c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

18 Januari 2024

20:42 WIB

Menarget Swasembada Lewat Subsidi Pupuk

Banyak kendala di hulu sektor pangan, termasuk soal pupuk dan pupuk bersubsidi yang perlu dibenahi.

Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Aurora K M Simanjuntak, Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

Menarget Swasembada Lewat Subsidi Pupuk
Menarget Swasembada Lewat Subsidi Pupuk
Pekerja mengangkut karung berisi pupuk di Gudang Penyimpanan Pupuk Distribution Center (DC), Medan, Sumatra Utara, Rabu (15/11/2023). Antara Foto/Fransisco Carolio

JAKARTA – Ada banyak jalan yang harus dilalui menuju ketahanan pangan Indonesia. Ada banyak pula faktor penentunya. Di sektor hulu, pupuk menjadi salah satu komponen yang berperan membukakan pintu menuju ketahanan pangan.

Pupuk dibutuhkan untuk menghasilkan tanaman pangan yang diolah menjadi makanan bagi rakyat. Karenanya, ketersediaan pangan menjadi vital. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan menyatakan kebutuhan pangan yang tidak terpenuhi akan mengakibatkan kelaparan hingga ketidakstabilan ekonomi sebuah negara. Sebaliknya, ketercukupan makanan akan mendorong ketahanan pangan yang kuat di RI.

Untuk menggenjot produksi pangan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal tahun mengusulkan untuk menambah anggaran subsidi pupuk sejumlah Rp14 triliun. Sebelumnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya sudah menganggarkan subsidi pupuk senilai Rp26,7 triliun pada tahun fiskal 2024. 

Lewat anggaran yang makin besar, maka pupuk murah makin banyak, dan petani makin gampang mendapatkan salah satu pendukung produksi tersebut. Apalagi pada musim tanam yang terganggu el-nino ini. 

Alasan lain, Jokowi mengungkapkan kerap menerima keluhan soal pupuk saat bertemu dengan petani. Karena itu, pemerintah berupaya memastikan ketersediaan pupuk untuk menjaga produktivitas petani.

“Kemarin saya sudah sampaikan pembelian pupuk tak mesti pakai kartu tani bisa pakai KTP,” kata dia, Selasa (3/1).

Selain anggaran yang bakal mengembang, pemerintah pun berjanji pupuk akan lebih mudah ditemui petani. Kepada Validnews, Rabu (17/1), Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Ali Jamil mengklaim ketersediaan dan distribusi pupuk bersubsidi akan memadai. 

Dia menjelaskan PT Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk bersubsidi saat ini memiliki kapasitas produksi sebanyak 13,5 juta ton. Ini cukup untuk menjangkau ketersediaannya. “Pabrik-pabrik yang ada, mampu memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi maupun pupuk nonsubsidi,” kata Ali singkat.

Ali menjelaskan pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi petani yang melakukan usaha tani subsektor tanaman pangan, hortikultura, serta perkebunan. 

Adapun mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi makin ringkas dengan menunjukkan KTP saja dan sistemnya pun sudah terintegrasi. Hal ini lantaran pengurusan pupuk bersubsidi sudah serba digital dengan menggunakan aplikasi online, seperti iPUbers dan e-Alokasi.

“Kementerian Pertanian menggunakan sistem dan mekanisme yang terintegrasi mulai dari penyaluran, pelaporan dan pembayaran pupuk bersubsidi,” ujar Ali.

Lewat aplikasi iPubers, lanjutnya, Petani tinggal datang menunjukkan KTP untuk dipindah NIK-nya, lalu bisa mengakses data petani di e-Alokasi. Setelah itu, kios akan menginput jumlah transaksi sesuai yang diperlukan dan petani akan menandatangani bukti transaksi pada aplikasi.

“KTP ini akan di foto bersama dengan orang yang mengambilnya menggunakan aplikasi iPUbers. Bukti transaksi semua tersimpan secara digital,” terang Dirjen PSP Kementan.

Untuk pengadaannya, Sekretaris PT Pupuk Indonesia Wijaya Laksana mengutarakan kesiapan pihaknya jika pemerintah meminta perusahaan memproduksi tambahan subsidi pupuk. Dia menyebutkan perusahaan saat ini memiliki kapasitas produksi mencapai 14,6 juta ton.

Wijaya mengatakan, jaringan distribusi pupuk bersubsidi juga tersebar luas di Indonesia, sehingga bisa memenuhi ketersediaan pupuk subsidi bagi para petani. Itu mencakup lebih dari 1.077 distributor, serta 25.000 kios pupuk di tanah air.

"Dalam memastikan ketersediaan stok pupuk, Pupuk Indonesia Group menerapkan prinsip strategis, yakni selalu memastikan ketersediaan stok pupuk di gudang hingga penyaluran ke level distributor bahkan kios," katanya.

Wijaya menerangkan hal itu sesuai ketentuan dalam Permendag 4/2023. Untuk pengawasan penyalurannya, kewajiban Pupuk Indonesia dilakukan mulai dari lini I (pabrik) sampai lini IV (kios).

"Setelah ditebus petani, pengawasan dilakukan oleh aparat penegak hukum atau APH dan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida atau KP3," tutur Sekretaris PT Pupuk Indonesia secara singkat.

Hanya Kamuflase
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengakui memang masih banyak masalah terkait masalah pupuk subsidi. Salah satunya yang dia soroti adalah sulitnya petani mendapatkan pupuk subsidi. 

Prosedur yang berbelit membuat petani tak leluasa menikmati subsidi. Lalu, belum tentu petani yang sudah mengajukan permohonan bisa mendapatkan pupuk subsidi. Padahal, sambung Khudori, petani berhak dilayani, disubsidi, dan mendapatkan pupuk subsidi dengan cara yang mudah.

Dia menilai pemerintah masih berputar dengan persoalan teknis sehingga penyaluran pupuk subsidi masih jauh dari kaidah-kaidah baik kebijakan publik. 

Padahal, disparitas antara pupuk subsidi dan nonsubsidi terbilang jauh. Karena itu, membeli pupuk nonsubsidi bakal memberatkan petani lantaran ongkos produksi yang berlipat.

"Itu akan berat, karena misalnya sekarang harga pupuk bersubsidi urea Rp2.250/kg, harga pupuk nonsubsidi bisa 3 sampai 4 kali lipat, jauh sekali. Untuk pupuk subsidi pun masih jauh dari kaidah-kaidah yang baik dalam kebijakan publik," ungkap Khudori kepada Validnews, Rabu (17/1).

Lebih lanjut, Khudori juga menyoroti penyaluran pupuk subsidi. Dia mengatakan, selama ini subsidi pupuk diberikan dengan skema tidak langsung ke tangan petani, melainkan melalui industri. Kebijakan itu tak tepat untuk petani.

"Menurut saya, ini bukan kebijakan buat petani, tapi untuk industri. Ketika pemerintah menyampaikan kebijakan ini untuk petani tapi subsidinya tidak langsung, yang diuntungkan itu industri, pabrik. Ketika harga gas turun, itu identik dengan transfer keuntungan pada industri," terangnya.

Dia melanjutkan ketika pupuk sulit didapatkan, kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara lewat operator yang ditunjuk, seperti industri, tidak bisa dipenuhi. Tugas yang mestinya dipenuhi oleh pelaku-pelaku hilir, para petani, juga tidak bisa dijalankan.

Padahal, lanjut Khudori, pemerintah mengklaim kebijakan ini untuk petani, untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan. 

"Jadi menurut saya, kalau kebijakan subsidi itu diklaim sebagai kebijakan buat petani, itu kamuflase," selorohnya.

Buatnya yang juga mutlak penting adalah bagaimana pemerintah mengubah skema penyaluran pupuk subsidi menjadi subsidi langsung. Mengubah skema memang tidak mudah dengan kondisi lapangan yang tergolong dinamis. Misalnya, petani mengusahakan menggarap satu hektare sawah. Tahun depan tidak ada jaminan, bisa saja lahan itu bertambah atau bahkan berkurang, sehingga harus terus di-update.

Belum lagi, kendala perbedaan data di petani, penyalur seperti PT Pupuk Indonesia, dan pemerintah. Pasalnya, sekarang petani bisa menebus pupuk bersubsidi hanya dengan menunjukkan KTP. Khudori menilai sasaran pupuk bersubsidi bisa kacau kalau data antar pihak tidak tersinkronisasi dengan baik. Itu sebabnya, dia meyakini pemberian subsidi secara langsung tepat untuk dilakukan apabila pemerintah benar-benar berpihak ke petani.

"Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah itu mengubah skema, dan sebaiknya subsidi pupuk itu subsidi langsung kalau pemerintah berpihak ke petani, jadi langsung ke orangnya," tutur Khudori.

Kebocoran Distribusi
Tidak hanya pengamat, Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santoso selaku perwakilan kelompok tani yang terjun langsung ke lapangan pun menyuarakan sederet kendala pupuk. 

Selain prosedur pupuk subsidi yang ribet, Andreas menyampaikan penyaluran pupuk subsidi ke petani itu tidak merata, sehingga masih banyak petani yang kesulitan mendapat pupuk. Padahal, musim tanam pertama itu penting bagi para petani. Jika terkendala dan tidak dapat pupuk, petani akan ketinggalan momentum penting itu.

"Petani masih kesulitan. Kan yang paling penting justru musim tanam pertama, mulai November, Desember, sampai Januari ini, tapi sebagian masih kesulitan mendapatkan pupuk," ungkap Andreas.

Secara teknis, penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dilaksanakan melalui 4 tingkatan. Mulai dari produsen (Lini I dan Lini II) kepada distributor (penyalur di Lini III). Kemudian distributor menyalurkan kepada pengecer (penyalur di Lini IV) hingga kelompok tani.

Andreas mengutarakan masalah kebocoran pupuk subsidi karena skema distribusi tersebut. Dia dan rekannya pernah melakukan kajian bersama salah satu lembaga di Indonesia dan menemukan 20% kebocoran pupuk di Lini IV.

"Kebocoran jelas ada, kami pernah melakukan kajian dengan salah satu lembaga di Indonesia yang sangat powerful, itu kebocoran di lini IV saja sudah 20% kebocoran pupuk. Jadi enggak tahu (kemungkinan kebocoran lagi) kalau ditambahkan (subsidi pupuk)," ujarnya.

Andreas menyerukan agar pemerintah dan DPR segera rapat untuk memutuskan tambahan subsidi pupuk Rp14 triliun. Karena nantinya tambahan subsidi baru bisa digunakan saat musim tanam dua yang lebih sedikit penanamannya.

Bisa juga dipakai untuk musim tanam tiga, namun kuantitas penanamannya pun jauh lebih sedikit. Andreas menerangkan jika ada kelebihan pasokan pupuk bersubsidi saat itu, banyak "pemain" yang malah menjual atau komersialisasi pupuk bersubsidi tersebut. 

Dia mengaku enggan menyebut penyaluran pupuk bersubsidi masih aburadul. Namun kenyataan praktik di lapangan ternyata penyaluran pupuk bersubsidi sampai ke tangan petani ini memiliki polemik tersendiri.

"Enggak mau bilang (penyaluran) amburadul, tapi masih. Pokoknya kami dengan salah satu lembaga yang sangat powerful di Indonesia (pernah kajian) terjadi kebocoran, itu pun kajian kami hanya di lini IV, belum tahu di Lini I-III," imbuh Andreas.

Perhatikan Faktor Lain
Ketua AB2TI juga mengungkapkan jika nantinya ada tambahan subsidi pupuk Rp14 triliun, itu juga tidak menjamin bisa meningkatkan produksi bahan pangan. Berkaca pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan subsidi pupuk tidak berbanding lurus dengan produktivitas.

Dia mencontohkan pada 2013, subsidi pupuk mencapai Rp17,6 triliun dan kinerja produksi beras sebanyak 58,7 juta ton gabah kering giling (GKG). Pada 2019, subsidi pupuk naik 2 kali lipat dibandingkan 2013, menjadi Rp34,3 triliun, sedangkan produksi berasnya menurun menjadi 54,6 juta ton GKG.

Dari situ, Andreas menuturkan kenaikan subsidi pupuk tidak membuat produksi beras naik, malah turun sekitar 4 juta ton GKG. Sejalan dengan itu, dia menarik kesimpulan subsidi yang lebih tinggi tidak menjamin produksi ikut naik.

"Apakah penambahan pupuk subsidi signifikan terhadap peningkatan produksi? Jawabannya tidak," tegas Andreas.

Andreas dan kalangan kelompok tani mengatakan, ada 3 faktor mendorong peningkatan produksi, khususnya padi, yang wajib dikejar pemerintah. 

Pertama, kesehatan dan kesejahteraan petani. Menurutnya, makin banyak operasi impor beras, serta harga gabah yang makin tertekan di bawah biaya produksi, membuat petani makin malas menanam padi.  

Andreas pun mengkritisi kebijakan pemerintah yang ia nilai kontradiktif. Di satu sini, pemerintah ingin menambah subsidi pupuk Rp14 triliun demi meningkatkan produksi padi dan kesejahteraan petani. Pada saat yang sama, pemerintah sudah meneken kontrak impor beras sebanyak 3 juta ton, sebanyak 2 juta ton berasal dari Thailand dan 1 juta ton dari India. 

"Ini maksudnya apa? Itu yang sangat berbahaya, sangat berpotensi menurunkan produksi 2024. Atau itu yang diinginkan, sehingga impornya bisa ditambah lagi? Ah enggak taulah. Teman-teman di government ini paham apa? Saya enggak paham, mengapa mereka enggak paham," keluh Andreas.

Padahal, lanjut Ketua AB2TI, kalau pemerintah bisa memperhatikan faktor selain pupuk tadi, petani jadi bergairah menanam karena harga gabah relatif baik. Dia memprediksi apabila harga dipertahankan Rp7.000/kg, produksi 2024 meningkat 3-5%, dan tidak perlu intervensi berlebihan dari pemerintah. 

Kesejahteraan petani diyakini terwujud hanya bila gabah bisa terjual di dengan harga yang baik di atas ongkos produksi.  

Kedua, faktor iklim. Ketua AB2TI mengatakan ada dua fenomena iklim yang kita kenal, yaitu la-nina dan el-nino. Saat la-nina, produksi tanaman pangan pasti meningkat, sedangkan ketika terjadi el-nino, produksi menurun. Hal lainnya yang juga penting adalah soal hama. 

Pemerintah perlu mempertimbangkan iklim, musim tanam, dan waktu tanam. Dia mencontohkan pada 2016 lalu, Indonesia sedang dilanda la-nina, dan pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) meminta petani memacu kinerja penanaman sepanjang 2016. Karena penanaman terus-menerus pada 2016, akibatnya jumlah hama melonjak tinggi pada 2017.  

"Dari kajian saya, program pemerintah sangat kecil (kontribusinya) terhadap kegiatan produksi (kenaikan)," seloroh Andreas.

Pengamat Pertanian AEPI Khudori punya persepsi senada. Dia mengatakan, keberadaan pupuk memang tidak bisa digantikan dengan input lain. Namun pupuk bukan satu-satunya komponen yang menentukan peningkatan produktivitas pertanian.

Dia menyebutkan komponen lain itu di antaranya, benih tanaman yang baik atau unggul, ketersediaan air, serta kesuburan lahan atau kualitas lahan. Sementara pupuk, jika salah waktu pemberian, jumlah atau jenis pupuk, hal tersebut bisa menghambat efektivitas produksi pangan. 

Khudori pun memandang permasalahan pupuk sebagai salah satu hulu pertanian Indonesia perlu dibenahi terlebih dahulu. “Banyak problem di lapangan yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan, tapi memang sebetulnya ini masalahnya menurut saya problem di hulu,” tutur pengamat pertanian AEPI itu. 

Indonesia Masih Banyak PR
Perbaikan di hulu juga perlu dibarengi dengan perbaikan di hilir sektor pangan guna mendorong ketahanan pangan Indonesia menjadi lebih baik. Terlebih lagi, Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 270,2 juta jiwa (2021) dan merupakan jumlah terbesar keempat di dunia.

BPS melaporkan meski pertumbuhan penduduk RI melambat, jumlah penduduk secara keseluruhan tergolong besar sehingga memerlukan pasokan makanan yang cukup banyak. Ketercukupan makanan akan mendorong ketahanan pangan yang kuat di Indonesia.

Ketahanan pangan Indonesia juga telah direkam oleh Global Food Security Index (GFSI). Pada 2022, indeks ketahanan pangan Indonesia di mata global memiliki skor 60,20 atau menempati rangking ke-63 dari 113 negara. Angka ketahanan pangan Indonesia cenderung naik turun, dan berada di bawah rata-rata skor global dalam 5 tahun terakhir. Kendati demikian, GSFI menilai tren ketahanan pangan RI masih positif meski fluktuatif.

BPS juga mencatat berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, indeks ketahanan pangan global Indonesia ditargetkan mencapai 95,20. 

"Namun sampai pada 2022, indeks ketahanan pangan global Indonesia masih sebesar 60,20," tulis BPS dalam Buku Analisis Isu Terkini 2023 Volume 7 'Peluang dan Tantangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional'.

Untuk diketahui, GSFI terdiri dari 4 komponen utama. Itu mencakup keterjangkauan pangan, ketersediaan pangan, kualitas dan keamanan pangan, serta keberlanjutan dan adaptasi pangan.

Merujuk pada laporan GSFI 2022, skor komponen keterjangkauan pangan (affordability) Indonesia berada paling tinggi (81,4). Sementara sisanya cenderung pas-pasan, yaitu ketersediaan pangan (50,9), kualitas dan keamanan pangan (56,2), dan keberlanjutan dan adaptasi pangan (46,3). Dari skor ini, kontribusi subsidi pupuk terhadap pangan, utamanya ketahanan, memang belum terlihat signifikan. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar