generasi sebelumnya," ujarnya.

Vivi menuturkan, greenflation itu terjadi manakala industri harus beralih kepada sumber hijau dengan harga yang lebih mahal. Sehingga banyak yang menaikkan price value chain dengan implikasi ada berbagai sektor yang harus berubah menjadi lebih green.

"Tapi, ternyata dari sini teknologi karena sekarang kita growing ya, ternyata tren yang tadi renewable aja turun harganya. Justru sampai saat ini belum ada tanda-tanda buat greenflation, karena kita juga bertahap ya," katanya, meyakinkan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar