c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

03 November 2022

21:00 WIB

Mencari Resep Jitu Bikin Industri Farmasi Maju

Industri obat-obatan lokal akan sulit bertumbuh, jika sebagian besar bahan baku masih bergantung pada impor. Pemerintah pun ditagih komitmennya untuk mendukung kemandirian farmasi

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Khairul Kahfi,Nuzulia Nur Rahma,

Editor: Fin Harini

Mencari Resep Jitu Bikin Industri Farmasi Maju
Mencari Resep Jitu Bikin Industri Farmasi Maju
Pasar Pramuka merupakan tempat terlengkap untuk memenuhi kebutuhan soal medis. Mulai dari obat-obatan hingga peralatan lengkap dijual dengan harga ritel. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

JAKARTA – Tak terbantahkan, obat-obatan menjadi aspek yang krusial dalam sektor kesehatan secara keseluruhan. Setiap penyakit yang dikonsultasikan pada ahlinya, umumnya berujung pada pemberian obat, baik itu obat medis ataupun obat herbal.

Tak ayal, pandemi yang merebak, membuat belanja obat-obatan meningkat pesat. Pada 2021, tatkala varian covid-19 delta mencapai puncak di Juli, nilai pasar industri farmasi diperkirakan mencapai US$8,6 miliar.

Blessing in disguise, pada saat dunia tak baik-baik saja karena pandemi, industri farmasi justru semringah. Kondisi pandemi bahkan memicu industri farmasi untuk menambah investasinya. 

Kesadaran akan kesehatan berpadu dengan ancaman pandemi dan berbagai perebakan penyakit, membuat proyeksi cuan dari obat memang menguat.

“Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di ASEAN dengan nilai pertumbuhan GDP sebesar 3,7% di tahun 2021. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk berinvestasi bagi perusahaan farmasi,” jelas Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito kepada Validnews, Kamis (3/11).

Data Kemenperin menunjukkan investasi di sektor farmasi di kuartal II/2022 menjadi US$3,44 triliun. Rinciannya, dari PMDN sebesar Rp2,91 triliun dan PMA Rp0,53 triliun. Nilai ini, lanjut Ignatius, melebihi total nilai investasi pada 2021 sebesar Rp2,41 triliun.

“Hal ini menunjukkan bangkitnya investasi di industri farmasi nasional setelah pandemi covid-19,” imbuhnya.

Investasi pada 2021 itu, memang tercatat sebagai titik terendah. Dalam 5 tahun terakhir, industri farmasi mencapai nilai investasi tertinggi pada tahun 2018 yaitu sebesar Rp7,64 triliun yang diwujudkan dengan pembukaan pabrik baru dari industri farmasi dalam negeri maupun luar negeri.

Namun setelah sempat goyah sebentar, pandemi justru membawa berkah dan membuat industri farmasi melenting tinggi. 

Perlombaan untuk mengembangkan vaksin corona, misalnya, telah mendorong banyak negara untuk berinvestasi lebih besar pada program-program penelitian kesehatan, pengadaan vitamin, suplemen, hingga obat peningkat kekebalan tubuh.

Sebelum pandemi covid-19, Indonesia telah memiliki setidaknya ada 220 perusahaan di sektor farmasi di Indonesia menurut catatan Kemenperin. Sebanyak 90% fokus pada sektor hilir dalam produksi obat-obatan. 

Sementara data dari Kementerian Kesehatan hingga 2021, ada 241 industri pembuatan obat, 17 industri bahan baku obat, 132 industri obat tradisional, serta 18 industri ekstraksi produk alami.

Aksesibiitas Obat
Aksesibilitas pada obat dalam beberapa tahun terakhir memang makin membaik. Catatan Kementerian Kesehatan, pada 2014, tingkat ketersediaan obat di puskesmas mencapai 75,50% (baseline).

Setahun kemudian, tepatnya 2015, tingkat ketersediaan obat di puskesmas sebesar 79,38%. Lebih tinggi dari dari target 77%.

Kemudian, pada 2016, aksesibilitas pada obat sebesar 81,57% dari dari target 80%. Kemudian, pada 2017 menjadi sebesar 89,30% (realisasi) dari target 83%. Setahun kemudian, pada 2018 mencapai 92,47% dari target 86%.

Berlanjut pada tahun 2019 keterjangkauan menjadi 94,22% dari target 90%. Ini berarti, selama kurun waktu 2015-2019 telah terjadi peningkatan ketersediaan obat yang cukup signifikan di puskesmas. 

Selain itu, perbedaan tingkat ketersediaan obat di puskesmas, antar provinsi juga semakin membaik.

Pada tahun 2015, terdapat 16 provinsi dengan tingkat ketersediaan obat di puskesmas kurang dari 80%. Sementara pada 2019, hanya 8 provinsi.

Disparitas ketersediaan obat antar region, provinsi, dan kabupaten/kota sudah semakin berkurang. Capaian tertinggi persentase Puskesmas dengan ketersediaan obat dan vaksin esensial pada 2019 yakni sebesar 100% dan dicapai oleh 10 provinsi. 

Sementara itu, provinsi dengan ketersediaan terendah adalah NTT dengan capaian sebesar 82,46%.

“Kenaikan anggaran kesehatan membantu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, salah satunya dengan pengadaan obat-obatan yang lebih baik. Anggaran kesehatan 10% dari APBD pastinya akan meningkatkan permintaan obat-obatan,” lanjut Ignatius.

Ignatius merujuk amanat UU No. 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan mengenai besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji, yang akan mulai dijalankan pemerintah tahun depan.

Kementerian Kesehatan menyebut alokasi APBD itu akan digunakan antara lain untuk biaya kesehatan, laboratorium, optimalisasi fasilitas pelayanan, peningkatan alat dan kompetensi, hingga jumlah tenaga kesehatan dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

“Untuk daerah yang APBD kurang dari Rp500 miliar, mungkin bisa kita bantu subsidi, sedangkan yang di atas Rp1 triliun akan kita review,” ungkap Menteri Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.

Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, pembiayaan APBD itu nantinya diberikan untuk urusan kesehatan dalam wewenang pemda, khususnya soal pelayanan kesehatan dasar di wilayah mereka.

Sementara dari APBN, sambungnya, akan digunakan untuk pembiayaan program secara terpusat, mulai dari pengadaan obat buffer, vaksin, hingga program-program kesehatan lainnya. 

Seiring dengan itu, industri obat pun akan berperan penting dalam sinergitas APBN dan APBD dalam membangun industri kesehatan.

“Industri obat merupakan mitra pemerintah yang terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan obat di pelayanan kesehatan. Artinya, sangat berperan dalam memaksimalkan pembiayaan bagi pembangunan kesehatan,” kata Siti Nadia kepada Validnews di Jakarta, Selasa (1/11).

Tingkat Utilisasi
Ignatius memaparkan, industri farmasi sendiri siap meningkatkan kapasitas produksi. Pasalnya, saat ini, masih ada potensi peningkatan industri farmasi dikarenakan nilai utilisasi industri farmasi baru mencapai 35% dari total kapasitas produksi.

“Peningkatan produksi dapat dilakukan optimalisasi utilisasi mesin maupun dengan penambahan tenaga kerja pada shift kerja,” jelasnya.

Sejauh ini, lanjutnya, industri farmasi nasional saat ini telah menguasai suplai obat dalam negeri sekitar 89% secara volume. 

Kapasitas produksi industri farmasi Indonesia pada tahun 2021 adalah 958 juta ampul, 2,75 miliar botol, 71,7 miliar butir, 4,7 miliar kapsul, 28,6 miliar tablet dan 1,2 miliar vial.

Dari jumlah itu, tak semuanya dilempar ke pasar dalam negeri. Catatan Kemenperin, ekspor produk farmasi pada tahun 2022 hingga kuartal dua mencapai US$236,35 miliar. Sementara itu, impor produk farmasi mencapai US$399,51 miliar. Ya, masih defisit.

Siti Nadia Tarmizi menambahkan, para pelaku industri obat semestinya bisa menggenjot produksi untuk mengantisipasi kenaikan permintaan obat. 

Karena itu, saat ini Kementerian Kesehatan terus menjalin kerja sama secara bertahap dengan berbagai pihak, termasuk Kemenperin, soal peningkatan alat kesehatan ataupun alat produksi obat-obatan.

“Kalau kapasitas produksi obat, seharusnya bisa ditingkatkan sehingga kita terus bekerja sama secara bertahap dengan pihak-pihak terkait,” imbuhnya.

Merujuk pada Permenkes RI Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Siti Nadia menambahkan, Indonesia masuk dalam kategori new emerging country bidang farmasi, di mana jumlah industri yang bergerak di bidang itu sebanyak 206 perusahaan, terbagi atas empat BUMN, 178 swasta, dan 24 multinational company (MNC).

Pertumbuhan pasar farmasi di Indonesia pun disebutnya terus meningkat setiap tahun dan diperkirakan akan tetap begitu pada tahun-tahun mendatang. 

Apalagi dengan adanya implementasi JKN yang menjadi peluang tersendiri bagi industri obat-obatan.

Dengan alasan itulah, pemerintah terus mendorong pelaku industri agar mulai bertransformasi dari formulasi menuju ke arah hulu. Dengan begitu, ke depannya, industri farmasi akan berbasis riset dengan banyak nilai tambah ketimbang industri farmasi dewasa ini.

“Potensi pasar farmasi ini merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh seluruh industri farmasi di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan,” tutur Siti.

Bergantung Impor
Meski siap, Ignatius mengakui masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah dan industri. Salah satunya adalah ketergantungan terhadap Bahan Baku Obat (BBO) impor dan obat paten (originator), serta Sebagian obat ethical yang masih sangat tinggi.

Menurut Ignatius, hal ini terjadi karena belum berkembangnya industri menengah, sebagai bahan baku hulu dari BBO. Tingkat ketergantungan perusahaan farmasi PMA pada “parent company” terlalu tinggi. 

Jadi industri formulasi PMA tidak bersedia menggunakan hasil produksi dalam negeri, dengan alasan harga terlalu mahal.

“Ketersediaan Industri Kimia Dasar pembuat BBO masih terbatas. Hal ini dikarenakan pengembangan industri bahan baku obat di Indonesia masih kurang feasible dengan kondisi saat ini. Misalnya, volume demand nasional belum layak keekonomian,” tutur Ignatius.

Ada, sih, insentif yang digelontorkan pemerintah seperti tax holiday, tax allowance atau super tax deduction. Namun nyatanya hal tersebut belum mampu menarik investasi di industri BBO. Dari sisi perlindungan pun, belum ada skema perlindungan produk dalam negeri dari produk impor sejenis.

Sepaham, Siti Nadia Tarmizi pun menyebut meskipun lebih kurang 70% kebutuhan obat telah diproduksi di dalam negeri, sayangnya industri farmasi masih tergantung bahan baku impor. Tercatat hampir 96% bahan baku diimpor dari berbagai negara.

Jumlah itu, lanjutnya, dapat diminimalkan apabila industri farmasi dalam negeri bisa memroduksi BBO sendiri. Bahan natural, vitamin, dan antibiotik, misalnya, menjadi komoditas terbesar yang diimpor oleh industri farmasi di Indonesia.

“Tingginya nilai impor Active Pharmaceutical Ingredients (API) akan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan harga yang fluktuatif karena bergantung nilai tukar mata uang asing,” ujarnya

Dia mengakui ketergantungan terhadap bahan baku obat impor sangat mengkhawatirkan dan mempengaruhi tingkat keberhasilan Program Kesehatan Nasional. 

Karena itu, pemerintah berkomitmen tegas untuk menekan ketergantungan impor, baik untuk obat-obatan ataupun bahan baku obat, demi Kemandirian Farmasi.

Impor bahan baku obat, sambung Nadia, menjadi tantangan tersendiri, mengingat Indonesia dengan biodiversity dan kekayaan alamnya sudah selayaknya bisa menjadikan aspek tersebut sebagai peluang besar dalam mengembangkan bahan baku obat di masa mendatang.

“Pasar bahan baku nasional yang relatif kecil dan tidak memenuhi skala ekonomi perkembangan menjadi alasan kuat mengapa pengembangan bahan baku obat harus berorientasi ekspor dimana persyaratan serta prosedur ekspor yang tidak mudah,” pungkasnya.

TKDN
Sementara itu, Pengurus Pusat Bidang Politik dan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif dalam pesan singkatnya menyebutkan, ketergantungan BBO impor sangat krusial untuk diselesaikan.

“Pihak swasta yang penting itu untung dan tidak peduli dengan barang impor. Jadi, faktor utama adalah komtimen pemerintah. Menurut saya, meminta daerah membuat kebijakan soal (anggaran) obat hanyalah mimpi, pemerintah pusat harus punya komitmen yang jelas,” tegas Syahrizal.

Sementara untuk meningkatkan kualitas industri, setidaknya harus ada upaya menekan impor bahan baku oleh pemerintah. 

“Kenyataannya, selama ini kebutuhan obat dan alat kesehatan dipenuhi produk impor. Butuh waktu 10-20 tahun untuk perubahan produk dalam negeri. Ini pun kalau ada kebijakan dari pemerintah pusat yang jelas dan tegas,” tuturnya.

Terkait hal ini, Ignatius menanggapi dengan mengatakan, pemerintah telah berupaya untuk memangkas ketergantungan BBO impor. Salah satunya, lewat TKDN sebagai salah satu kriteria pada pengadaan obat nasional.

“Kriteria pengadaan obat nasional mengacu pada threshold TKDN. Saat ini sedang dirancang Roadmap Peningkatan Nilai TKDN pada industri farmasi,” katanya.

Penguatan struktur industri bahan baku obat dengan memproduksi bahan dasar, bahan intermediate dan bahan aktif API yang selama ini diimpor, seperti Sintesis Parasetamol dari Nitrobenzen, dilakukan dengan kerjasama antara K/L dan BUMN, dari hulu migas (Pertamina) sampai hilir (BUMN Farmasi).

Untuk meningkatkan feasibility di sisi bisnis, pemerintah, lanjutnya, menyiapkan skema KPBU untuk menutupi biaya kebutuhan listrik, air, dan lahan sehingga menambah feasibility dari FS di sisi bisnis nya.

“Perlu ada instrumen untuk mendukung pengembangan dengan penerapan larangan terbatas/lartas impor bahan yang dikembangkan, insentif fiskal, maupun skema TKDN minimal untuk pasar JKN/BPJS,” tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar