c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

28 November 2023

21:00 WIB

Meneroka Pengawasan Etika Berbisnis

Perilaku berusaha minim etika sejatinya menimbulkan kerugian kepada negara, masyarakat dan konsumen, bahkan pengusaha itu sendiri.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

Meneroka Pengawasan Etika Berbisnis
Meneroka Pengawasan Etika Berbisnis
Ilustrasi etika bisnis. Shutterstock/Dmitry Demidovich

JAKARTA - Perilaku rakus pengusaha yang mengabaikan etika berbisnis atau bahkan tidak tanggung-tanggung menerobos pintu hukum tentu bukan cerita baru. Tindakan semacam itu tentu mendatangkan kerugian. Biasanya, konsumen, masyarakat luas, hingga negara pun menjadi korban.

Kita mengenal korupsi, kolusi, nepotisme alias KKN. Di dunia bisnis, ketiganya juga terjadi, hanya saja dikenal dengan istilah berbeda. Seperti halnya, persekongkolan, praktik monopoli, oligopoli, kartel.

Masih ingat kericuhan karena minyak goreng tahun 2022? Tempo itu, harga minyak goreng melambung, terjadi kelangkaan. Kemudian pemerintah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET), namun dilanggar pengusaha minyak goreng. 

Perilaku lancung, seperti kolusi dan persekongkolan terjadi di sesama produsen minyak goreng. Di antaranya untuk mengendalikan produksi dan harga. Ada unsur 'perjanjian' baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengikat pelaku usaha.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai tindakan tersebut bernuansa praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU pun menyeret kasus kartel minyak goreng tersebut ke meja hijau.

Melalui amar putusan Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022, KPPU menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp71,28 miliar pada 7 pengusaha yang secara sah dan meyakinkan terbukti melanggar UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketua KPPU Afif Hasbullah mengatakan, perkara kartel minyak goreng menjadi kasus terbesar yang ditangani pihaknya. Kejahatan itu menggeser kasus kartel SMS (short message service) yang dilakukan pengusaha bidang telekomunikasi pada 2007.

"Selama ini, kasus kartel SMS tahun 2007 adalah kasus paling besar karena mengakibatkan kerugian masyarakat mencapai Rp2,8 triliun. Namun dalam lima tahun terakhir, perkara kartel minyak goreng 2023 menjadi kasus terbesar," ujarnya kepada Validnews, Kamis (23/11).

Afif bercerita bagaimana kongkalikong itu berimbas ke  masyarakat. Sedikitnya ada dua dampak negatif, yaitu consumer loss, masyarakat membayar harga produk atau jasa yang lebih tinggi dari harga wajar.

Kemudian, deadweight loss, masyarakat kesulitan mengakses ketersediaan produk atau jasa, kehilangan kualitas yang bersaing, serta layanan alias servis dari pengusaha.

Dia mengatakan, consumer loss untuk perilaku kartel diukur dengan selisih harga tersebut. Pada kasus kartel SMS 2007, consumer loss mencapai Rp2,8 triliun. Ini baru kerugian dari selisih harga yang harus dibayar masyarakat. 

Belum soal peluang kerugian yang timbul, misalnya akibat keterbatasan kuota karena mahal, masyarakat tidak bisa mengirimkan SMS untuk keperluan bisnis atau yang lain. 

Lalu, kasus kartel industri farmasi pada 2010, kerugian konsumen mencapai Rp690 miliar.

"Dalam kasus persekongkolan tender, KPPU menangani total nilai proyek terkait pengadaan sekitar Rp5,9 triliun. Artinya, KPPU mencegah adanya kerugian negara dari total nilai pengadaan tersebut," tambahnya.

Pemantik Pebisnis Tak Jalankan Etika
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) tak memungkiri banyak pelaku usaha yang mengabaikan etika bisnis. Contohnya, melakukan suap, memberikan atau menerima gratifikasi, terlibat praktik KKN, hingga pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI).

