c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

22 Mei 2021

17:35 WIB

Mengasah Taji Korporasi Desa

10.026 BUMDes bertahan di tengah pandemi covid-19 karena mengantisipasi perubahan

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Zsasya Senorita,Fitriana Monica Sari,

Editor: Fin Harini

Mengasah Taji Korporasi Desa
Mengasah Taji Korporasi Desa
Pantai Minanga, Gorontalo Utara, Gorontalo, Senin (17/8/2020) yang dikelola oleh BUMDes mulai ramai dikunjungi wisatawan. ANTARA FOTO/Dok

JAKARTA – Efek pandemi pada tatanan ekonomi Indonesia dirasakan meluas hingga pelosok desa. Tak hanya perusahaan besar yang tumbang, BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa turut berjatuhan.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengemukakan, jumlah BUMDes yang terpantau aktif bertransaksi hingga Juni 2020 ada 10.026 unit. Padahal dalam kurun waktu tersebut, kementerian mencatat BUMDes di Indonesia sudah terbentuk sebanyak 51.000 unit dari 74.953 desa se-Indonesia. Artinya, ada sekitar 40.000 BUMDes yang sedang mati suri akibat perebakan covid-19.

Sementara sebelum pandemi melanda, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mendata, ada sekitar 37.000 BUMDes yang masih tercatat menjalankan usaha atau terlacak transaksi ekonominya.

“Memang terjadi penurunan yang luar biasa, tapi masih ada BUMDes yang melakukan kegiatan perekonomian meski dalam keadaan yang sangat sulit karena pandemi,” ujar pria yang kerap disapa Gus Menteri ini pertengahan tahun lalu, dikutip dari Antara.

Ia menjelaskan, 10.026 BUMDes yang bertahan di tengah pandemi covid-19 merupakan badan usaha yang berdiri atas dasar inisiatif masyarakat yang telah melalui telaah ekonomi dan bisnis. Alias, menyesuaikan tingkat kebutuhan masyarakat. Berbeda dengan BUMDes hasil program pemerintah kabupaten, yang Gus Menteri nilai cenderung tidak mampu bertahan.

BUMDes yang mati suri juga dikabarkan, mayoritas bergerak di bidang pariwisata dan produksi. Sementara, yang masih bertahan di antaranya adalah usaha jasa keuangan, serta pembayaran listrik dan air.

Kemendes PDTT pun menargetkan untuk merevitalisasi 27.000 BUMDes. Setidaknya, ini mengembalikan jumlah BUMDes yang aktif bertransaksi ke angka sebelum pandemi. Namun hingga berita ini ditayangkan, pihak Kemendes PDTT belum ada yang bisa memberikan keterangan terkait realisasi upaya revitalisasi tersebut.

Merujuk data yang berhasil dirangkum Validnews secara parsial, pertumbuhan pembentukan BUMdes dalam kurun 2015–2020 sejatinya menunjukkan pergerakan positif. Dengan jumlah yang bertambah, mulai dari 11.945 unit pada 2015 menjadi 51.000 unit pada pertengahan 2020. 

Namun pada Februari 2021, Direktur Pengembangan Usaha Ekonomi Desa (PUED) Ditjen PPMD Kemendes PDTT Nugroho Setijo Negoro menyebutkan, BUMDes yang terdaftar menurut data kementerian ada 41.506. Artinya terhitung turun sekitar 10.000 unit dari jumlah yang disebutkan Gus Menteri pertengahan 2020 lalu. Itu pun belum bisa dideteksi jumlah BUMDes yang masih aktif bertransaksi dan mati suri.

Direktur Bhuana Utama Desa Panji yakni Edy Susena, yang merupakan salah satu BUMDes di Bali, mengamini fenomena ini. Banyak BUMDes terdampak pandemi dikarenakan utamanya bergerak di bidang simpan pinjam.

“Banyak nasabah minta kebijakan untuk bayar bunga dan perputaran uang jadi bermasalah. Tetapi, ada juga beberapa BUMDes malah mengalami peningkatan saat pandemi dikarenakan unit yang dikelola adalah perdagangan sembako,” terangnya kepada Validnews, Kamis (20/5).

Perkembangan Bisnis Milik Desa
Edy menilai, sebelum pandemi BUMDes di Bali tumbuh baik. Tapi, ada satu, dua yang bermasalah. Dalam mengembangkan bisnisnya, sambung dia, kebanyakan BUMDes membuat inisiasi sendiri, tanpa banyak pendampingan dari pemerintah pusat, daerah, maupun desa. Dinas dan pendamping desa hanya mengawasi atau menjalankan fungsi monitoring, dan itu pun dinilai belum maksimal karena wilayah yang terlalu luas tak sebanding dengan kemampuan SDM pendamping.

“Ada juga BUMDes yang kurang menggali potensi desa, kebanyakan dari mereka cenderung mengikuti BUMDes lain, kemudian belum maksimalnya pendampingan terhadap BUMDes,” sambung Edy.

Di Semarang ada kondisi berbeda. Tenaga Ahli Pengembangan Ekonomi Desa (PED) Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermasdes) Kabupaten Semarang Enita Fatmawati, pertumbuhan BUMDes di wilayahnya tidak terpengaruh pandemi. Pasalnya pembentukan BUMDes sudah masuk dalam perencanaan strategis desa yang disepakati bersama

“Sehingga kalau mungkin ada BUMDes yang terbentur pandemi terganggu secara operasi, karena mungkin dari sedikit penyertaan modal. Apalagi tahun 2020 banyak alokasi untuk penanganan covid-19, bantuan-bantuan tunai,” jelas Enita pada Jumat (21/5).

Di sisi lain, penyusutan anggaran terjadi meskipun Menteri Desa dan PDTT telah mengungkapkan seharusnya Dana Desa tidak terlalu tergerus. Karena, perhitungan Kemendes PDTT, restrukturisasia anggaran Dana Desa untuk covid-19 tidak lebih dari 8%. Kemudian untuk BLT tidak lebih dari 20%. Selebihnya, desa bisa menggunakan untuk pembiayaan infrastruktur dengan menggunakan pola padat karya tunai desa (PKTD).

Untuk mendorong pengembangan bisnis BUMDes, Enita menerangkan, pemerintah dan berbagai pihak telah melakukan pembinaan, pengawasan, dan pendamping profesional. Dengan mengklasifikasikan BUMDes pada tingkat dasar, tumbuh, dan berkembang.

Enita juga mengungkapkan baru sebagian BUMDes di Kabupaten Semarang tertib mengirimkan laporan keuangannya kepada pemerintah daerah sebagai pertanggungjawaban mereka. Namun, tak sedikit yang tidak melakukan hal itu. Kemampuan menyusun laporan pembukuan sesuai standar masih menjadi kendala.

Beberapa BUMDes baru memiliki pencatatan-pencatatan sederhana.

Salah Kelola
Paparan Enita diungkap pula oleh pengamat ekonomi dari Universitas Surakarta Agus Trihatmoko. Dia menyebutkan kendala yang menghalangi kesuksesan dan pertumbuhan BUMDes masih kompleks. Mulai dari kualitas sumber daya manusia yang kurang kompeten hingga tata kelola usaha yang belum rapi dan efektif. Ditambah lagi, tidak adanya pengawasan ketat terhadap kinerja BUMDes.

“Kita tahu di desa, kades itu dipilih oleh warga. Kurang lebih seperti politik juga sehingga kepengurusan BUMDes secara korporasi, dewan pengawas dan direkturnya, bisa jadi belum tentu terpilih orang yang kompeten di bidang bisnis sehingga BUMDes itu hanya sekedar dibentuk,” papar Agus kepada Validnews, Kamis (20/5).

Integritas pemilihan pengelola BUMDes, lanjut Agus Trihatmoko, merupakan hal penting karena ada uang ‘bersama’ di sana. Baik itu uang negara dari Dana Desa maupun dana kolektif dari warga desa.

Ia menyarankan pemerintah mulai menegakkan pengawasan ini dengan membentuk tim khusus untuk mendampingi BUMDes. Sebab bila seluruh aset BUMDes se-Indonesia dikumpulkan, Agus memperkirakan jumlahnya bisa mencapai puluhan triliun.

“Bisa jadi uang Dana Desa yang sudah tersalur ke sana dari sekian tahun ini sudah hampir Rp500 juta atau bahkan Rp1 miliar, tapi itu belum dioperasikan,” sambungnya.

Di sisi lain, Agus menilai, mayoritas pembangunan BUMDes saat ini masih bersifat formalitas saja. Lantaran jumlah BUMDes yang benar-benar bisa beroperasi terlampau sedikit, meski pembentukan badan usahanya sudah dilakukan masif hampir di seluruh desa di Tanah Air.  

Padahal keberadaan BUMDes sejatinya bertujuan menciptakan pemerataan kesejahteraan. Bahkan, Menteri Desa dan PDTT kerap kali menyampaikan bahwa kunci pembangunan Indonesia itu ada di desa.

Ia menambahkan, salah satu ukuran kesuksesan pembangunan daerah adalah menurunnya secara signifikan angka kemiskinan. Dengan pemahaman, tingkat kemiskinan di tingkat kabupaten akan ikut turun bila kemiskinan di desa menurun.

Soal proses pemilihan pejabat BUMDes, Edy mengatakan hal berbeda. Menurutnya, pemilihan pelaksana operasional BUMDes dilakukan berdasarkan tes kompetensi di desa, melalui Panitia Seleksi Penerimaan Ketua, Sekretaris, dan Bendahara BUMDes yang dibentuk oleh Pemerintah Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ia menegaskan bahwa prosedur tersebut sesuai dengan standarisasi Kemendes PDTT.


Optimisme
Meski banyak fakta menunjukkan rapor merah BUMDes untuk saat ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) masih menunjukkan optimismenya terhadap perusahaan milik desa sebagai kontributor perekonomian lokal.

“BUMDes akan memberikan kontribusi terhadap ekonomi lokal,” kata Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti kepada Validnews di Jakarta, Kamis (20/5).

Pertanian, peternakan, simpan pinjam, kredit usaha mikro, perkebunan, hingga wisata dinilai masih bisa diandalkan sebagai sektor usaha. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kesemuanya masih tumbuh positif dan bertahan di masa pandemi hingga kuartal I 2021. Ketahanan sektor tersebut sudah terbukti sejak kuartal II 2020.

Amalia menuturkan, BUMDes juga akan mendorong perekonomian yang inklusif. Lebih dari itu, secara tidak langsung juga dapat mengentaskan kemiskinan dan menciptakan pemerataan ekonomi yang lebih baik di tingkat desa.

“Jadi, peranan BUMDes lebih pada mendorong perekonomian yang lebih inklusif,” tandasnya.

Sebagai praktisi pada badan usaha milik desa, Direktur BUMDes Bhuana Utama Desa Panji, Edy Susena punya optimisme sama. Hal ini juga menunjukkan optimisme sama. Ia yakin BUMDes bisa menekan urbanisasi apabila ada keseriusan dalam pengelolaan. 

BUMDes bukan saja memerlukan internal pengelolaan yang baik. Pendampingan pemerintah desa, dinas kabupaten sampai provinsi, sampai ke pemerintah pusat dinilai sebagai faktor pendukung yang wajib ada.

Untuk lebih sukses, Agus Trihatmoko menyarankan agar BUMDes berafiliasi dengan perusahaan lain hingga membentuk bisnis yang lebih tangguh dan menyerap lebih banyak tenaga kerja, sehingga ada implikasi positif menekan urbanisasi dan jumlah pengangguran.

“Oleh sebab itu, orientasi BUMDes ini tidak hanya masalah dagang, jadi produksi sehingga barang-barang itu nanti yang dilempar ke kota, ke pasar yang lebih jauh, jadi di sana akan menyerap,” ujarnya.

Diyakini pula, bisnis manufaktur akan menyerap banyak tenaga kerja. Belum lagi potensi desa dari sektor industri kreatif, kerajinan, pertanian, perikanan, hingga daging yang Agus nilai masih belum dikembangkan maksimal.

“Kenapa kita tidak bisa mandiri di sektor pangan? Karena di bawahnya (tingkat desa) mulai rapuh, ini kalau dikelola BUMDes akan bagus sekali,” pungkasnya. 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar