13 April 2023
13:15 WIB
Penulis: Sakti Wibawa
JAKARTA – Praktik kejahatan berkedok koperasi terus saja terjadi. Karena itu, jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian pun jadi keniscayaan, agar kepercayaan publik terhadap ekosistem koperasi bisa terjaga
Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia Emi Nurmayanti mengatakan, RUU Perkoperasian yang baru, diyakini mampu menjadi tameng untuk menangkal aksi kejahatan kerah putih berbaju koperasi.
"Aksi pencucian uang di tubuh koperasi memang sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri, di komunitas koperasi ada istilah ‘Pengusaha Koperasi’," ujarnya, Kamis (13/4).
Menurutnya, banyak koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang juga melayani nonanggota. Bahkan, ada KSP yang memiliki 10 ribu nasabah, tapi hanya memiliki 200 orang anggota saja. Kondisi inilah yang menjadi celah munculnya praktek pencucian uang.
Dia melanjutkan, pelanggaran yang banyak terjadi di koperasi, terjadi karena minimnya pengawasan. Bahkan, dia menyebutkan, tak ada aturan yang jelas dan tegas soal penindakan.
"Dan baru di RUU Perkoperasian yang baru ini sudah mulai dibahas tentang pengawasan, hingga sanksi pidana," jelasnya.
Senada, Yeti Lis Purnamadewi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB sangat berharap, RUU Perkoperasian ini bisa menyelesaikan maraknya kejahatan keuangan, hingga mampu mampu menjamin keamanan KSP.
"Koperasi memang menjadi wadah empuk untuk melakukan pencucian uang," kata Yeti.
Untuk itu, Yeti meminta, ke depan dalam mendirikan koperasi, tak sekadar dilihat dari jumlah anggota, tapi harus tercapai dari skala keekonomiannya.
Tiga Hal Krusial
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi mengungkapkan, dengan kehadiran RUU Perkoperasian yang baru setidaknya ada tiga hal krusial dan positif yang bisa dirasakan masyarakat, khususnya anggota koperasi,
"Pertama, adanya jaminan perlindungan bagi anggota dan koperasi dengan hadirnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. Saat ini, ada sekitar 30 juta orang yang tercatat sebagai anggota koperasi yang harus terlindungi simpanannya,”jelasnya.
Zabadi menekankan azas keadilan juga harus bisa dirasakan anggota koperasi, seperti halnya nasabah di sektor perbankan. Hal itu bisa dicapai dengan adanya LPS Koperasi.
Dirinya juga meyakini, bila ada LPS Koperasi, dampak koperasi gagal bayar, tidak akan sebesar seperti sekarang.
Lebih dari itu, dia menyebut, masih banyaknya pelaku UMKM yang belum mendapat akses pembiayaan dari perbankan dan butuh koperasi.
"Bila ada jaminan LPS, jumlah anggota koperasi yang 30 juta akan bertambah besar lagi. Di sisi lain, pelaku UMKM yang belum bankable juga bisa terlayani kebutuhan permodalan dari koperasi," cetusnya.
Masih kata Zabadi dengan adanya RUU Perkoperasian yang baru, koperasi bisa bebas bergerak ke seluruh sektor usaha, tidak hanya simpan pinjam. Bahkan, dia menyebut badan hukum koperasi bisa memiliki bank, rumah sakit, membangun infrastruktur, pertambangan, dan sebagainya.
"Jangan ada istilah pembonsaian koperasi, karena koperasi juga merupakan entitas bisnis yang memiliki hak yang sama dengan entitas bisnis lainnya," ujar Zabadi.
Munculnya, RUU Perkoperasian yang baru bakal menghadirkan Otoritas Pengawas Koperasi (OPK). Intinya, dengan semakin majunya dinamika kehidupan di tengah masyarakat, penguatan pengawasan koperasi menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
"Koperasi juga merupakan bisnis jasa keuangan. Maka, penguatan pengawasan, tentunya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Semua koperasi, termasuk koperasi-koperasi besar, sepakat untuk diawasi OPK," tuturnya.
Lebih dari itu, dirinya juga menggarisbawahi sanksi pidana yang tegas yang ada dalam RUU Perkoperasian. Dari pengalaman kasus koperasi bermasalah, bisnis koperasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
"Belum lagi menyangkut tindak pidana pencucian uang yang selama ini memanfaatkan keberadaan koperasi," kata Zabadi.