Yang juga kian mengemuka, adalah duplikasi dan modifikasi produk tanpa izin. Kasus pemalsuan barang bermerek yang merugikan negara kian marak. 

"Data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual tahun 2021 mencatat, kasus pemalsuan produk justru terus naik sejak 2015 yang diduga merugikan negara hingga Rp291 triliun, dari penerimaan pajak di tahun 2020," kata Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani kepada Validnews, Kamis (23/11).

Serupa, Sekretaris Jenderal BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira mengakui, pelaksanaan etika bisnis di Indonesia masih kerap tak ideal. Hal ini disebabkan pebisnis terlalu fokus meraup keuntungan, sehingga melupakan etika.

Dia menyebutkan, beberapa pelanggaran etika bisnis yang sering terjadi di Indonesia, antara lain praktik korupsi, manipulasi laporan keuangan, dan tidak mematuhi standar lingkungan.

"Ada tantangan pelaksanaan etika bisnis di Indonesia, dengan beberapa pebisnis mungkin lebih fokus pada tujuan finansial," ujarnya kepada Validnews, Rabu (22/11).

Bukannya tanpa alasan, Anggawira menilai para pelaku usaha kerap ‘terpaksa’ memutuskan untuk bermain kotor. Salah satunya karena tekanan persaingan yang tinggi. 

Menurutnya, persaingan bisa membuat pengusaha goyah, sehingga mengabaikan etika berbisnis.

"Pelaksanaan etika bisnis di lapangan bisa menjadi menantang karena adanya tekanan persaingan yang tinggi," ucapnya.

Pengamat sekaligus Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali pun berpikir demikian. Menurutnya, persaingan usaha saat ini sangat liar dan bisa datang dari berbagai penjuru.

Ditambah lagi, ada perlakuan yang berbeda antara pemain lokal dengan asing. Dia menilai pengusaha lokal sangat kewalahan menghadapi asing yang justru disambut istimewa oleh para regulator dan pengawas.

Rhenald mengutarakan, pemain lokal sempat ‘berdarah-darah’ menghadapi perusahaan besar yang terkesan "membakar uang" untuk menggencarkan pemasaran produk. Lalu ditambah dengan persaingan karena banjir produk impor di pasar domestik.

Dia mengibaratkan perusahaan kosmetik lokal dikejar-kejar Ditjen Pajak (DJP), perizinan, sertifikat halal. Sementara barang impor dari China, dia menduga sebagian besar tidak bayar pajak, bea masuk, perizinan atau pemeriksaan kualitas sebagaimana yang dituntut kepada pemain lokal.

Kelakuan aparat yang seperti itu menurut Rhenald, berkontribusi besar menimbulkan persaingan usaha yang kurang etis. Dia juga khawatir belakangan ini banyak pelaku usaha yang melakukan pencurian data di dunia maya karena haus membaca perilaku konsumen.

"Hari-hari ini, pasar Indonesia menjadi rebutan beragam pihak dan itu membuat mereka yang menjalankan praktik bisnis dengan benar menjadi kesulitan. Persaingan dapat dikatakan sangat wild dan datang dari beragam penjuru," tutur Rhenald kepada Validnews (25/11).

Jika dibiarkan, persaingan bisnis tidak sehat akan berdampak buruk ke sesama pelaku usaha.  

Dampak negatif itu juga mengalir ke masyarakat selaku konsumen produk dan jasa yang ditawarkan pengusaha.

Shinta mengakui, persaingan usaha tidak sehat seperti perang harga, praktik bisnis yang mengurangi margin keuntungan, ujungnya membuat pelaku usaha otomatis mengurangi kualitas barang atau memangkas biaya produksi. Akibatnya, kualitas barang dan jasa tak lagi bagus.  

Lebih jauh lagi, praktik monopoli atau klaim barang yang menyesatkan. Hal tersebut bisa menyebabkan barang atau layanan kepada konsumen tidak aman atau safety.

"Di sini jelas konsumen jadi korban, mengalami kerugian finansial dan tidak puas," kata Shinta.

Jika tidak ada etika di "hutan rimba" usaha,  pengusaha bisa mengeluarkan ongkos bisnis lebih besar. Contohnya, membayar pungutan liar alias pungli dengan harga tinggi yang sudah ditetapkan pelaku usaha lain.

Anggawira juga berpersepsi,  pelanggaran etika bisnis berkonsekuensi biaya tinggi ketimbang keuntungan yang didapat pelaku usaha. Jika kedapatan curang, pengusaha harus melakukan perbaikan reputasi, menempuh jalur hukum, atau bahkan membayar sanksi administratif yang tak murah.

Sementara Rhenald menyebut persaingan bisnis tidak sehat bisa mencoreng rasa percaya konsumen kepada aparat dan birokrasi. Selain itu, persaingan tidak sehat membuat industri dalam negeri cenderung tak tertarik melakukan ekspansi.  

Rhenald juga sepakat dengan dua asosiasi pengusaha, persaingan usaha yang tidak etis juga lekat dengan praktik korupsi dan melakukan pungutan liar alias pungli.

Pelanggaran Etika Bisnis Terbanyak
Terhadap beragam kecurangan tersebut, Ketua KPPU Afif Hasbullah merincikan empat jenis pelanggaran etika bisnis yang dilakukan perusahaan dalam lima tahun terakhir. Keempatnya diurutkan berdasarkan perkara yang sudah diputus oleh KPPU.

Itu terdiri dari pelanggaran keterlambatan notifikasi merger dan akuisisi sebanyak 45 perkara (42,48%). Diikuti oleh perkara persekongkolan tender sebanyak 40 perkara (38,1%), non-tender 13 perkara (12,4%), dan perkara kemitraan UMKM sebanyak 7 perkara (6,7%).

"Dalam lima tahun terakhir, sebagian besar perkara yang diputus KPPU merupakan pelanggaran keterlambatan notifikasi merger dan akuisisi," ungkap Ketua KPPU.

Afif menjelaskan KPPU akan mengenakan sanksi kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran. Sanksi berupa denda paling sedikit Rp1 miliar sebagai denda dasar, serta tindakan lain berupa perintah ataupun pembayaran ganti rugi.

KPPU dapat mengenakan denda paling banyak 50% dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan, selama kurun terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang; atau paling banyak 10% dari total penjualan pada Pasar Bersangkutan, selama kurun terjadinya pelanggaran terhadap Undang-undang.

Sayangnya, Afif mengakui, sanksi kerap tak dipatuhi juga, Dia menuturkan, masih banyak pelaku usaha yang kabur-kaburan dan tidak menjalankan sanksi administratif. 

"Perusahaan tidak jarang 'membandel' dan tidak menjalankan sanksi KPPU, karena daya eksekusi yang masih terbatas," ucapnya.

Kendati demikian, Afif mengklaim terjadi tren peningkatan kepatuhan pelaku usaha dalam lima tahun terakhir. Dia menyebutkan pada 2018 kepatuhan berada di angka 41,2%, lalu naik menjadi 48,2% pada 2023.

Dia menjelaskan pengukuran kepatuhan pelaku usaha didapatkan dari perbandingan antara jumlah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan jumlah putusan yang belum dilaksanakan.

"Untuk meningkatkan kepatuhan atas putusan tersebut, KPPU terus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan untuk efektifitas eksekusi dendanya," terang Afif. 

Afif juga menyitir,  ASEAN memiliki Competition Business Perception Index sebagai tolok ukur perspektif pebisnis atas persaingan usaha dengan kepatuhan (compliance) sebagai salah satu objek penilaian.

"Dari survei terakhir pada 2019, tingkat compliance pebisnis di Indonesia berada setelah (di bawah) Singapura dan Filipina," ucap Afif.

Upaya pencegahan juga dilakukan kalangan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menekankan pelaku usaha harus menjunjung aspek legal compliance dan good corporate governance dalam bersaing.

Legal compliance berarti mematuhi regulasi dan undang-undang yang berlaku dalam mengoperasikan bisnis. Sementara itu, good corporate governance berarti menjalankan tata kelola perusahaan yang baik, dan dibangun untuk menciptakan kepercayaan para pemangku kepentingan.

"Business ethic is about integrity and accountability. Jika usaha dijalankan secara jujur, amanah dan transparan, serta memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, secara otomatis reputasi usaha akan meningkat termasuk kepercayaan pelanggan dan masyarakat," imbau Ketum Apindo.

Shinta juga mengingatkan prinsip moral dan nilai, serta etika bisnis akan menunjukkan reputasi dan kepercayaan terhadap perusahaan sebagai bagian sektor bisnis. Sayangnya, diakuinya juga, tidak semua pelaku bisnis mengedepankan hal itu. 

Anggawira sepakat pelaku bisnis harus mengedepankan integritas, transparansi, dan tanggung jawab sosial untuk menjaga moralitas berusaha. Itu merupakan bekal untuk menciptakan suasana persaingan yang sehat.

"Jika saran ini dijalankan, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, mengurangi risiko hukum, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," katanya.

Pengawasan dan Penindakan
Kalangan pengusaha juga mengamini, dibutuhkan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran etika bisnis. Sanksi yang diberikan, menurut Sekjen HIPMI Anggawira, perlu dievaluasi secara berkala untuk melihat efektivitasnya. 

Menurutnya, penegakan sanksi bisa menjadi opsi untuk memastikan kepatuhan para pelaku usaha. 

Rhenald turut menyoroti kinerja KPPU yang menurutnya kurang gesit. Dia menilai KPPU tidak memiliki kemampuan analisis yang dibutuhkan untuk menguji pasar, lantaran KPPU hanya berbekal peraturan atau regulasi.

Padahal pasar di Indonesia semakin powerful, karena menurut Rhenald Indonesia adalah consumer nation. Masyarakatnya melakukan konsumsi untuk bersenang-senang, dimanja dengan harga murah, pilihan diskon, dan bebas ongkos kirim.

"KPPU terkesan ketinggalan zaman, tak punya analytics yang dibutuhkan untuk menguji keadaan pasar. Bekal mereka hanya peraturan, pemanggilan dan riset-riset yang mereka yakini benar," ucap Rhenald.

Selain peningkatan pengawasan,  Shinta juga melihat aspek teknis, yakni pentingnya mendorong reformasi birokrasi, terutama untuk perizinan usaha. Selain memudahkan, iklim perizinan usaha akan menjadi lebih kondusif.

"Penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan ini menjadi salah satu upaya meminimalisir praktik pelanggaran etika bisnis lewat sistem satu pintu dan real time atau terintegrasi secara elektronik," katanya.

Sebaliknya, Afif Hasbullah mengakui ruang gerak KPPU saat ini masih terbatas dalam menjalankan pengawasan dan penindakan kasus pelanggaran persaingan usaha.  

Dia menilai, ketiadaan daya paksa secara lengkap, membuat kerja Komisi kurang optimal. Karenanya, KPPU terus bekerja sama dengan aparat penegakan hukum (APH) lain.

"KPPU belum memiliki kewenangan penggeledahan dan penyitaan, kewenangan eksekutorial yang kuat seperti daya paksa atau sita atas aset pelaku usaha yang tidak patuh, maupun saran dan pertimbangan kepada pemerintah yang belum mengikat," ungkap Afif.

Afif menilai regulasi persaingan usaha UU 5/1999, perlu diamandemen ulang. Dia mengusulkan, amandemen perlu untuk meningkatkan kewenangan penegakan hukum KPPU.

"Amandemen undang-undang persaingan usaha tetap perlu dilakukan, guna meningkatkan kewenangan penegakan hukum, kemampuan eksekusi, perubahan rezim penilaian merger ke notifikasi wajib sebelum transaksi, masalah kelembagaan, serta berbagai instrumen lain yang dibutuhkan," tutup Afif. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar