c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

05 November 2024

21:00 WIB

Menarget Ulang Swasembada Pangan

Presiden Prabowo Subianto menargetkan Indonesia swasembada pangan 5 tahun ke depan. Namun, sejumlah tantangan masih mungkin mengganjal.

Penulis: Yoseph Krishna, Fitriana Monica Sari, Nuzulia Nur Rahma

<p id="isPasted">Menarget Ulang Swasembada Pangan</p>
<p id="isPasted">Menarget Ulang Swasembada Pangan</p>

Petani menanam bibit padi di persawahan Desa Gondoharum, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (3/10/2024). Sumber: AntaraFoto/Yusuf Nugroho

JAKARTA - “Saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar”.

“Saya sudah mempelajari bersama pakar-pakar yang membantu saya, saya yakin paling lambat empat sampai lima tahun kita akan swasembada pangan. Bahkan, kita siap menjadi lumbung pangan dunia”.

Itulah petikan pidato pertama Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia ke-8. Pidato tersebut disampaikan dalam Sidang Paripurna MPR RI dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI Terpilih Periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024.

Niatan Prabowo untuk mencukupkan kebutuhan pangan sejatinya bukan hal baru. Saban pergantian kepala negara, niatan sama mengemuka. Swasembada pula yang digelorakan pemerintahan Presiden Soeharto, dengan upaya mewujudkan swasembada pangan yang digalakkan secara besar-besaran. 

Puncaknya, pada 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun, pencapaian gemilang ini tak dapat dipertahankan dalam jangka panjang akibat sejumlah tantangan. Di antaranya, perubahan iklim yang ekstrem, ketersediaan lahan yang terbatas, dan infrastruktur pertanian yang belum memadai.

Target Prabowo tentu bukan tanpa perhitungan. Diketahui, produksi pertanian dunia sejak 2000 sampai 2021 tumbuh 54% dengan total produksi mencapai 9,5 miliar ton pada 2021. 

Pertumbuhan tersebut bahkan dinilai lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk dunia, yakni sebesar 29%. Adapun hasil produksi pertanian tersebut, disalurkan untuk makanan, pakan ternak, serta bahan dasar industri, termasuk kosmetik.

Meski relatif tinggi, tingkat pertumbuhan produksi pertanian saat ini masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar penduduk dunia pada 2050 mendatang. Dengan begitu, produksi pangan diperkirakan perlu meningkat sebesar 100%-110% untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini salah satunya disebabkan oleh turunnya produksi pangan dunia akibat tekanan dari perubahan iklim.

Di Tanah Air, saat ini belum semua pangan strategis Indonesia dapat dipenuhi oleh produksi domestik. 

Data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejumlah pangan utama Indonesia juga masih harus dipenuhi dari impor, termasuk kedelai (88,90% impor) dan gula (70,82% impor). Oleh sebab itu, untuk mendukung program swasembada pangan 'dalam tempo sesingkat-singkatnya', ada yang harus digenjot.  

Pemerintah telah berencana mengalokasikan pagu belanja ketahanan pangan, termasuk swasembada, senilai Rp139,4 triliun untuk tahun anggaran 2025.

“Kita perlu menyatukan langkah dan membentuk tim kerja sama yang kuat untuk mencapai tujuan swasembada pangan. Anggaran untuk ketahanan pangan di tahun 2025 cukup besar, yaitu sekitar Rp139,4 triliun," ujar Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan, Zulkifli Hasan usai menggelar rapat koordinasi bidang pangan di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (30/10). 

Asal tahu saja, alokasi belanja program ketahanan pangan tahun 2025 yang dirancang senilai Rp139,4 triliun itu lebih tinggi dari alokasi di APBN 2025. Pada Agustus 2024, Kementerian Keuangan menganggarkan anggaran ketahanan pangan tahun 2025 sebesar Rp124,4 triliun. Artinya, ada penambahan sebesar Rp15 triliun dari alokasi sebelumnya.

"Ini tersebar (pos anggarannya). Ada melalui kementerian/lembaga, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada Kementerian Pekerjaan Umum (PU), kementerian lainnya," kata Menteri yang akrab disapa Zulhas itu.

Zulhas menguraikan, anggaran ketahanan pangan sebesar Rp139,4 triliun itu, juga akan digelontorkan untuk mengeksekusi program swasembada pangan. Dua di antaranya, yakni program cetak sawah seluas 150 ribu hektare (Ha) dan intensifikasi lahan sawah 80 ribu hektare. Menko Pangan mengestimasi, total anggaran yang dibutuhkan untuk kedua program ini senilai Rp15 triliun.

Dalam pelaksanaannya, program ini tidak hanya berfokus pada satu jenis bahan pokok pangan, melainkan akan mencakup berbagai komoditas. Mencakup beras, jagung, tebu, gula, kedelai, yang sampai sekarang sederet bahan pangan ini masih giat diimpor. Termasuk, coklat, kopi, cabai, dan bawang. Sementara itu, untuk cokelat dan kopi, menurutnya, merupakan komoditas unggulan Indonesia sehingga seharusnya tidak diimpor dari negara lain.

"Kita sekarang tambah lagi (komoditas yang dibidik swasembada), ada cokelat karena itu unggulan kita, saudara tahu kita sekarang impor coklat banyak. Lalu kopi, kemudian cabai, bawang, ini juga kita kembangkan," imbuh Zulhas.

Butuh Kolaborasi
Salah satu Kementerian yang mendapatkan anggaran ketahanan pangan tahun 2025 adalah Badan Pangan Nasional (Bapanas), yakni sebesar Rp330 miliar.

Melalui anggaran tersebut, Bapanas akan menggelontorkannya untuk program Bantuan Pangan Pengendalian Kerawanan Pangan 64,8 ribu paket serta pangan yang terdistribusi 50 kelompok masyarakat.

Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi mengatakan, program swasembada pangan sangat luas karena mencangkup berbagai komoditas. Untuk itu, Bapanas masih menunggu rampungnya roadmap antar-Kementerian Pangan.

"Ini kan baru, Menko Pangan baru dibentuk ya perlu diproses, terus Kepala Bappenas Rachmat Pambudy juga orang pangan. Ya kita tunggulah (roadmap) pasti ada, pasti ada penyempurnaan-penyempurnaan. Jadi kita tunggu," kata Arief saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Senin (4/11).

Saat ini, Bapanas masih mengacu kepada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 yang mengatur tentang pembentukan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Dalam beleid ini, disebutkan bahwa Bapanas merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden; Bapanas dipimpin oleh Kepala; dan Bapanas mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.

Kemudian, jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi Bapanas, antara lain beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia, daging unggas, dan cabai.

"Jadi, kalau beberapa waktu lalu saya bersama biasanya Pak Jokowi karena saya berdasarkan Perpres ini bertanggung jawab kepada presiden dan dipilih oleh Presiden. Jadi kalau nanti ada penyempurnaan Perpres lain atau digabungkan ke Kementerian lain atau digabungkan ke Lembaga, lihat itu haknya Pak Presiden, tapi ada juga amanat Undang-Undang Pangan bahwa pembentukan lembaga ini yang mana Undang-Undang di bidang pangan dan tugas siapa spesifik ya," jelas Arief.

Dia juga menjelaskan, untuk diskusi mengenai pengaturan harga gabah, padi, dan jagung sudah dikerjakan semua oleh Badan Pangan.

Begitu pula dengan koordinasi pelaksanaan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan harga pangan, kerawanan pangan dan gizi, keanekaragaman konsumsi pangan, keamanan pangan, sangat dijaga oleh Badan Pangan.

Di sisi lain, Arief optimistis dengan program swasembada pangan yang dicanangkan Pemerintahan Prabowo. Lantaran, menurutnya, orang-orang yang terlibat dalam program ini memiliki pemahaman yang mumpuni mengenai pangan nasional.

"Akademisi sampai sekarang luar biasa sedang mempersiapkan tangan substitusi pangan, jadi dia adalah orang-orang yang sangat paham mengenai pangan nasional. Kemudian, ada Menko Pangan yang dalam koordinasi beliau, jadi ini harus jadi satu semangat harus sama," terangnya.

Di sisi lain, dia tak menampik bahwa akan ada beberapa tantangan yang mengiringi langkah untuk mewujudkan swasembada pangan. Salah satunya, meningkatkan produksi. 

Kemudian, jika produksi sudah banyak tapi tidak terserap, hal itu juga akan percuma. Maka dari itu, dibutuhkan standby buyer untuk menyerap. Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi.

"Harus kolaborasi, enggak bisa sendiri. Kita makanya harus dukung Kementerian Pertanian, Kementerian Teknis, semuanya," tutur Arief.

Terus Diwarisi
Seperti diulas di atas, program swasembada pangan (food self-sufficiency) ibarat terus diwarisi dari pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya. 

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, program swasembada pangan dinilai gagal. Bukan swasembada pangan yang tercapai, justru produksi padi menurun dan impor melonjak hampir dua kali lipat. Setidaknya, itulah yang dilihat Pengamat Pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa.

Hal itu berlanjut pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Program swasembada pangan pada era Jokowi hanya berlangsung sebentar. Untuk komoditas padi, jagung, kedelai hanya berlangsung dalam dua tahun dan selesai pada 2017.

Kemudian, swasembada bawang putih dimulai pada 2017. Namun, program ini hanya berlangsung selama dua tahun atau hingga 2019 saja dan diundur ke tahun 2021, dan tak kunjung selesai. Bahkan mirisnya, impor bawang putih semakin meningkat. Begitu juga dengan program swasembada gula dan lainnya.

"Dan yang parahnya, produksi padi kita yang menjadi tanaman terpenting saat ini di Indonesia itu justru menurun produksinya 1,04% per tahun, bukan selama 10 tahun, tapi 1,04% per tahun, penurunan produksi padi selama 10 tahun terakhir ini. Padahal, anggaran yang digelontorkan untuk dana ketahanan pangan selama 10 tahun itu Rp954 triliun," ungkap Dwi Andreas yang berbincang dengan Validnews melalui sambungan telepon, Jumat (1/11).

Dwi pesimistis dengan angka impor yang tinggi. Dia menjabarkan, impor pangan 10 tahun terakhir ini saja telah melonjak hampir 10 kali lipat dari US$10,1 miliar menjadi US$18,8 miliar dalam 10 tahun terakhir, yang menghasilkan defisit neraca perdagangan dari US$8,9 miliar menjadi US$16,3 miliar. Adapun defisit neraca perdagangan untuk pangan saat ini, adalah Rp270 triliun.

"Di Pemerintahan Jokowi, impor pangan melonjak hampir dua kali lipat, secara volume untuk delapan komoditas utama saja tambahnya 9 juta ton selama 10 tahun terakhir, sehingga saat ini impor total delapan komoditas utama itu 29 juta ton. Impor tahun 2023 itu 29 juta ton delapan komoditas utama. Jadi kalau program targetnya Indonesia lima tahun ke depan impor akan tetap 29 juta ton, itu sudah sangat sulit untuk dicapai, apalagi bicara swasembada," sambung Dwi Andreas.

Beda halnya dengan swasembada beras. Selama 25 tahun terakhir, Indonesia diakui Dwi Andreas telah mampu swasembada beras, kecuali pada 2023 dan 2024. Tercatat, 90% produksi beras sudah dalam negeri.

"Karena impor 3 juta ton itu kan hanya 10% impornya, konsumsi kita sekitar 30-an juta ton, ya sudah 10%, dan sebelum-sebelumnya di bawah 3 juta ton, jadi tahun-tahun sebelumnya kita swasembada beras, tidak ada masalah," terang dia. 

Untuk kondisi Indonesia saat ini, Dwi Andreas menilai tidak mungkin Indonesia mencapai target swasembada pangan. Menurutnya, ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya.

Pertama, jika mengambil definisi swasembada pangan ala FAO, maka food self-sufficiency akan tercapai bila 90% lebih pangan yang dikonsumsi indonesia diproduksi oleh petani dalam negeri. Namun, fakta yang terjadi di Indonesia masih jauh dari itu.

Dia memberikan contoh pangan pokok gandum yang telah mendominasi sebesar 28%. Sayangnya, hingga saat ini, gandum masih 100% impor.

"Apakah mungkin konsumsi gandum yang 28% kemudian diturunkan di bawah 10%, mungkin atau tidak? Jawabannya kan tidak mungkin karena sekarang sudah sistem produksi pangan berbasis gandum itu sudah sedemikian besar, berupa mi instan, roti, dan sebagainya. Itu jaringan produksi gandum atau pemanfaatan gandum untuk pangan di Indonesia itu sudah sedemikian besar," kata Dwi menekankan.

Oleh karena itu, jika dari 28% dipangkas menjadi ke bawah 10%, otomatis akan terjadi guncangan yang cukup kuat. 

Kasus serupa juga dapat ditemui pada pangan pokok kedelai. Hampir 100% kedelai harus impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat di dalam negeri. Lantaran, tidak ada petani yang menanam kedelai.

Begitu pula dengan bawang putih yang masih 100% impor, gula 70% impor, daging lembu 50% impor, dan bahkan susu yang merupakan salah satu komponen dalam program pemerintah makan bergizi gratis (MBG) juga 82% masih impor.

Dengan beberapa bahan yang masih membutuhkan impor dalam jumlah besar, Dwi Andreas kurang meyakini target swasembada pangan akan dapat tercapai.

Utamakan Infrastruktur
Pada kesempatan terpisah, Peneliti Bidang Pertanian Center of Reform on Economic (Core) Indonesia, Eliza Mardian menegaskan, seharusnya dukungan anggaran untuk membangun infrastruktur ditambah. 

Pasalnya, persoalan utama rendahnya produksi dan produktivitas ini karena semakin banyak sistem irigasi yang rusak akibat pembangunan serta irigasi yang kurang terawat dengan baik. 

"Kunci meningkatkan produksi agar tidak impor terus adalah dengan intensifikasi melalui meningkatkan indeks pertanaman (IP) yang saat ini masih 1,5. Artinya, masih banyak petani yang menanam satu kali dalam satu tahun. Ini karena kurangnya ketersediaan air. Kita mesti fokus meningkatkan IP menjadi dua agar satu tahun bisa dua kali tanam, dengan cara memperbaiki irigasi dari hulu sampai ke jaringan tersiernya, serta membangun irigasi di sawah tadah hujan," katanya kepada Validnews, Senin (4/11).

Eliza menuturkan, karena anggaran untuk irigasi sedikit, pemerintah akhirnya menempuh dengan pompanisasi untuk bisa menunjang ketersediaan petani. Hal ini dinilai tidak efisien dan semestinya belanja pemerintah difokuskan kepada infrastruktur irigasi. 

"Membangun bendungan saja tidak cukup jika saluran irigasi hingga ke level tersier rusak tersumbat akibat pembangunan dan kurang terawat," imbuhnya.

Meski pemerintah telah mengalokasikan anggaran ketahanan pangan untuk tahun 2025 yang cukup besar, termasuk melalui pos transfer ke daerah (TKD) senilai Rp16,2 triliun. Hal itu perlu dibarengi dengan strategi kebijakan.

Dengan kapasitas fiskal yang terbatas, menurutnya, akan lebih baik jika fokus anggaran pemerintah bisa kepada pembangunan infrastruktur mendasar seperti irigasi, jalan usaha tani, dan industri pengolahan skala menengah kecil. 

"Karena kalau anggarannya yang relatif terbatas tapi dibagikan kepada berbagai macam program, apalagi programnya ini tidak menyentuh akar persoalan, jadinya enggak mengungkit anggaran yang terbatas tersebut," tambah dia.

Cetak Sawah Kegagalan Berulang
Khusus soal beras, Dwi Andreas mencermati, ada beberapa kendala kenapa swasembada pangan belum dapat tercapai. Salah satunya karena pemerintah dalam kebijakannya terlalu berat sebelah ke konsumen. Selain itu, program food estate atau cetak sawah di Indonesia merupakan program yang gagal. 

"Jelas program yang pasti gagal (food estate/cetak sawah). Cetak sawah 1 juta hektare (Ha), malah rencana Mentan 5 juta Ha selama lima tahun, wong nyetak sawah 250 ribu Ha aja gagal total," tegas dia.

Eliza mengamini hal ini. Menurutnya, ekstensifikasi lewat program food estate ini akan berakhir gagal lagi jika saja masih tidak memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. 

Hal ini sudah terbukti dari berbagai kegagalan food estate dari era Soeharto yakni Proyek Lahan Gambut (PLG); food estate Ketapang dan Bulungan era SBY; serta MIFEE periode Jokowi dan berlanjut lagi kegagalannya di Kalteng dan Humbang Hasundutan. 

"Pemerintah semestinya menjalankan program yang sesuai kaidah ilmiah dan jelas penyusunan teknisnya sesuai kajian. Jangan banyak trial and error karena kapasitas fiskal kita terbatas, harus bijak dalam membelanjakan untuk menjalankan program," ungkap Eliza.

Seyogianya, pilihan kebijakan tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi saja, melainkan harus juga meningkatkan kesejahteraan para petaninya. Pasalnya, petanilah yang merupakan ujung tombak peningkatan produksi. Jika pemerintah banyak melibatkan korporasi, petani akan tetap menjadi buruh di negeri sendiri. 

Selain itu, korporasi ini juga dikhawatirkan memonopoli pangan yang dapat mematikan pengusaha kecil. Pemerintah pun akan semakin sulit melakukan intervensi harga jika dimonopoli perusahaan besar.

Eliza menuturkan bahwa sektor pertanian ini masih kurang memadai dari beberapa hal, baik dari segi pendanaannya, private sector, APBN, hingga skala prioritas. Akibatnya, sektor pertanian Indonesia akan kurang produktif karena dari sisi infrastruktur mendasarnya saja tidak memadai.

Dari sisi penggunaan benih yang high yielding, climate resilience, dan pest resilience juga masih kurang. Akibatnya, produktivitas petani di Tanah Air relatif masih rendah.  

Kemudian, dari sisi regulasi pun demikian. Eliza mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada yang mengatur kolaborasi riset dan memasifkan produk riset sehingga bisa diterapkan secara luas oleh para petani. 

Dari hal ini, Eliza dan Dwi Andreas sama-sama memberikan masukan kepada pemerintah, agar jangan memiliki paradigma pembangunan yang sama dan program-programnya yang tidak ada perubahan yang nyata. Targetnya pun selayaknya sederhana saja. Misalnya, dalam lima tahun ke depan impor pangan tidak meningkat dibanding yang sekarang. 

“Dalam arti impor pangan atau total pangan yang diimpor sama dengan ketika mengawali pemerintah, itu sudah super luar biasa," seloroh Dwi Andreas. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar